Thursday, May 24, 2012

PASKAH, KORUPSI DAN GERAKAN MENDUDUKI


Oleh : Martin Lukito Sinaga

Peristiwa Paskah ternyata terkait erat dengan korupsi. Murid Yesus, Judas Iskariot, menerima suap dari imam-imam kepala agar menyerahkan Yesus untuk didakwa bersalah menghujat Allah.
Selanjutnya,  Pontius Pilatus, penguasa Romawi untuk daerah jajahan Palestina, bersama pemegang otoritas Yahudi bersekongkol menjatuhkan hukuman untuk dakwaan tadi. Yesus pun dihukum mati dengan disalibkan seperti umumnya penjahat.
Namun, peristiwa Paskah adalah juga ikhtiar mengatasi korupsi. Apa yang terjadi pada Yesus setelah penyalibannya mirip dengan peristiwa ketika orang ramai, crowded multitude, dari berbagai bangsa (demikian catatan Kitab Keluaran 12: 38) bebas dan menempuh eksodus keluar dari perbudakan di Mesir.
Peristiwa eksodus tadi dinamai pesakh, artinya Allah melewati rumah umat-Nya dan membebaskan mereka. Paskah berutang pada peristiwa dan makna pesakh ini. Kini, kematian Yesus akibat korupsi itu diatasi dengan kebangkitannya dan pesannya ialah bahwa kehidupan baru kini melewati rumah-rumah kita agar semua manusia bisa mengalami kebebasan.
Maka, ada yang ajek dalam pesan Paskah: kehidupan yang baru dan bebas itu selalu sebagai kehidupan yang mengutamakan orang ramai, di mana kepentingan pribadi ataupun kelompok tak boleh seenaknya dimenangkan. Dengan demikian, dalih yang dipakai membenarkan korupsi turut di gangsir: pemanfaatan kekuasaan demi keuntungan pribadi atau kelompok adalah jalan kematian itu sendiri.
KORUPSI DAN AGAMA
PGI menetapkan Paskah 2012 sebagai waktu melawan korupsi. Paskah adalah momen keluar dari kejahatan luar biasa, yang kini di Indonesia mengambil bentuk sebagai tindak korupsi. Ada mamon atau berhala yang sesungguhnya sedang dipuja para koruptor dan itu adalah uang dan kekuasaan yang didatangkannya. Pemujaan atas mamon itu sekaligus menunjukkan dimensi rohani dari korupsi.
Dan, agama bisa diam-diam mendukung korupsi jika ia mendedahkan percakapan rohani atau teologi yang mengagungkan uang atau sukses material. Dalam kisah Alkitab, teologi ini tampak dari niat seorang bernama Simon, mantan penyihir yang dibaptis menjadi Kristen (Kisah Para Rasul 8: 9-24). Simon memperhatikan suasana rohani yang bergairah dalam komunitas Kristiani di Samaria, khususnya karena Petrus dan Yohanes dianugerahi kemampuan membuat mukjizat. Simon berniat membeli anugerah atau kemampuan rohani itu, melengkapi kekayaannya, tetapi segera ia ditegur karena niat tadi adalah sebentuk kejahatan.
Agama-agama bisa terjebak menjajakan teologi sukses tadi dengan mengkhotbahkan bahwa anugerah Allah akan melimpah secara material bagi orang yang memberi persembahan melimpah kepada-Nya. Ini seperti niat Simon: membeli anugerah Allah dan melakukan suap rohani.
Pada ujungnya, hidup beragama seperti ini akan mendukung keyakinan bahwa sukses material dan kelimpahan uang adalah bukti utama hidup rohani atau ketaatan beragama. Secara perlahan teologi ini akan juga menyelubungi dan membiarkan korupsi terjadi selama kekayaan material dan uang bisa ditampakkan oleh umat beragama itu.
Semangat Paskah menunjuk teologi yang lain: teologi orang ramai, di mana penatalayanan anugerah memunculkan kehadiran struktur baru mendukung kemaslahatan hidup bersama. Dalam Ajaran Sosial Gereja Katolik ditengarai bahwa ”struktur dosa” bekerja di tengah keadaan hidup yang serba korup itu. Untuk itu diperlukan ”struktur rahmat” untuk mengatasinya. Dengan demikian, diperlukan mekanisme berkesinambungan menata hidup bersama agar rahmat sungguh berdampak nyata. Maka, hidup beragama kini perlu bersendikan solidaritas ekonomi, partisipasi akar rumput, dan akuntabilitas kepemimpinannya.
GERAKAN MENDUDUKI
Occupy Movement atau Gerakan Menduduki yang menyebar akhir-akhir ini adalah globalisasi dari antikorupsi tadi, yang hendak membalik sejarah kematian menjadi kebangkitan orang ramai. Kematian Mohamad Bouazizi, seorang pedagang sayur keliling di kota Sidi Bouzid, Tunisia, adalah kematian akibat korupsi. Namun, kebebasan justru terjadi melalui dirinya, lalu itu membangkitkan martabat orang ramai dalam seruan di Mesir: Roti, Keadilan, dan Kebebasan. Musim Semi Arab adalah saksi bahwa kebangkitan bisa terjadi di atas riwayat kematian yang ditulis para diktator korup itu.
Maka, memang segera terkuak bahwa struktur-struktur dunia telah pula sedemikian korupnya, bekerja demi uang dan kekuasaan tak terbatas. Pasar uang, semisal yang ada di Wall Street, Amerika, segera dilihat sebagai mezbah tempat korupsi dan spekulasi dimainkan seenaknya, yang antara lain berakibat pada harga-harga pangan yang tak terjangkau. Ada korupsi dan pemujaan pada uang yang dilakukan oleh 1 persen orang yang mencelakakan 99 persen warga dunia.
Dengan itu semua secara global telah terpatri ke mana arah kebangkitan orang ramai hendak diusung. Kita kini sepakat bahwa pesan lintas-iman ataupun pemikiran sosialnya tak akan menurut pada teologi sukses itu. Namun, pada penetapan etik antaragama yang mengupayakan kemaslahatan bersama. Etik antaragama ini bertolak dari prinsip ”lakukanlah pada sesamamu apa yang kau kehendaki ia akan perbuat padamu” (UNESCO, Our Creative Diversity, 1995). Dan, pertukaran karya yang mengupayakan kemaslahatan sesama ini akan menunjukkan bahwa kita, orang ramai, sungguh bangkit dari kematian akibat korupsi itu.
SI MANUSIA PASCA

Pertama kali dengar namanya adalah dari seorang sahabat. Seorang Jawa kelahiran Malang, bekas wartawan yang kemudian mencemplungkan diri kepada dunia 'pelayanan.' Lantas ia mengambil program magister di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta.

Katanya bertanya kepada saya: "Eh, lu kan orang Simalungun. Kenal nggak Martin Sinaga, pendeta GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) yang ngajar di STT Jakarta? Dia dosen gue."

Pertanyaan ini sulit saya jawab. Ada dua hal penyebabnya.
Pertama, orang (Batak) Simalungun mungkin tak mengakui saya orang Simalungun karena marga saya Siadari. Dan benar, ayah saya memang orang (Batak) Toba dan Siadari adalah marga orang Toba. Ibu saya lah yang orang Simalungun, bermarga Damanik. Tapi betul. Saya selalu merasa sebagai orang Simalungun. Dan pada saat yang sama orang Toba juga. Saya tumbuh di Sarimatondang, wilayah Simalungun. Dan sejak kecil iman saya ditempa oleh GKPS, yang 'menyapa' jemaatnya dengan Bahasa Simalungun. Dan teman saya tahu itu. Dan karena itu ia selalu menganggap saya orang Batak. Dan orang Simalungun. Apalagi ketika suatu saat kawan saya itu meresensi buku tentang panduan wisata dan menyinggung-nyinggung tentang wisata kebun teh di Sumatera Utara, saya bersikeras kepadanya agar memasukkan nama desa saya, Sarimatondang Sidamanik yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun dalam resensinya itu. Dan ia memasukkannya. Dan mungkin karena itu lah ia bertambah kuat menduga saya orang Simalungun.

Kedua, pertanyaan si kawan sulit saya jawab karena saya memang tak mengenal Martin Sinaga. Saya memang selalu merasa dekat dan tersentuh setiap kali orang menyinggung GKPS, tempat saya dibaptis, angkat sidi dan menikah. Dan karena itu pula saya merasa kecewa karena saya tak mengenal Martin Sinaga yang dia katakan itu.

Itu sebabnya saya menjawabnya dengan pertanyaan pula. "Emang kenapa Martin Sinaga?"

"Hebat dia Jack," kata dia, menyapa saya dengan Jack, panggilan akrab kami satu sama lain. "Teologianya hebat."

Pujian itu sungguh memancing rasa penasaran saya. Dan saya pun mencoba-coba mencari tahu, siapa sih Martin Sinaga? Apalagi dari teman itu saya tahu bahwa Martin sudah menyandang gelar doktor teologia, sesuatu yang langka di lingkungan GKPS, kendati gereja itu sudah berusia 100 tahun.

Belakangan dari seorang kerabat, saya akhirnya tahu bahwa Martin adalah salah seorang putra dari Ny. Deborah Sinaga. Nah, nama ini memang akrab di telinga saya. Sebab, dulu ketika saya Sekolah Minggu, Bu Deborah adalah pendeta pembina Sekolah Minggu GKPS. Saya hanya sekali saja ketemu beliau, ketika ada pesta Sekolah Minggu di Sibuntuon, sebuah desa sejauh satu jam perjalanan dari kampung saya. Tetapi pertemuan itu sungguh mengesankan. Karena Bu Deborah Sinaga menghadiahi saya sebuah katekhismus karena saya berhasil menjawab sebuah pertanyaan kuis. (Tulisan saya tentang beliau, saya turunkan dalam judul Deborah yang Memukau).

Akhirnya saya tahu lebih lengkap lagi. Bahwa Martin dilahirkan dari sebuah keluarga pendeta. Ayahnya pendeta. Ibunya juga pendeta. Dan Martin Sinaga itu, yang nama lengkapnya adalah Martin Lukito Sinaga (MLS), bukan hanya pendeta. Tetapi juga intelektual teologia yang mengabdikan diri di Sekolah Teologia. Kelak saya tahu, ia tak lagi bisa dikandangkan dalam status apa pun sebab pikirannya jauh melanglang buana pengkotak-kotakan. Ia melibatkan diri dalam dunia yang berjumpa dengan banyak pemahaman sehingga ia bukan lagi bisa saya bayangkan sebagai pendeta yang berkhotbah di tengah jemaatnya. Tapi justru sebagai orang yang terus ingin menguji khotbah-khotbahnya hingga jauh dari jemaat-jemaatnya sendiri.

Dan, waktu memberikan kesempatan kepada saya bertemu dengan dia. Sebuah keberuntungan atau takdir?

DIMANA KAMPUNG KITA?
Suatu waktu, karena saya melibatkan diri pada sebuah milis, dimana MARTIN LUKITO SINAGA juga turut serta sebagai anggotanya, saya berkesempatan berkenalan dengannya. Ketika itu para anggota milis itu mengadakan pertemuan. Dan kami berkenalan ala kadarnya.

Saya masih ingat sedikit rincian pertemuan itu. Saya menjemputnya di rumahnya, di kawasan kampus STT Jakarta bersama seorang kawan. Sang kawan menyapanya dengan Bahasa Simalungun yang fasih, yang selalu membuat saya minder dan malu. Lalu saya juga memperkenalkan diri dengan Bahasa Simalungun saya yang, bila dianalogikan dengan Bahasa Jawa, adalah Bahasa Simalungun ngapak.

Dan rupanya, ia mencium Bahasa Simalungun saya yang ngapak itu. Sebab kemudian ia bertanya: "Ija do hutanta?" yang artinya, dimana kampung mu.

Saya tahu arah pertanyaan ini sebab inilah biasanya cara orang Batak pada umumnya untuk mengukur kadar 'keBatakannya.' Setelah saya menjawab sejujurnya, bahwa saya dari Sarimatondang, sebuah desa yang orang Simalungun dan orang dari suku lain sudah berbaur demikian dalamnya, ia menjawab, bahwa pantas saja Bahasa Simalungun saya rada ngapak. Tidak paten. Tidak kental.

Saya tersenyum kecut.  Awalnya saya menganggap pertanyaan itu sebuah pagar, untuk menunjukkan dimana posisi saya sebagai orang yang setengah Simalungun. Ternyata saya salah. Setelah makin lama kami berdiskusi dalam pertemuan itu, saya makin tahu, Martin rupanya bukan orang yang dengan mudah mengacaukan pandangannya pada identitas-identitas semacam itu. Yang ia selalu lihat adalah ide, pikiran-pikiran.

Dan dalam pertemuan itu, saya akhirnya tahu sebuah pantun Simalungun yang benar-benar memberikan harapan pada saya bahwa dalam Simalungun juga ada keterbukaan, ada kesadaran akan pentingnya keragaman. Semacam keramahan terhadap siapa pun asal niat dan pikirannya baik. Begini bunyinya:

Sin Raya Sin Purba
Sin Dolog Sin Panei
Na ija pe lang muba
Asalma marholong ni atei.

(Secara ringkas, pesan pantun itu, adalah: 'Siapa pun tak ada bedanya Sepanjang ia pengasih'). Saya pun senang. Dan catatan saya tentang pertemuan yang populer dnegan sebutan Kopdar (Kopi darat), saya buatkan sebagai berikut:

THE MASTER OF THE KOPDAR

….Diskusi itu panas. Diskusi itu berisik. Tapi beruntunglah saya, yang sudah gelisah karena waktu terus berjalan dan lapo akan tutup persis pukul 21:00, mempunyai Om yang dapat diandalkan yakni Om Martin yang bukan hanya memandu tetapi juga mengarahkan diskusi dengan baik. Ada satu pepatah
yang diucapkannya, yang begitu berkesan bagi saya, yang bunyinya begini: Buat saya itu bukan hanya menunjukkan bahwa orang Simalungun adalah orang yang terbuka. Tetapi lebih jauh, orang Simalungun adalah orang yang bisa menerima perbedaan bukan sekadar basa-basi tetapi karena esensi. Perbedaan, keanekaragaman latarbelakang adalah baik sepanjang sifatnya dan substansinya adalah baik, yakni kasih. Hebat, bukan?

Om Martin memandu diskusi dengan kepiawaian seorangEmpu sekaligus Diplomat ulung. Saya tak pernah menduga bahwa diskusi antarorang yang baru saja saling kenal dapat demikian hidup. Seorang Om saya pernah berkata begini. Orang yang paling tidak menarik sebagai lawan bicara adalah Guru, dokter dan pendeta. Mengapa? Karena mereka terbiasa berbicara one way, apakah ketika mengajar, memberi advis kepada pasien dan ketika berkhotbah.

Pendapat itu tidak berlaku pada Om Martin. Ia sama sabarnya ketika mendengar mau pun ketika melontarkan pemikirannya. Ia memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang. Ia juga dengan cepat mendeteksi seseorang sedang benar-benar menjabarkan pemikiran atau sekadar memamerkan pengetahuan dan keahlian.

Karena itu pula diskusi sore itu dengan cepat mengerucut kepada upaya untuk merumuskan
langkah-langkah. Salah satu pertanyaan Om Martin yang benar-benar menggelitik saya di kopdar itu adalah, bila kita-kita peserta kopdar ingin berbuat sesuatu untuk GKPS dan Simalungun, dimanakah kita duduk, dan dimana alamat yang kita tuju. (Benar begitu, Om Martin?)

Saya kira pertanyaan itu tidak hanya akan bisa dibahas dalam satu kopdar. Tetapi dalam satu kopdar itu pun sebetulnya orang sudah mulai berpikir dan menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Mungkin jawabannya tidak tunggal, Mungkin pula tidak semua orang kelak harus berada dalam satu biduk untuk mewujudkannya. Tetapi buat saya pribadi, Om Martin telah menakhodai diskusi
itu dengan baik. Terimakasih Om Martin.


Setelah itu saya beberapa kali masih saling bertukar sapa lewat SMS dengan beliau. Sebuah kado Tahun barunya yang tak pernah saya lupa, adalah sebuah pesan SMS mengucapkan Selamat Tahun Baru dengan imbuhan, agar sudilah saya membaca tulisannya di Harian Kompas. Dan saya benar-benar membacanya. Tentang Natal sebagai awal melakukan langkah-langkah sederhana, yang kecil, untuk tujuan-tujuan yang besar.

Makin pula saya ingin tahu tentang dia. Makin saya ingin mencari apa yang bisa dibanggakan orang Simalungun darinya, kalau memang ada. Dan makin pula saya ingin menemukan apa yang dapat saya pelajari dari dia. MLS, Si Manusia Pasca.

MENGAPA SAYA MENYEBUT MARTIN LUKITO SINAGA SEBAGAI MANUSIA PASCA?

Awalnya mungkin karena alasan yang sangat subjektif. Barangkali karena rasa minder saya akan latarbelakang pribadi saya, yang dalam beberapa hal, kerap dia bela. Sebagai orang yang berdarah campuran Toba dan Simalungun, dalam hati kecil saya selalu ingin diakui sebagai orang Simalungun. Pengalaman saya 'Marsimalungun,' istilah untuk menggambarkan proses 'menjadi dan sebagai orang Simalungun' karena dibesarkan oleh seorang Ibu yang Simalungun, lingkungan gereja yang Simalungun dan sedikit banyak lingkungan domisili di Sarimatondang yang masih diwarnai Simalungun, saya anggap terlalu berharga untuk saya tanggalkan begitu saja.

Tetapi rupanya itu tidak gampang. Siadari di belakang nama saya sudah jelas-jelas menunjukkan saya bukan Simalungun. Bahasa saya, adat istiadat saya, jelas-jelas bukan Simalungun dan itu beban yang berat untuk mendesak-desakkan diri saya menjadi orang Simalungun.

Pada suatu hari, dalam sebuah perdebatan tentang siapa sesungguhnya yang layak disebut orang Simalungun itu di milis tempat saya sering berdiskusi, saya merasa terdesak dan sedih karena akhirnya saya terpaksa menyadari saya mungkin hanya di lapis keempat dalam strata organisasi, bila Simalungun dianalogikan sebagai organisasi. Kadar Simalungun saya berada di tingkat simpatisan, yang selalu mengingatkan status saya ketika bergereja di sebuah gereja di Bandung tempo hari. Boleh ikut kebaktian, tapi tetap tidak terdaftar. Tidak punya hak suara.

Sampai saya pulang dari kantor dan tiba di rumah malam hari, saya tak bisa menyembunyikan rasa sedih saya. Sampai istri saya di rumah bertanya, kok saya begitu jengkelnya tak diakui sebagai Simalungun. Istri saya yang orang JAwa itu bahkan secara bersenda gurau berkata, ia beruntung jadi orang Jawa yang diperistri oleh saya dan dimargakan jadi Damanik. Karena dengan begitu ia telah otomatis menjadi orang Simalungun.

Keesokan harinya, di tengah kesedihan itu, saya mencoba mengirimkan SMS kepada MARTIN LUKITO SINAGA semacam curhat. Dan saya mengatakan saya sudah lelah berusaha menjadi orang Simalungun. Saya katakan juga saya bingung melihat begitu berlapisnya strata orang Simalungun dalam hemat sejumlah orang Simalungun. MARTIN LUKITO SINAGA membalasnya dengan SMS pula, yang dugaan saya dimaksudkan untuk menghibur. Tapi harus jujur saya akui, saya jadi merasa digugah, disemangati lagi untuk berjuang menjadi Simalungun. "Tapi Eben belum putus asa, bukan?" begitu bunyi SMSnya.

Lalu dalam hati saya kemudian bersorak-sorai, ketika suatu ketika ia mengirimkan komentar di milis itu, yang bukan saja menghibur tetapi memberikan pencerahan kepada saya.

Kepada Eben, Kepada kita: Generasi Pasca-Simalungun
Salam,
mungkin tulisan saya ini tidak langsung masuk (tapi juga tidak harus menjadi 'galir") ke isu pemekaran
Simalungun; tetapi lebih sebagai pengalaman "kita" marsimalungun, yang tampaknya tidak bisa lari dari
Toba. Namun Eben misalnya punya istri boru Jawa, saya sendiri ibu saya Cina-peranakan, dan istri saya br Purba Pakpak dengan ibunya orang Dayak NGaju.

Rupanya bukan hanya Toba persoalan kita. Pernah kami bicara dengan Salomo Simanungkalit
(wartwan senior kompas), Jansen Sinamo, Pdt Jan Aritonang, tampaknya kesimpulannya ialah: tidak bisa
lagi kita memurnikan diri menjadi "asli Simalungun atau asli Toba"; dan tidak ada gunanya kita kembali kesitu. Kita adalah generasi pasca-Simalungun, pasca-Toba.

Mengapa tidak perlu kembali murni? Karena selain tidak ada yang murni di belakang kita, juga menurut saya Simalungun per se tidak memadai untuk hidup masa kini. Dulu cukup dengan marga Sinaga, saya sudah akan hidup "terjamin". Artinya marga berarti tanah, berarti punya boru, punya Tondong, dst. Marga adalah titik jaminan ekonomis tradisional. Kini dengan mengaku Sinaga dan Simalungun, jawaban orang ialah: "so what gitu lho...".

Jadi saya harus melampaui kesimalungunan itu (pasca-Simalungun, seperti pasca-sarjana, tetap
sarjana tetapi punya daya melampauai atas-batas sarjana). Kesimalungunan juga tidak memadai untuk
bertahan hidup-- malah nenek moyang kita sadar betul itu, makanya mereka belajar dari FEODALISME Melayu (rupanya harus pula dibuang pelajaran menjadi feudal itu, namun sayang kita dipaksa membuangnya/revolusi sosial 1946an). Ompung kita juga BELAJAR dari orang Toba mengelola wet-rice (padisawah), yang rupanya lebih berproduksi massal. Mungkin kita perlu beljar sekarang dengan orang Karo (GBKP), yang mempunya BPR beromzet Rp16 miliar (duh GKPS, where are you?). Kita
perlu belajar mengembangkan hidup tekun, ekonomis dan entrepenurship orang Karo-- dan membuang jauh-jauh mimpi jadi pegawai Kabupaten yang akan dimekarkan itu. Dengan belajar kita berubah, dan melampauai warisan nenek moyang kita.

(cut)

Jadi isu kita sekarang ialah: ke Karo. Bagaimanana ekonomi gerejawi mereka bergairah, dan sudah mengelola banyak produk-produk kesejahteraan masyarakat. Pernah di Karo, sebelum kebaktian, mereka mediskusikan komoditi sayur di Singapur! Bayangkan. Saya melakukan studi yang intens ttg teologi kontekstual di KAro (dan malah lebih sering marminggu ke GBKP akhir-akhir ini).
dan tampaknya mereka adalah orang Belanda di tanah Batak. Gereja KAro selalu mendoakan apa yang
berlangsung konkret, dan merinci apa-apa yang harus dikerjakan selanjutnya. Kalau ke Toba, percakapan menjadi politis, lebih baik ke Karo, agar Simalungun tidak jatuh miskin lebih dalam lagi.



Maaf kepada Anda yang bukan orang Batak yang mungkin tidak akrab dengan konteks perdebatan itu. Komentar ini mungkin akan membingungkan. Tetap intinya, yang saya tangkap, MARTIN LUKITO SINAGA ingin mengatakan agar jangan mau diperangkap oleh keinginan untuk memurnikan identitas diri. Sebab di masa depan identitas itu tidak cukup sebab yang dituntut oleh zaman adalah kapasitas untuk berbuat. Dan, itulah yang menurut Martin manusia pasca. Manusia pasca Simalungun. Manusia pasca Toba. Manusia pasca suku apa pun. Manusia pasca Indonesia. Apalagi, menurut dia, di belakang kita, memang tidak ada yang murni.

Bukan berarti Martin alergi pada pencarian tentang kemurnian identitas itu. Ia sendiri sangat aktif dan paham bagaimana latarbelakang sejarah Simalungun. Bahkan ia termasuk orang yang ingin, agar sebelum ada rekonsiliasi atas kemungkinan adanya 'konflik antasuku' di masa lalu, diperlukan semacam pembeberan sejarah. Yang pahit. Yang traumatik. Dan setelah itu baru ada rekonsiliasi.

Tapi yang tampaknya ingin ia katakan adalah pembeberan sejarah itu jangan dengan semangat pencarian 'kambing hitam.' Bukan dengan dengan keinginan untuk memuja masa lalu yang terang benderang dengan menunjuk sisi kelam pada bagian yang lain. Melainkan pembeberan sejarah yang menggugah, menjadikannya pelajaran sekaligus mendudukkan komplesitas masa lalu yang tidak serba hitam-putih.

Saya bertanya dalam hati, darimana kah ia mendapat pemikiran yang demikian itu? Apakah latarbelakang dirinya, yang lahir dari sebuah keluarga campuran, ayah Simalungun dan ibu peranakan Tionghoa, yang menyebabkannya demikian? Saya benar-benar tidak bisa menduga-duga. Tapi sebuah komentarnya dalam dialog dengan salah seorang peserta milis itu, bernama Alfared Damanik, Martin menulis begini:

Ibu saya -inang Debora Sinaga, seorang pembimbing umum Sek Minggu dan Wanita GKPS- sejak tahun 1968 sampai 1986 keluar masuk Simalungun -dan saya kerap kali ikut- dan memperkenalkan kesetaraan jender dan martabat anak Sekolah Minggu, dan terkadang sambil kelelahan dia mengatakan, "aku nggak ngerti orang Simalungun ini...". Menurut saya itu indikator, betapa menjadi begitu kompleksnya psikologi sosial Simalungun, mungkin campuran ketertutupan dan sedikit rasa rendah diri. Sehingga, memang mesti ada gerakan memintal tali temali Simaluungun lagi, membangun harga diri, membangun -istilah Alfared- social value. Yang saya tidak setuju ialah kita melakukan pengkambinghitaman atas orang Toba. Saya sering sekali diundang berkotbah dan berceramah di HKBP jalan Jambu-Menteng (dan HKBPlainnya), dan mereka mengatakan, ini jemaat intelek pandita, jadi jangan segan-segan berteologia. Toba bagi saya adalah simbol intelektualitas, walau kadang nekad dan tergesa-gesa, sehingga kita yang secara psikologis belum siap, merasa tergerus. Saat anak keluarga SAE Nababan manaksihon/malua, diundanglah semua kerabat, dan acara khususnya ialah mengundang prof Pantur Silaban dari ITB untuk menceritakan fisika modern! (gila... anak baru mengaku percaya, langsung diberondong teori chaos dan sistem fraktal; dan hati saya menerawang tak tentu arah mendengar cerita itu). Kalau kita melihat Toba seperti ini, tentu tidak perlu lagi mengkambinghitamkan Toba. Tentu sejarah bahwa Toba (dalam hal ini, HKBP) pernah membungkam Simalungun, itu sudah dikoreksi, tahun 1963 itu. So, tali-temali Simalungun memang kta harus rajut lagi, demi social value, mungkin dengan keliman enterpreneurship Karo, agar tampak survive di era yang serba ekonomis ini.

horasma, martin sinaga


Apakah kelelahan yang dialami sang Ibu, meresap dalam kedirian seorang MARTIN LUKITO SINAGA sehingga ia memutuskan akan menjadi manusia pasca, manusia pasca Simalungun, bahkan kelak, seperti yang akan kita lihat dalam kiprahnya dalam dialog antaragama, ia juga menjadi manusia pascanasrani?

Jawaban dari pertanyaan itu mungkin tak akan berhenti dalam satu titik. Bahkan jawabannya mungkin tidak akan pernah selesai. MARTIN LUKITO SINAGA tak jemu dan tak henti melakukan pencariannya sehingga ia tak mungkin menjadi manusia dalam satu kandang. Ia mencari terus, untuk mencapai kemungkinan-kemungkinan baru. Pencerahan baru.Bukan hanya untuk dirinya tetapi demi untuk orang lain. Mungkin jemaatnya, jika ia kita tempatkan sebagai pendeta. Tetapi mungkin juga untuk manusia dan kemanusiaan, jika ia kita tempatkan sebagai intelektual.

Saya akan terlalu sombong, dan kemudian akan kelihatan dungu bila berpretensi untuk menjelaskan MARTIN LUKITO SINAGA dengan aneka kerangka berpikir. Sehebat apakah diri saya sehingga saya bisa memenjarakan dia dalam satu gambaran yang kaku? Lebih bodoh lagi bila saya mengatakan saya sepemikiran dengan dia. Sebab seringkali saya juga menduga ia tidak sepaham dengan saya. Lebih tepatnya, saya tak bisa mengikuti dan memahami pikiran-pikirannya. Dengan pengetahuan saya yang sangat terbatas, tentang teologi, tentang sejarah Simalungun, tentang ilmu perubahan sosial, tentang ilmu agama-agama, saya tak kan mampu bahkan untuk sekadar mencerna sejumlah istilah yang ia kemukakan. Seperti seorang pengikut yang sangat tertatih-tatih. Ketinggalan kereta. Kalah cepat dan kalah kapasitas.

Yang mungkin dapat saya katakan adalah saya akan banyak belajar dari dia. Belajar bagaimana menjadi manusia pasca. Jangan lagi terpaku untuk mendesak-desakkan diri untuk menjadi orang Simalungun. Tapi jadilah orang yang pasca Simalungun. Pasca Indonesia. Bahkan menjadi Pasca Nasrani.

APA ITU MANUSIA PASCA NASRANI?

Sebelum para ahli menyelidik saya atas istilah yang rada dimaut-mautkan ini, terlebih dahulu saya akan membela diri untuk mengatakan istilah ini untuk diri saya sendiri belaka. Ini hanya akan saya gunakan untuk diri saya sendiri, dalam menggambarkan sebisa saya, MARTIN LUKITO SINAGA yang saya kenali pikiran-pikirannya dari berbagai sumber terbatas.

Seandainya saya hanya mengenal MARTIN LUKITO SINAGA sebagai seorang pendeta GKPS, seorang yang dilahirkan dalam keluarga Simalungun, Doktor teologia yang menjadi pengajar ilmu agama-agama di STT Jakarta, saya mungkin tak akan menyebutnya sebagai manusia pascaNasrani. Seandainya aktivitasnya hanya diembel-embeli lagi dengan menjadi (pernah) anggota tim Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), mengajar di STF Driyarkara, itu juga tak akan menggugah saya mencari kepascaannya.

Tapi lihatlah apa saja yang ia gumuli. Buku-buku yang ia tulis mau pun yang ia terjemahkan selalu merupakan buku yang agak kontroversial bagi kaum nasrani konservatif. Ia kelihatannya selalu tergoda untuk melihat kemungkinan-kemungkinan baru. 'Apa setelah apa.' Jika dalam hal Simalungun, ia menggelitik saya dengan pertanyaan, 'so what' bila Anda sudah Simalungun, dalam hal agama, ia juga sepertinya selalu menyodorkan pertanyaan bahwa kalau Anda sudah nasrani, so what. Apa setelah itu?

ADa banyak buku yang sudah ia tulis, sunting dan terjemahkan. Hampir semuanya merupakan 'penelaahan' hubungan antara apa yang selama ini dianggap orang 'berseberangan.' Salah satu yang bisa dijadikan contoh, adalah buku karya John D. Caputo, yang judul aslinya adalah On Religion tetapi kemudian is terjemahkan menjadi Agama Cinta, Agama Masa Depan. Saya belum sempat membacanya. Tetapi beberapa kalimat dari tinjauan buku itu yang ditulis oleh Trisno S. Sutanto, mungkin sudah bisa menggambarkan isinya serba sedikit.

“AGAMA TANPA AGAMA”
Mungkinkah beragama tanpa agama? Atau lebih tepat: beriman tanpa agama? Pertanyaan-pertanyaan itu segera mencuat bagi siapapun yang pernah membaca buku John D. Caputo, On Religion, yang sudah dialihbahasakan dan diterbitkan oleh Mizan dengan judul berbeda: Agama Cinta, Agama Masa Depan.(1) Esai ini mau memberi jawaban positif pada pertanyaan di atas. Malah lebih jauh lagi mau menandaskan, gagasan Caputo (yang diambil alih dari Jacques Derrida) tentang “agama tanpa agama” (religion without religion), menurut saya, seyogianya dipertimbangkan secara serius bagi siapapun yang secara serius dan jujur mau bergumul dengan “agama” pada jaman sekarang, dan mau “berteologi”, mau berusaha “berbicara tentang Allah” (theos-logos).

Saya selalu percaya, seorang intelektual tidak netral ketika diminta melakukan sesuatu. Intelektual, sebagaimana di tahun 1966 pernah menjadi perdebatan di kalangan akademis dalam merumuskan strategi pembangunan ekonomi pasca Soekarno, sering digolongkan menjadi intelektual sejati dan intelektual tukang. Yang disebut pertama menggambarkan seseorang yang melakukan sesuatu dengan kesadaran bahwa intelektualitasnya harus berguna dan demi kebaikan. Sementara intelektual jenis kedua, adalah intelektual yang menggunakan kemampuannya tidak lebih 'memenuhi pesanan' si pemesan. Bahwa bagaimana akibat dari tindakan-tindakannya itu, sang intelektual hanya bertanggung jawab kepada kaidah intelektualitasnya. Tidak pada akibat yang ditimbulkannya.

Dengan pola pikir begitu, saya percaya MARTIN LUKITO SINAGA ketika diminta menerjemahkan buku itu, ia tidak dalam posisi netral. Saya sangat yakin ia sedikit banyak bersimpati kepada isi buku itu. Bahkan mungkin itulah pemikiran-pemikiran yang juga ia ingin sebarkan.

Itu makin nyata bila saya membac sebuah tulisannya yang selalu dielu-elukan seorang sahabat saya. Tulisan itu juga mungkin akan kedengaran kontroversial bagi orang seperti saya, yang hanya mengandalkan pemahaman nasraninya pada kenangan semasa Sekolah Minggu. Tetapi kesimpulan yang ia torehkan sebenarnya memberi kesempatan kepada saya menyegarkan iman saya tanpa kehilangan iman yang dulu. Kesadaran sebagai manusia pasca nasrani. Nasrani yang terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru.

Tulisannya di Suara Pembaruan, dengan judul Paskah di Hadapan Kubur Kosong, yang akan kedengaran mengguncang, ia mulai dengan ceritanya tentang bagaimana kegamangan murid-murid Yesus ketika menemukan kubur kosong.

Tulisnya: BERBEDA dengan kitab-kitab Injil lainnya, Injil menurut Markus menutup tuturannya dengan mengejutkan sekali: "Lalu mereka (para murid Yesus) keluar dan lari meninggalkan kubur (Yesus) itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka.

Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut" (Mrk 16:8). Karena sedemikian mengejutkannya, sampai-sampai penyunting dan penyalin Injil Markus itu kemudian menambah ending sampai 12 setengah ayat lagi; namun para ahli Biblika bersepakat, Markus (kitab Injil tertua itu) menutup narasi hidup Yesus dengan kisah Kubur Kosong!


Menurut MLS, jika ending cerita itu adalah kubur kosong, bukan sebuah kesaksian bahwa murid-murid itu melihat Yesus bangkit, apakah nanti kisah kebangkitan itu tidak akan berkembang, sebagaimana dalam kata-kata Martin sendiri, menjadi " gosip, kabar angin, dan produk sikap subjektif?"

MARTIN LUKITO SINAGA memberi penjelasannya sendiri dengan meneropong situasi Markus. Menurut dia, Markus adalah bagian dari generasi kedua Kekristenan yang terkejut dengan deraan hidup, yang dikira semula akan usai kalau Kristus yang bangkit datang mengangkat mereka keluar dari beban sehari-hari. Sehingga, suatu iman yang mengira bisa secara penuh mengubah realitas, bagi Markus, malah akan membahayakan Kekristenan.

MARTIN LUKITO SINAGA menambahkan, bagi Markus, kebangkitan bukanlah triumfalismetotal atas kesusahan sehari-hari. Paskah bukanlah kemenangan akhir. Baginya, Paskah berarti bahwa jalan masih terbuka ("sekarang pergilah ... ke Galilea") untuk bertemu Kristus Sang Anak Manusia itu, di setiap perkara hidup.

Dan, jalan terbuka itu harus dijalani terus, apalagi semua tahu, Kristus Sang Anak Manusia baru saja berjalan dengan kepala yang berdarah. Jangan sampai mahkota duri terlupakan, sebab melalui ketekunan menghadapi kesulitan hidup sehari-harilah Yesus dinyatakan sebagai kekasih Allah.

Dalam tulisan itu MARTIN LUKITO SINAGA menuliskan pesan yang sangat klasik tapi sering terlupakan. Bahwa dengan menjadi nasrani seseorang tidaklah akan selalu dikelilingi oleh kolam surga (istilah ini saya dapatkan dari seorang rekan berinisial JRS), melainkan juga perjuangan:

Hal itu perlu dicatat, sebab sejak semula para murid Yesus saat itu hanya mau melihat Yesus selaku Mesias-Penebus, yang memberi mereka makan (melalui mukjizat penggandaan lima roti dan dua ikan).

Akan tetapi, mereka buta mengenai Yesus Sang Hamba Allah yang menderita, yang memberi nyawa-Nya bagi sesama (Mrk 10:35-45).

Makanya, makin tambah penjelasan mengapa Markus menutup kisah Injil-nya dengan mendadak dalam lakon para murid yang takut, hal itu dilakukan agar kita kini -pembaca kontemporer Injil Markus- masuk dan menggantikan para murid yang tersekap dalam gentar dan kecut itu.

Kini, kita pun berdiri di hadapan kubur kosong, dan dipesankan bahwa Yesus sudah bangkit, dan malah telah mendahului kita melanjutkan lagi perjalanan memasuki setiap kelok perkara hidup sehari-hari. Dan, jalan terus terbuka, sekalipun berita kebangkitan itu lebih sebagai produk sikap subjektif iman, bukan suatu ihwal objektif yang beku.

Kita yang berdiri di hadapan jalan yang terbuka itu -sambil menemukan inspirasi dari kisah Paskah menurut Injil Markus - perlu juga terus ikut mengambil langkah menemukan makna kisah Paskah ini bagi kita. Paskah-Kebangkitan tampaknya serentak adalah suatu tindakan Allah dan juga langkah manusia.

"Kebangkitan Yesus Anak Manusia yang mati di salib" itu kini menjadi suatu metafora rohani, suatu pesan akan keserbamungkinan untuk tetap melangkah dan tidak tersekap dalam fatigue (kelelahan buntu) hidup sehari-hari di negeri yang mencoba bertransisi ini.


Kepascanasranian MARTIN LUKITO SINAGA kemudian makin terlihat bukan saja dalam hal bagaimana ia memahami dirinya dalam hubungannya dengan imannya sendiri. Tetapi juga bagaimana dirinya sebagai orang nasrani, berhubungan dengan lingkungannya dan juga dengan sesama penganut agama lain.

Ia selalu berusaha menjadi manusia pasca dalam hal ini. Ia selalu hadir di tengah berbagai konflik, sebagai manusia pasca, manusia pengubung tetapi bukan sekadar menghubungkan melainkan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Ia dengan aktif melibatkan diri pada isu-isu kesetaraan jender. Melibatkan diri dalam pemikiran, tetapi seringkali ikut aktif dalam berbagai aksi.

Dalam sebuah seminar bertajuk Perempuan dan Fundamentalisme ia tak ragu membedah kesadaran kita bahwa dalam agama mana pun terdapat kemungkina paham dan tindakan fundamentalis. Seperti kemudian dikutip sebuah laporan dalam seminar itu MARTIN LUKITO SINAGA mengatakan, bahwa fundamentalisme dalam Kristen bisa dilihat antara lain dari tindakan meledakkan klinik-klinik aborsi di AS. "Perilaku fundamentalis salah satunya adalah pelarangan perempuan menjadi imam dalam agama Protestan," ujar MLS. Karena di negara maju demokratisasi, HAM, ketertiban sosial, sudah berjalan baik, maka problem fundamentalisme kemudian bermuara di rumah."Bentuknya adalah kekerasan dalam rumah tangga."

Tidak mengherankan bila dalam pencarian dan pengukuhannya sebagai manusia pasca, ia tidak terlihat canggung bergaul dengan beragam orang dari berbagai latarbelakang. Ia akrab dengan kalangan Muslim dari golongan mana pun. Ia kerap dipanggil dalam berbagai forum dialog antar Agama. Dan dia terlibat sangat aktif dalam Masyarakat Dialog Antar Agama).

Ia selalu muncul sebagai manusia yang mencoba mencari jalan 'mendamaikan' bila terjadi konflik bernuansa agama, lewat aneka lembaga yang peduli akan hal itu. Di dalam dan di luar negeri. Bahkan dugaan saya, ia mungkin sudah lebih 'kandung' sebagai saudara dengan orang-orang dari kalangan agama lain, dibanding dengan lingkungan darimana Martin berada. Ulil A. Abdala, salah seorang manusia pasca dari kalangan Muslim konon termasuk kawan dekatnya yang sudah dalam taraf saling bercanda tentang absurditas kaumnya masing-masing. Di kalangan NU, seperti pernah saya baca dalam sebuah rangkuman diskusi di lingkungan intern mereka, menyebut nama MARTIN LUKITO SINAGA sudah seperti menyebut nama seseorang yang sudah mereka kenali sampai kepada lipatan terkecil pikiran-pikirannya.

Dan dugaan saya, ini semua ia lakukan karena ia tahu, masih banyak yang harus dikerjakan manusia, agar tidak selalu hanya 'memperalat' agama dan juga memperalat Tuhan. Sebab, seperti ia katakan,
Dan, tampaknya memang hari-hari kita sudah lelah pasca-tumbangnya rezim Soeharto: mulai dari kerusuhan, konflik horizontal, kekerasan konspiratif aparat negara, sampai kegalauan menghadapi kebijakan kenaikan BBM yang tampak angkuh dan tak perduli dengan hidup sehari-hari rakyat kecil.

Tetapi, justru kita tidak boleh berlindung pada agama di tengah-tengah semua itu, tidak juga kita boleh mengungsi kepada Tuhan. Paskah bukan tentang jaminan bahwa semua hal akan dibereskan oleh Tuhan, bukan pula semua kesulitan akan lenyap. Paskah, bagaimanapun, bukan perayaan akhir zaman. Namun, Paskah adalah undangan bagi manusia -yang kalau mau memakai mata hati imannya - untuk terus melangkah, bekerja dengan mata yang terarah ke depan. Ia kiranya sudi bekerja dalam detail-detail keseharian, dan mencoba memantapkan kakinya, walau tahu bahwa arah hidup bersama di Indonesia ini serba tidak menentu.


Seandainya jarum jam tidak menunjukkan bahwa malam telah larut, barangkali saya masih akan menulis lebih panjang lagi tentang MLS, seorang tokoh, seorang teolog dan seseorang yang di masa depan, saya yakin, masih akan banyak berbuat untuk negeri ini. Yang membuat orang Simalungun bangga bahwa MARTIN LUKITO SINAGA pernah dilahirkan sebagai orang Simalungun.

Saya tahu, mungkin akan banyak yang bertanya buat apa menulis tentang MLS, seseorang yang tidak perlu ditulis berpanjang-panjang karena pikiran-pikirannya sendiri sudah memperkenalkan dirinya sendiri. Dan itu betul.

Tetapi untuk menghibur diri sendiri, dan karena itu mohon diterimalah tulisan ini sebagai sebuah upaya saya untuk menulis sambil mendalami dan meresapkan lagi apa yang pernah dan telah ia pikirkan. Semacam kebiasaan yang kita lakukan dulu di masa Sekolah Menengah atau di tingkat awal kuliah. Kita diharuskan mencatat kembali pelajaran Sekolah. Meringkas dua atau tiga bab dari sejumlah buku yang berbeda. Bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk diri kita sendiri. Karena ketika mencatat, kita juga meresapkan apa yang kita catat.

Dan saya ingin mengakhiri tulisan ini, tentang MARTIN LUKITO SINAGA Si Manusia Pasca, dengan mengetengahkan sebuah wawancara dengan majalah Pantau, yang dalam hemat saya mengukuhkan kepascaan dirinya. Wawancara ini telah menyebar kemana-mana sehingga setiap kali kita mengetik nama Martin Lukito Sinaga di mesin pencari Google atau Yahoo, wawancara ini akan selalu muncul. Bahkan dalam beberapa hal, sering kali secara sepotong-potong digunakan orang justru untuk mendiskreditkan dirinya dan pikirannya, untuk selanjutnya mendiskreditkan orang nasrani sendiri.


KRISTENISASI BUKAN ILUSI
Kristenisasi itu tidak ilusi. Itu sungguh-sungguh terjadi. Menurut saya, umat Kristen dan umat Islam perlu mencarikan solusinya bersama-sama. Sebagai orang Kristen, saya berkewajiban secara internal untuk memperkenalkan teologi agama-agama ini, dan mengajak mereka untuk lebih luas memahami agama.

“Banyak orang Kristen yang justru mendangkalkan Injil. Mereka memperlakukan Injil sebagai sepotong kata yang bisa dipakai sebagai ajian simsalabim,” demikian otokritik Pdt. Dr. Martin Sinaga, dosen Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta.

Tentu saja, kritiknya ini relevan untuk kaum muslimin yang acapkali melakukan generalisasi bahwa orang Kristen adalah monolitik dalam bersikap. Pdt. Martin yang juga aktivis Masyarakat Dialog Antar-agama (MADIA) ini juga mengulas sisik melik teologi agama-agama yang membuka peluang bagi umat beragama untuk saling menghampiri dalam sukacita, hikmah, kerelaan dan harapan.

Berikut ini petikan wawancara Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Pdt. Dr. Martin Sinaga yang juga aktif di International Conference for Relegion and Peace (ICRP). Penyunting buku Meretas Jalan Teologi Agama-agama ini berdialog seputar tema “Teologi Agama-agama” di Radio 68H pada hari Kamis, 16 Mei 2002.

Apa yang dimaksud teologi agama-agama?

Teologi agama-agama tergolong istilah baru dalam bahasa resminya, theologia religionum. Secara sederhana dapat diartikan —misalnya— cara saya merumuskan keimanan di hadapan saudara-saudara lain yang berbeda keimanan dengan saya.

Jadi lebih bersifat interaksi antarpersonal?

Ya. Justru karena saya melihat kebenaran lain pada lain agama, saya ingin membaca dan menghayati ulang kebenaran agama saya, walaupun berbeda dengan agama lain.

Apa yang membedakannya dengan doktrin Kristen sebelumnya?

Sebelumnya doktrin Kristen tumbuh ketika dia harus keluar dari agama Yahudi. Sehingga dalam doktrin awalnya dikatakan bahwa agama Yahudi tidak tahu kalau sebenarnya ada keselamatan dalam Kristus. Lalu doktrin Kristen berkembang dan berinteraksi dengan Filsafat Yunani. Lantas, orang Kristen mengatakan:
“Soalnya tidak semata soal jiwa, tapi juga menyangkut tubuh.” Karena itu, Kristus harus mati dalam tubuhnya.

Dalam perkembangan mutakhir, doktrin tersebut dirumuskan dalam rangka pencerahan modern, dimana orang Kristen semakin mengalami kesulitan dalam pencerahan. Muncul kemudian kritik, apakah agama itu masih meyakinkan? Orang Kristen lantas mati-matian membela dan membuktikan masih relevannya keberimanan.

Tetapi sekarang muncul tantangan baru, ketika kekristenan muncul ke seluruh bumi dan para penginjil dikirim ke semua tempat. Memang, ada momen di mana orang menjadi Kristen, tapi juga ada momen, orang-orang tetap tidak Kristen. Seorang pengabar Injil besar bernama Henry Kraemer, pendiri Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta sampai harus membuka topinya ketika dia melakukan misinya di daerah pasundan. Lalu berkata:
“Islam is the crown of Sunda.” Ternyata, mahkota orang Sunda itu Islam.

Kalau begitu, tentu harus muncul refleksi baru yang tidak hanya mengatakan agama menjadi kebenaran untukmu yang menjamin dan menyelamatkanmu. Tetapi, formulasi berubah: “Kalau memang kalian bisa hidup lebih baik, sungguh-sungguh benar tanpa menjadi Kristen, maka telah tiba saatnya, di mana kita berdialog dan bertemu tanpa pretensi untuk mengkristenkan.”

Bagaimana dampak paham ini terhadap konsep pengabaran Injil? Kenyataannya, aktivitas kristenisasi riil dilihat umat Islam. Bukankah teologi agama-agama bisa menghalangi pengabaran Injil?

Tepat sekali. Tetapi sedikit ada nuansa yang berbeda di situ. Pada tahun 1967-an, pemerintah mempertemukan M. Natsir dan TB. Simatupang untuk meneken surat agar umat yang telah beragama tidak menjadi objek pengabaran Injil. Hanya yang belum beragama sajalah yang dikabarkan Injil. Tapi, Simatupang mengatakan: “Lho, pengabaran Injil kan semangat terdalam kekristenan. Kalaupun diteken, nantinya di lapangan bisa berjalan lain.”

Tapi sekarang berbeda. Menurut saya, pengabaran Injil yang dilakukan dengan semangat teologi agama-agama, tidak lagi menemui seseorang dengan agenda menjadikannya Kristen; tidak lagi dengan agenda yang menganggap agama di luar Kristen tidak baik dan benar. Agendanya adalah: “Bolehkah saya dengan keyakinan Kristiani bersama Anda-anda —yang meyakini Islam dan mengundang saya ke sini dengan konsep dakwahnya— berbagi harapan di tengah-tengah kehidupan yang seolah tidak ada harapan dan senantiasa bersama kekerasan ini?” Bisakah dengan basis agama masing-masing kita mengabarkan kekuatan agama dan berbagi harapan di tengah kehidupan yang konkret? Jadi, di situ makna misi akhirnya.

Di kalangan umat Islam, ada kekhawatiran akan misi penginjilan dengan kekuatan finansial yang kuat, serta sampai menjamah ke daerah-daerah terpencil. Bagaimana tanggapan Anda?

Betul, kristenisasi itu tidak ilusi. Itu sungguh-sungguh terjadi. Menurut saya, umat Kristen dan umat Islam perlu mencarikan solusinya bersama-sama. Sebagai orang Kristen, saya berkewajiban secara internal untuk memperkenalkan teologi agama-agama ini, dan mengajak mereka untuk lebih luas memahami agama. Jangan sampai mereka mendangkalkan Injil, seolah-olah Injil adalah sekadar menerima Kristus; Kristus adalah juru selamat, lalu selesai. Akibatnya, yang muncul adalah kesan seolah-olah itulah sebenarnya pesan Kristen.

Padahal, lebih luas dari itu adalah bagaimana menciptakan tatanan bersama, untuk menjadikan hidup lebih baik dan benar. Jadi ini juga tugas pertama intern orang Kristen.

Saya pernah mengatakan kepada salah satu tokoh Yayasan Paramadina bahwa dalam Islam terkandung anjuran sifat sabar untuk menghadapi orang-orang yang agresif itu. Dalam Islam juga terkandung kewaskitaan untuk lebih mempercanggih diri dan menghadapi permasalahan substansial, semisal anak-anak kecil yang kurang memahami makna hidup, sehingga terkesan sloganistis saja. Saya kira, kalau kita melakukan ini bersama-sama, maka barangkali dakwah Islam dan pengabaran Injil atau misi, dapat bersama berbagi harapan di tengah-tengah kehidupan di negeri ini.

Tadi Anda bilang jangan sampai mendangkalkan Injil. Apakah memang ada orang Kristen yang mendangkalkan kitab sucinya?

Memang ada orang yang mendangkalkan Injil, terutama orang Kristen yang menganggap Injil hanyalah sepotong kata. Artinya, kalau sudah menerima Kristus, selesailah semua. Seolah-olah, kekristenan adalah ajian simsalabim, lalu masuk surga dan seterusnya. Ini yang sering dijajakan secara eceran di jalan-jalan. Padahal, Injil atau semangat Kristen selalu berproses dan menyejarah. Seperti agama lain, tidak bisa dikatakan always coca-cola. Menurut saya, ada perubahan dalam konsep teologi agama-agama mengenai sikap Kristen terhadap Islam. Dulu ada sikap ingin mengkristenkan orang Islam. Tapi sekarang ada perubahan, karena orang belajar. Karena ada kebijaksanaan dan kebesaran hati umat Islam. Jadi karena umat Islam bermurah hati menerima kekristenan, dengan begitu kekristenan mesti menganggap sebagai sahabat, sesama. Bahkan sekarang, menurut saya orang Kristen perlu menganggap umat Islam sebagai kakaknya di negeri ini.

Kembali ke persoalan kristenisasi tadi, ada penilaian bahwa aktivitas kristenisasi ini ditunjang oleh dana berlimpah. Menurut Anda bagaimana?

Saya tidak mau terlalu membela kekristenan. Saya ingin memaparkan sejarah misionari secara objektif. Betul, misionari itu dibebani oleh kolonialisme yang dulu didukung oleh Belanda. Namun dalam kenyataannya, kristenisasi tersebut tidaklah berhasil. Beban lain, terutama dari Amerika Serikat, adalah kenyataan mereka punya media dan uang untuk melancarkan misionari.

Menurut saya, orang Kristen memang harus keluar dari pendekatan lama ini. Dan, orang Kristen tetap harus mewujudkan misinya dalam artian kesediaan mewujudkan harapannya bersama harapan mereka yang beragama Islam melalui kriteria ketiga dakwah Islam (hikmah, nasihat baik atau mau’idhoh hasanah, dan berdiskusi secara sehat). Saya kira, mari kita menunggu orang Kristen berubah. Saya kira, kawan-kawan Muslim ikut membantu mereka berubah sebagaimana saya juga mengajak perubahan itu terjadi dari dalam.

Apakah ada batasan-batasan dalam pengabaran Injil itu?

Sebenarnya, konsep dasarnya tidak terkait dengan keberubahan agama. Konsep dasarnya lebih terkait dengan cinta-kasih yang dialami Kristus seraya hendak dirayakan oleh siapa pun, dan dimana pun. Seringkali kita terjebak dengan asumsi: “Kalau begitu, harus pindah agama dan bikin gereja, dong?” Menurut saya, ekses itu harus tegas dihindari. Sekarang, semua agama boleh membagi-bagi sukacita, harapan, perspektif, bahkan hikmah.

Kemudian, bagaimana sebenarnya perubahan dari Katolik ke Protestan, sehingga menimbulkan pertanyaan soal konsistensi akidah. “Kok, akidah terkesan tidak serius, sampai berubah-ubah?” Hal ini menyangkut sejarah Kristen yang ribuan tahun. Menurut saya, Martin Luther sedikit memberikan penekanan pada sikap beriman sebagai yang menentukan dalam masalah akidah. Di Katolik, dulu agak dibebani oleh Paus atau tradisi.

Sehingga, Luther melihat perlu ada penekanan yang lain.

Pak Martin, banyak yang salah memahami konsep Trinitas untuk kalangan non-Kristen. Sebenarnya konsep Tuhan dalam Kristen itu seperti apa?

Saya berdoa selalu kepada Allah. Dalam Kristen, ada kata Tuhan. Sebetulnya, dalam kamus dengan gampang dikatakan, bahwa Allah adalah nama Tuhan. Jadi Tuhan itu generiknya. Dalam Kristen memang ada tendensi menyebut Yesus/Kristus sebagai Tuhan. Dan menurut Lemisiladi, dulu orang Indonesia tidak punya kata Tuhan, tapi ada kata “tuan.” Lantas orang Kristen penerjemah Kitab berkata: bagaimana cara menghubungkan Yesus yang (katakanlah) punya kadar keilahian. Akhirnya, muncul ide untuk memakai “h” di tengah menjadi “Tu(h)an.”

Tapi yang hendak saya katakan, orang Kristen pun memuja Allah. Dan Tuhan di arahkan kepada Kristus.

Kenapa? Karena dalam Kristus, Allah juga menampakkan dirinya. Begitu kira-kira. Last but not least, saya kira, agama itu seperti bahasa. Masing-masing bahasa berdiri sebagai kesatuan organik. Tetapi, ketika mereka berjumpa, terjadi pengayaan (enrichment) timbal balik.

Misalnya, sebagai orang Kristen, saya merasa diperkaya oleh semangat Tauhid Islam.

Walaupun saya tetap menjalankan kekristenan saya, tapi Tauhid itu membantu untuk melihat makna keilahian sendiri. Jadi memang ada perjumpaan, meskipun harus perlu diakui adanya keberbedaan. (majalah Pantau)



Membaca wawancara ini saya membayangkan, bagaimana seandainya MARTIN LUKITO SINAGA menapak tilas lagi pelajaran-pelajaran yang ia terima dulu ketika masih di Sekolah Minggu? Bagaimana ia menempatkan pikiran-pikirannya sekarang dengan keyakinan-keyakinan yang dulu sempat ia peroleh? Apakah ia akan menilai dirinya sebagai seseorang yang sudah tercerabut kemudian menjelma jadi sosok yang lain?

Dugaan saya tidak. Sebab dalam hemat dia, ketika ia menjelaskan defenisinya sendiri tentang manusia Pasca Simalungun, manusia Simalungun yang pasca adalah orang Simalungun yang tetap Simalungun tetapi go beyond Simalungun. Sama halnya dengan seseorang yang lulus dari pasca sarjana, seseorang yang tetap sarjana tetapi sudah melampaui kesarjanaannya. Begitu pula lah ia sebagai manusia pasca nasrani, manusia yang tetap nasrani, yang tetap berjalan dengan bekal pelajaran Sekolah Minggu dulu, tetapi terus berjalan beyond kenasranian itu. Nasrani yang tercerahkan dan terus ingin mendapat pencerahan.

Terimakasih Bung MLS. Izinkan saya menyapa Anda Bung, untuk mengingatkan bahwa ternyata saya mungkin lebih tua dari Anda. Yang juga menandakan kesempatan Anda berkarya masih lebih panjang. Dan banyak orang, termasuk saya, akan mencatatnya diam-diam.

Martin Lukito Sinaga Pendeta Gereja Kristen Protestan Simalungun dan Kini Bekerja pada Lembaga Oikoumene di Geneva, Swiss

Wednesday, May 23, 2012

TOKOH SIMALUNGUN MANSEN PURBA SH, SANG GURU

Oleh : Eben Ezer Siadari

BAGIAN PERTAMA: PERKENALAN YANG ANEH
Tiap orang mungkin berharap dapat mengenal orang dengan benar dan dengan cara yang benar. Tetapi seberapa banyak kah kita yang mendapat keberuntungan semacam itu?

Saya tak begitu beruntung. Saya mengenal Pak Mansen Purba pertamakali lewat cara yang salah. Bahkan, 'memalukan' mungkin adalah kata yang lebih tepat. Memalukan karena saya melakukannya dengan cara yang mempermalukan diri saya sendiri, diri beliau dan juga, barangkali diri orang lain.

Perkenalan dengan cara memalukan itu terjadi di sebuah milis bernama barita-simalungun@yahoogroups.com. Ini adalah milis tempat orang berdiskusi secara elektronik lewat surat-e. Sebagian besar diisi oleh orang-orang Simalungun. Misinya luhur: memajukan aneka pemikiran untuk membangun iman, kebudayaan dan kemasyarakatan secara luas, bagi orang Simalungun dan simpatisannya.

Pada suatu hari muncul nama Mansen Purba di milis itu. Ia mengirimkan sebuah cerita tentang Profesor Bajaj. Saya sudah lupa inti ceritanya. Namun yang segera melekat di benak saya adalah nama besar Mansen Purba itu. Saya kira sebagian besar orang yang serius memperhatikan pembangunan dan budaya Simalungun, tahu nama itu. Saya juga sejak kecil, sudah mendengar nama itu banyak disebut orang, terutama oleh tokoh-tokoh Simalungun. Lewat lintasan berita yang saya baca sekilas, saya juga samar-samar pernah membaca tentang ketokohannya sebagai pemuka politik, pemuka budaya dan pemuka gereja di Simalungun. Ia lebih dikenal sebagai Mansen Purba SH, terutama karena keaktifannya di bidang legislasi di masa kariernya sebagai politisi.

Keesokan harinya, Caroline menelepon saya dari P. Siantar. Ia bercerita bahwa ketika ia bertemu dengan Mansen Purba di kota itu, ia kena marah habis-habisan. Rupanya, Mansen Purba tak bisa menerima tindakan Caroline di milis, yang menurut dia, mempermalukan saya. Caroline dalam telepon itu mengatakan bahwa seharusnya ia tak usah menyebutkan kekeliruan saya itu. Sebab, menurut Mansen Purba, itu kekeliruan yang wajar. Dugaan saya, Mansen Purba pula yang mengajurkan Caroline menelepon saya.

Maka saya terharu tetapi tambah malu hati. Caroline yang berada di P.Siantar, dengan pulsa interlokal, sampai menelepon saya hanya untuk mengatakan maaf untuk sesuatu kesalahan yang seharusnya saya yang meminta maaf. Apa yang lebih membuat kita merasa berutang keluhuran daripada hal semacam ini?

Tambah terharu lagi saya ketika keesokan harinya, di saat saya membuka kotak surat-e saya, saya mendapati surat dari Mansen Purba sendiri yang kembali memberikan penghiburan kepada saya. Dalam suratnya itu, dalam bahasa Simalungun yang menurut saya sudah agak jarang saya temukan kehalusannya, berkata agar saya tak usah berkecil hati oleh kekeliruan sebelumnya. Menurut dia hal itu sangat wajar. 2)

Saya kira sebebal apa pun seseorang, semembatu apa pun hatinya, ia pasti akan tersentuh oleh kesopanan dan keluhuran semacam ini. Saya jadi ingat cerita seorang teman saya ketika di asrama mahasiswa dulu. 3) Sekali waktu ia ditangkap polisi ketika mengendarai motor temannya di sebuah prapatan di dekat Jalan Dago, Bandung, tanpa SIM dan tanpa helm. Pak Polisi yang menangkapnya itu kemudian meminta dia menunjukkan identitasnya. Dan ketika Pak Polisi mengetahui bahwa ia mahasiswa, Pak Polisi itu bukannya lantas mengeluarkan surat tilang -- seperti sering kita temukan di mana-mana --melainkan dengan keramahan seorang Bapak ia menasihati untuk lain kali jangan melanggar aturan lalu-lintas. Kawan saya itu, karena merasa salut dan tak terhingga terimakasihnya, sampai-sampai mengajak sang Pak Polisi mengobrol dan menanyakan alamat rumahnya. Pak Polisi itu dengan senang hati memberinya dan bahkan mengundang agar kapan-kapan datang berkunjung. Beberapa hari kemudian kawan saya itu benar-benar pergi bertamu ke rumah Pak Polisi dan sejak itu mereka bersahabat.

Dalam hati, saya pun menganggap perkenalan saya dengan Mansen Purba barangkali ada kemiripannya dengan perkenalan yang berakhir dengan happy ending seperti yang dialami oleh kawan saya itu. Saya pun kemudian ingin mengetahui dan berkenalan dengan Mansen Purba, bahkan ingin bertandang ke rumahnya. Dan karena seingat saya Pak Mansen Purba berdomisili di P. Siantar (walau pun di kemudian hari saya akhirnya mengetahui beliau sering juga berada di Jakarta, bahkan ternyata ketika saya mempersiapkan tulisan ini beliau sedang berada di Jakarta dan menetap beberapa lama) saya kemudian memutuskan untuk bertandang ke rumahnya yang paling mudah saya kunjungi. Yakni sebuah rumah maya, virtual home, yang ia beri nama,
LOPOU NI MANSEN PURBA SH. Diambil dari Bahasa Simalungun, ini kira-kira berarti, balai-balainya Mansen Purba SH. 4) Selain itu, ada pula rumah mayanya yang lain, yakni BARUNG-BARUNG NI MANSEN PURBA SH, yang berarti semacam rumah singgah, yang dapat dijadikan tempat bermalam kala kita dalam perjalanan yang jauh, yang lazim ditemukan dalam perjalanan melewati hutan. 4b Kedua blog ini adalah sebuah blog pribadi, semacam tempatnya membuat dan menyimpan catatan-catatannya tentang kehidupan pribadi, pemikiran-pemikiran dan juga karya pengabdiannya.

Kunjungan ke rumah maya itu benar-benar sebuah kunjungan yang berarti. Sebab rumah maya itu adalah sebuah tempat yang layak dijadikan tempat belajar. Bukan saja belajar tentang bagaimana seorang tokoh seperti MP berjuang untuk Simalungun tetapi juga belajar tentang apa itu Simalungun, sejarahnya, pergumulannya sebagai sebuah etnik dan wilayah, dan juga harapan serta langkah yang telah diambi seorang tokoh seperti Mansen Purba untuk perjuangan itu. Blog itu tidak terlalu menarik bila dibandingkan dengan blog anak-anak muda zaman sekarang yang penuh warna dengan animasi yang aneh-aneh. Blog itu sangat 'lurus', plain, tapi yang menonjol adalah isinya yang bisa dijadikan tambang bagi pemahaman dan pengetahuan tentang Simalungun.

Dari blog itu lah saya menjadi tahu lebih rinci siapa dan apa saja yang telah dia lakukan untuk dan di Simalungun. Misalnya, saya jadi tahu bahwa MANSEN PURBA dilahirkan di Pematang Raya, sebuah kota kecil yang tersohor di Simalungun. Saya jadi tahu bahwa ia kini berusia 69 tahun. Saya jadi tahu pula jika beliau yang lulusan Fakultas Hukum ternyata satu almamater dengan saya di UNPAD, Bandung. Saya jadi tahu bahwa beliau pernah bekerja di almamater saya itu, sebagai pegawai tata-usaha di Fakultas MIPA. Saya bahkan jadi tahu bahwa Mansen Purba memperistrikan seorang mojang Bandung bernama Tuti Dora Rusnaini, yang kemudian dianugerahi marga Sumbayak. Saya jadi tahu bahwa Mansen Purba pernah menjadi pengacara di Pemantang Siantar, menjadi dosen di Universitas Simalungun dan menjadi anggota DPRD Propinsi Sumatera Utara selama lebih dari 16 tahun.

Rangkaian kiprah ini dapat diperpanjang lagi dengan berbagai jabatan lain. Semisal posisinya di DPP Golkar Sumatera Utara mau pun di Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Juga kiprahnya yang tak kalah banyak di GKPS mulai dari keturutsertaannya mempersiapkan hadirnya GKPS di Bandung lewat HKBPS, menjadi pengantar jemaat pertama gereja itu, menjadi Ketua Umum Pemuda GKPS dan banyak lagi merupakan gambaran diri Mansen Purba yang sangat lengkap sebagai tokoh Simalungun. Ia pemuka politik, pemuka budaya, pemuka masyarakat dan ya, pemuka gereja.

Rangkaian aktivitas ini, menurut saya, tak lagi bisa membuat ragu siapa pun, terutama orang Simalungun, untuk mengakui bahwa ia adalah salah seorang putra terbaik Simalungun. Apalagi belakangan saya juga tahu, perjalanan hidupnya adalah cerita sebagaimana banyak kita temukan pada orang-orang ulet dari pelosok. Meniti karier dan pengalaman dari bawah. Ikut aktif dalam banyak hal. Dan ditengah Jakarta yang banyak godaannya, ia tetap peduli pada Simalungun, merasa sebagai orang Simalungun dan bekerja, antara lain untuk Simalungun. Termasuk dengan bergabung dengan perkumpulan orang Simalungun SAUHUR dan ikut menjadi personil Orkes Parlajang, yang dalam bahasa Indonesia berarti Perantau. (Pak Mansen Purba sendiri, ketika saya menulis tulisan ini, sudah memulai menulis bagian dari biografinya dalam Bahasa Simalungun. Lebih lengkapnya tentang perjalanan hidupnya dapat dilihat di sana).

Namun bagi saya yang masih agak hijau tentang peta politik dan budaya Simalungun, dan agak jarang berhubungan dengan tokoh dari kalangan elit Simalungun, yang paling menarik dari beliau bukan sekadar pencapaian-pencapaian yang tidak biasa itu. Setelah perkenalan yang aneh itu, saya justru merasa makin diundang untuk ingin tahu lebih jauh karena sentuhan personalnya yang saya alami sendiri ketika berkomunikasi dengan beliau (padahal saya fisik, kami belum pernah bertemu). Dan yang paling utama, menurut saya, adalah pelajaran dari pemikiran-pemikirannya yang tak dapat tidak, harus diakui menunjukkan dirinya sebagai orang Simalungun sejati, seorang Simalungun yang dalam kata-katanya sendiri, tidak rela Simalungun dihinakan demi dan untuk alasan apa pun. 5)

Mansen Purba mengatakan dalam sebuah diskusi di milis:

"Saya tidak suka budaya adat dihinakan, walau ada (dilihat de fakto, kata MLS Sinaga {Dr.Martin Sinaga, STh}) sebagian orang Simalungun yang tak beradat. Manusia ingin baik, tertib dan sejahtera. Tetapi juga memiliki kecenderungan yang tidak tertib, bawaan lahir. Oleh karena itu jika ada Kristen yang perikehidupannya tidak seperti Kristen, bukan Alkitab yang harus disalahkan, tetapi orangnya (atau pengajaran Kristen yang diterimanya). Sama halnya, jika ada orang Simalungun yang tidak beradat, bukan adat Simalungun yang salah, tetapi orangnya.Yang ingin saya sampaikan adalah hendaknya adat Simalungun dihayati dan diamalkan masyarakat Simalungun…..."

Di bagian lain, yang menurut saya membuka cakrawala baru bagi saya sebagai seorang kristen, yang modal awalnya iman kristianinya ditempa sejak kecil di gereja orang Simalungun, yakni GKPS, Mansen Purba mengatakan begini:

" Hendaknya Simalungun menjadi Kristen sekaligus berbudaya adat Simalungun. Seandainya muncul pertanyaan apakah harus Kristen dan Adat Simalungun dijadikan seperangkatan? Jawabnya: agar Simalungun tetap eksis."


Semua pikiran-pikiran ini, yang sekali lagi, bagi saya yang masih hijau dalam soal lalu-lintas ide tentang Simalungun, seperti musik yang indah dan menggugah. Ia memberikan pengertian-pengertian baru dan mungkin prinsip-prinsip baru dalam memahami Simalungun.

Barangkali saya dapat dinilai terlalu mengagungkan, atau terlalu membual perihal pemikiran-pemikiran Mansen Purba ini. Saya juga sempat terpikir tentang hal itu di tengah perjalanan tulisan ini. Saya sempat bertanya dalam hati, jangan-jangan pikiran-pikiran seperti ini sebenarnya sudah klasik, sudah dikumandangkan sejak dulu oleh dan di kalangan Simalungun. Jangan-jangan tulisan ini hanya sebuah kekaguman sesaat dari seseorang yang baru kenal Mansen Purba dalam beberapa hari.

Tapi ingatan saya tentang pengalaman-pengalaman ketika kemudian berkomunikasi lewat surat-e dan berkirim pesan melalui SMS dengan beliau, ditambah dengan pendapat orang-orang lain tentang beliau, cukup meyakinkan saya untuk mengatakan Mansen Purba adalah seorang Simalungun Sejati. Dan yang saya suka dari hal itu, kesejatiannya tidak dilakukan dengan sifat chauvinist yang kelihatannya makin bangkit pula diantara orang Simalungun dewasa ini. Yang saya syukuri dan membuat saya merasa nyaman adalah ia menunjukkan jatidirinya sebagai Simalungun dengan mengambil pendekatan pembelajaran.

Yang saya maksud dengan pembelajaran itu adalah, dalam ia menjelaskan kesejatiannya sebagai orang Simalungun, sekaligus juga ia memberi pemahaman apa arti menjadi orang Simalungun, apa arti seorang Simalungun sejati. Dan dalam aneka keterangannya tentang itu saya akhirnya jadi paham, menjadi Simalungun bukan hanya hak, bukan hanya titisan darah dan bukan pula hanya domisili. Ia justru mengetengahkan hal yang lain, bahwa menjadi Simalungun berarti juga mengandung arti adanya kewajiban, keteladanan dan juga kerendahan hati. Kerendahan hati untuk tidak hanya melihat Simalungun sebagai suku bangsa yang selalu kalah, tetapi kerendahan hati untuk selalu optimistis bahwa Simalungun yang kerap direndahkan dan dihinakan oleh orang Simalungun sendiri, telah membuktikan dirinya eksis berabad-abad, walau pun sejarah mencatat aneka tekanan pernah menerpa suku bangsa ini.

Hal ini penting karena semakin saya banyak bergaul dengan orang Simalungun, saya makin menyadari bahwa 'menjadi' orang Simalungun itu adalah perdebatan yang jadi klasik di kalangan Simalungun, dan tiap orang mempunyai pemahaman sendiri tentang Simalungun sejati itu. Jika hanya menilik jalur keturunan saja, misalnya, sangat mungkin kita akan menemukan orang yang setengah Simalungun, seperempat Simalungun bahkan orang yang ‘mengaku-ngaku’ Simalungun. Ini wajar terjadi karena wilayah Simalungun sudah cukup lama menjadi incaran kaum pendatang yang kemudian kawin-mawin dengan orang Simalungun. Pengaruh-mempengaruhi budaya agaknya ikut memunculkan pertanyaan tentang kesejatian sebagai orang Simalungun itu.

Dan, di tengah aneka penafsiran dan pendapat, maka sangat wajar jika orang akhirnya bertanya apakah memang benar ada yang dinamai Simalungun sejati itu? Dan jika ada, dari hal apakah kita melihat kesejatiannya?

Saya kira pada titik inilah saya mendapat pemahaman yang agak mendalam. Dengan sedikit demi sedikit belajar dari Mansen Purba, setelah melalui perkenalan yang aneh dan memalukan, menjadikan kami lebih intens berkomunikasi. Dan anehnya, aneka pelajaran yang saya anggap mendalam itu dapat saya peroleh hanya dengan membaca tulisannya, membaca surat-e nya, menerima SMSnya, mendebat apa yang dia pikirkan, dan sedikit banyak, dari canda yang ia sampaikan. Walau kami samasekali belum pernah bertemu, bahkan berbicara pun samasekali tidak (langsung atau lewat telepon), uniknya saya merasa setidaknya telah dapat dan masih akan terus mendapat pelajaran berharga darinya.

Tak berlebihan bila saya merasa Mansen Purba dalam waktu yang singkat telah menjadi Guru bagi saya. Guru dengan G besar. Ia menjadi Guru bagi saya tentang Simalungun, tentang bagaimana 'menjadi dan sebagai' orang Simalungun yang oleh orang Simalungun kerap diartikan sebagai MarSimalungun. Ia saya sebut sebagai Guru dengan G besar, karena ia bukan hanya mengajarkan saya untuk mengetahui. Pelajaran darinya juga mendorong dan menggugah saya untuk ‘menjadi’ dan ‘sebagai’ yang diajarkannya itu. Yakni ‘menjadi’ dan ‘sebagai’ orang Simalungun. Marsimalungun. Saya kira orang lain yang mengenalnya, dan sudi menjadi muridnya, juga akan tergugah untuk ‘menjadi dan sebagai orang Simalungun.

Saya pun akhirnya memutuskan ingin mengenal Mansen Purba lebih jauh lagi.

BAGIAN II: GURU SAYA ITU, PAROROT JUGA

Seingat saya, SMS saya yang pertama kali saya kirimkan kepada Mansen Purba, sahabat baru yang sekaligus Guru saya itu, adalah SMS yang sedikit berbau formal dan saya kirimkan dalam bahasa Simalungun. Saya mengirimkan SMS kepada Mansen Purba untuk meminta kesediaannya melanjutkan diskusinya dengan Dr. Martin Sinaga STh yang sudah mereka lakukan di milis. Saya menilai diskusi mereka itu sangat bermutu dan memberikan banyak pemahaman baru kepada peserta milis yang lain, terutama yang masih muda-muda.6)

Melalui SMS itu pula saya mengatakan alangkan baiknya bila keduanya dapat mengintensifkan dialog mereka, di dunia maya itu mau pun di dunia nyata, dalam bentuk kopdar atau 'kopi darat'.7) Maka dalam SMS saya kepada Mansen Purba, saya mengatakan harapan agar diskusi mereka itu dapat berlanjut terus dan bila perlu diwujudkan di 'darat' dalam bentuk panel diskusi atau semi seminar.

SMS saya itu mendapat jawaban yang simpatik. Ia bahkan menganjurkan agar forum kopi darat itu benar-benar dirancang serius, baik tema mau pun bentuk kopi daratnya. Sebab ia berharap kopi darat itu sebaiknya menghasilkan sesuatu. Dan yang lebih penting topiknya tidak ngelantur kesana kemari.

Percakapan lewat SMS kami ternyata berlanjut terus setelah itu. Dan, di sini lah peran Mansen Purba sebagai guru bagi saya, yang baik dalam hal umur apalagi pengalaman sebagai orang Simalungun masih sangat hijau, semakin terlihat. Semula, SMS yang saya kirimkan dalam Bahasa Simalungun yang marpasir-pasir 8) itu saya maksudkan hanya sebuah basa-basi tatakrama, sekadar mempererat perasaan sesama orang Simalungun. Namun tanpa saya sadari, Mansen Purba ternyata menggiring saya pada percakapan yang lebih mendalam, baik dalam substansinya, mau pun dalam penggunaan Bahasa Simalungun itu sendiri. Tidak sekali pun Mansen Purba menggunakan Bahasa Indonesia dalam menjawab SMS-SMS saya. Bersamaan dengan itu, ia dengan sabar, tak henti-henti memperbaiki Bahasa Simalungun saya yang berjumpalitan, walau pun dengan begitu ia harus menanggung risiko pulsanya lebih banyak terkuras dan pesan-pesan yang dia sampaikan sangat panjang memenuhi memori telepon genggam saya.

Yang lebih mengejutkan saya, Mansen Purba ternyata dengan cermat membuat arsip percakapan kami melalui SMS itu, membuat transkripnya dan mengirimkannya kepada saya. Dalam arsip yang dia buat itu, sudah ia tandai, dalam kata apa saja dan dalam bentuk yang bagaimana, Bahasa Simalungun saya salah dan bagaimana seharusnya yang benar.9) Ia dengan teliti memberi koreksi, bahkan kadang-kadang ia tak sekadar memberikan pengertian dari kata tersebut, melainkan juga konteksnya dalam budaya Simalungun.
Misalnya, sekali waktu setelah sebuah percakapan SMS yang panjang, saya agak 'menyerah' dan ingin mengakhirinya dengan mengucapkan terimakasih. Maka saya menyampaikan SMS dalam Bahasa Simalungun seperti berikut ini.

Eben: Tarimakasih tulang. Ulang jora homa mangajar2ì (Terimakasih Paman. Jangan kapok Anda mengajari [saya})

Tak dinyana, Mansen Purba memberikan jawaban yang panjang, yang pada intinya menyiratkan keterbukaan untuk berdiskusi lebih lanjut dan kesediaan memberikan nasihat-nasihat lebih banyak lagi. Ia menjawab SMS itu begini:

MANSEN PURBA: Lang jora, lang loja. Gariada marsujihon pambotoh do ai, ai nini MLS, sahap Sim ma namin 'esai' ni barita pargoluonku. Rusak au ham do lang tolap (pulsa? he he). Ai ma ase hununut do: ihatahon ham 'mangajar2ì'. Naijahani do: 'mangajar-ajari' (=membujuk) do? 'mangajari' (mamodahi) do? Haduasi ma tene. (Tidak kapok dan tidak capek. Bahkan itu akan mengujicoba pengetahuan, kok, karena menurut MLS (Dr Martin Sinaga STh), bahasa Simalungun lah esai dari kisah hidup saya. Saya justru khawati Anda lah yang nggak sanggup (pulsa? He..he). Yang mana yang Anda maksud dengan kata 'mangajar-ajari’. =Membujuk kah? Atau menasihatikah? Dua-duanya lah ya?)

Dalam hati saya bertanya, apa sebenarnya yang diharapkan oleh seorang tokoh seperti Mansen Purba, dengan semua yang dilakukannya ini kepada seseorang yang masih hijau seperti saya, yang dalam ukuran apa pun mungkin tak akan memberikan nilai tambah bagi hidupnya yang menurut saya sudah mencapai tingkat yang tak memerlukan lagi kawan diskusi seperti saya.

Saya juga ingin tahu mengapa ia demikian ngotot menggunakan Bahasa Simalungun dalam setiap percakapannya dengan saya. Apakah ia sekadar ingin melampiaskan kemampuan dan kefasihannya berbahasa Simalungun atau apakah ia sedang memamerkan keindahan Bahasa Simalungun yang makin lama makin jarang kita temukan?

Saya akhirnya menduga bahwa barangkali semua motif itu ada padanya. Tapi setelah saya dalami lagi dan membaca tulisan-tulisannya, saya berpendapat tampaknya MANSEN PURBA menginginkan hal yang lebih dalam lagi. Dan, ini berhubungan dengan posisi yang telah berkali-kali ia sampaikan, bahwa ia tak ingin Simalungun dihinakan karena dan demi alasan apa pun. MANSEN PURBA berkeyakinan posisi semacam itu hanya dapat ia capai dengan memulai dari dirinya sendiri memberi contoh bagaimana menjadi orang Simalungun. Dan salah satu bentuknya adalah dengan menggunakan Bahasa Simalungun bila berbicara dengan orang Simalungun.

Keyakinan seperti ini saya dapatkan setelah saya membaca sebuah tulisannya di blognya yang berjudul, Budaya lah yang Membedakan Bangsa. Dari tulisannya itu, saya melihat bahwa MANSEN PURBA berpendapat Orang Simalungun hanya akan bisa eksis dan dikenal sebagai suatu etnik apabila orang Simalungun tetap mempertahankan budayanya. Menurut dia, budaya lah yang menunjukkan keberbedaan satu etnik dengan etnik lain. Dan budaya hanya dapat dipertahankan dan dipertunjukkan keberadaannya melalui tiga hal, pertama, bahasam kedua, adat-istiadat dan ketiga, kesenian.

Dalam Bahasa Simalungun, Mansen Purba mengatakan begini:
Aspek budaya na takkas taridah paleganhon suku na sada humbani na legannari, ai ma sahap, adat pakon kesenian. Tarlobih bani suku-bangsa Simalungun, aspek budaya na tolu in mando mambahen targoran ia suku bangsa. Anggo lambin lang be ihargahon sahap Simalungun, lambin roh simouni ma suku bangsa in. Anggo lambin lang be taridah hinalegan ni adat perkawinan ni Simalungun, hira dos mando songon adat ni simbalog (Toba), lambin roh langni ma suku bangsa Simalungun. Anggo lambin tading ma inggou Simalungun, rosuhan bani inggou suku na legan (atap India?), roh sasapni ma suku bangsa Simalungun.

(Aspek budaya yang paling jelas memperlihatkan satu suku dari yang lain adalah bahasa, adat dan kesenian. Terutama bagi suku bangsa Simalungun, tinggal ketiga aspek budaya ini lah yang membuat mereka dapat disebut sebagai sebuah suku bangsa. Kalau kita makin tak menghargai bahasa Simalungun, makin samarlah kehadiran suku bangsa itu. Kalau makin tak terlihat lagi perbedaan adat perkawinan Simalungun, dan makin sama saja dengan adat tetangganya (Toba), makin tak terlihat pula Simalungun sebagai sebuah suku. Kalau makin tertinggal lah inggou, semacam cengkok yang khas dalam lagu-lagu Simalungun, dan lebih suka pada cengkok pada musik bangsa lain (misalnya, India?), makin terhapus lah suku bangsa Simalungun.)

Dalam hati saya mengakui kebenaran posisi yang diambil Mansen Purba ini. Sudah seringkali saya melihat orang Simalungun, termasuk saya kadang-kadang, agak enggan menggunakan Bahasa Simalungun dalam percakapan dengan sesama orang Simalungun. Dan alasan untuk tak menggunakan bahasa itu seringkali sangat ironis dan dangkal. Yakni karena takut salah, atau takut lawan bicara kita tak mengerti. (Lucu ya, mengapa kita malu salah, dalam menggunakan bahasa kita sendiri dengan sesama suku sendiri? Bukankah dengan begitu kita dapat memperbaiki kesalahan tanpa merasa malu atau dipermalukan?)

Yang lebih parah adalah adanya rasa malu menggunakan Bahasa Simalungun. Semacam perasaan bahwa Bahasa Simalungun itu agak terbelakang, terlalu mendayu-dayu dan kurang dinamis. Saya pernah mendengar penilaian semacam ini dikemukakan oleh seorang Simalungun dan saya kira ini agak kurang beralasan karena Bahasa Jawa dan langgam Jawa yang tak kalah mendayu-dayu, toh tidak serta-merta membuat orang Jawa malu menggunakannya.

Karena merasa alasan-alasan yang dikemukakannya ini memang benar, ditambah dengan bagaimana MANSEN PURBA dengan tulisan-tulisannya sendiri dapat menunjukkan bahwa Bahasa Simalungun sebenarnya tak kalah lengkapnya dengan bahasa lain untuk digunakan dalam mengekspressikan diri, saya ingin dan makin tergugah mempelajari Bahasa Simalungun dan budayanya. Juga saya memulai menulis dalam Bahasa Simalungun walau pun nilai saya dalam hal ini saya yakini sangatlah buruknya.10)

Pendapatnya yang lain, yang menurut saya sangat tajam dan mengandung kebenaran yang tak bisa terbantah, adalah makin rendahnya kualitas penguasaan Bahasa Simalungun di kalangan pendeta GKPS, yang notabene satu-satunya gereja yang bercirikan Simalungun. Dalam sebuah pertanyaan yang sangat mengundang saya untuk merenung Mansen Purba menulis, mengapa jika seseorang ketika akan kuliah di negara yang berbahasa Inggris, ia diharuskan menguasai bahasa itu dan disyaratkan pula ada skor TOEFL, tetapi di kalangan pendeta GKPS yang seharusnya berkhotbah dalam Bahasa Simalungun, tidak ada aturan yang mengharuskannya menguasai Bahasa Simalungun dengan baik? Saya sendiri mengaminkan pendapat ini, terutama karena setelah sekian banyak mengikuti ibadah di GKPS, saya makin menyadari makin kurangnya keindahan bahasa Simalungun yang ditunjukkan oleh para pengkhotbahnya.

Yang lebih menyentuh saya, dan saya kira orang Simalungun lain juga banyak yang berpendapat demikian, adalah pendapatnya yang mengaitkan keberadaan Bahasa Simalungun dengan iman kebanyakan orang Simalungun. Dalam sebuah tulisannya ia mengatakan, Tuhan telah menyapa orang Simalungun melalui Bahasa Simalungun (dalam Bahasa Simalungun, ia mengatakan, isisei Naibata do halak Simalungun marhitei sahap Simalungun), dan bahkan Alkitab berbahasa Simalungun pun sudah ada sejak lama. Maka sangat wajarlah jika bahasa itu tak boleh dibiarkan punah, apalagi dianggap terbelakang.

Namun yang paling membuat saya senang, dan ini memang sifatnya sangat subjektif, adalah pendiriannya yang sangat terbuka namun sekaligus sangat substantif dalam perdebatan mengenai keSimalungunan. Secara gamblang, Mansen Purba mengatakan bahwa seseorang sebagai orang Simalungun tak harus dinilai dari ‘darah Simalungun’ yang mengalir pada dirinya, bukan dari asal-muasal keturunannya, apalagi pula dari sekadar marga yang disandangnya.

Bagi saya, dan sekali lagi ini barangkali sifatnya sangat subjektif, pendapatnya ini akan sangat penting bagi keberadaan orang Simalungun di kemudian hari. Barangkali sudah keniscayaan sejarah bahwa orang Simalungun banyak sekali dipengaruhi oleh suku bangsa lain, terutama orang Toba yang bersama-sama dengan orang Simalungun kerap dikategorikan dalam satu rumpun suku Batak. (Dalam hal ini sekarang muncul kesadaran baru sekaligus perdebatan di kalangan orang Simalungun bahwa Simalungun dan Toba adalah etnik yang berbeda).

Perkawinan antara orang Toba dan orang Simalungun sudah lama terjadi dan berkecenderungan semakin meningkat. Perkawinan orang-orang dari kedua suku itu relatif tidak menghadirkan masalah, paling tidak bila dibandingkan dengan perkawinan antara orang Simalungun dengan suku lain. Barangkali ini dikarenakan banyaknya kemiripan, baik dalam hal adat mau pun bahasa, dan juga kedekatan geografis.

Karena itu pula, barangkali tak terhitung lagi sudah berapa banyak warga Simalungun yang dilahirkan akibat percampuran kedua suku ini, termasuk saya sendiri, yang bermarga Siadari (Toba), dari ayah yang bermarga Siadari dan ibu bermarga Damanik (Simalungun). Orang-orang seperti saya, seringkali gamang dalam menentukan posisinya, apakah dirinya orang Toba atau orang Simalungun.

Bila mengikuti adat Toba mau pun Simalungun yang pada umumnya mengikuti garis keturunan ayah, sudah jelaslah orang seperti saya dianggap sebagai orang Toba walau pun masa kecil dan remaja saya dihabiskan di lingkungan Simalungun. Padahal di saat yang sama, banyak juga orang yang seperti saya yang merasa tak harus melakukan pilihan, apakah ia harus menjadi orang Toba saja atau orang Simalungun saja. Bahkan yang lebih krusial, adalah bagaimana seseorang yang merupakan orang Toba, dan kemudian dengan sukarela menjadikan dirinya sebagai orang Simalungun termasuk dengan menyesuaikan marganya ke dalam rumpun marga di Simalungun (misalnya, marga Manihuruk yang berasal dari Toba, menjadi Saragih Manihuruk di lingkungan Simalungun).

Untuk hal ini, saya menilai Mansen Purba menyajikan pendapat yang sangat melegakan tetapi juga dengan dasar yang solid, terutama bagi generasi yang lahir dari perkawinan campuran di masa depan. Kata Mansen Purba:

Bukan asal-muasal marga yang paling menunjukkan adanya suku Simalungun. Kalau itu yang dijadikan landasan, tak mungkin lagi kita selidiki dari mana saja asal-muasal orang Simalungun. Tidak pernah pula pernah terdengar legenda yang mengatakan bahwa asal-muasal marga Simalungun berasal dari satu sumber.

Sistem marga memang termasuk budaya. Tetapi budaya adat perkawinan lah yang menjadi pengikat sistem marga di Simalungun. Itu sebabnya, budaya lah yang dapat dijadikan sebagai landasan melestarikan suku bangsa Simalungun. Bukan asal-muasal nenek-moyang. Walau pun dulunya bukan orang Simalungun, ia akan menjadi orang Simalungun jika ia berbudaya Simalungun. Begitu pula sebaliknya. Walau pun ia dulunya orang Simalungun, sulitlah dia disebut sebagai orang Simalungun jika budayanya sudah lain.

(Dalam bahasa Simalungun: Sedo hasusuran parmorgaon tang napataridahkon suku bangsa Simalungun. Ai anggo hasusuran do, lang tartakkasi be atap susur hunja hinan do halak Simalungun. Lang homa ongga tarbogei legenda na makkatahon sisada hasusuran hinan halak Simalungun….

Budaya do namin age parmorgaon. Tapi budaya adat perkawinan do rahut-rahut ni parmorgaon i Simalungun. Ai ma ase budaya ma tang na boi bahenon gabe batar-batar pasayurhon suku bangsa Simalungun. Sedo hasusuran. Age pe lang halak Simalungun hinan, gabe halak Simalungun do goranon anggo marbudaya Simalungun do. Sonai homa age suharni ai. Age halak Simalungun hasusuranni, mahol ma goranon ia halak Simalungun anggo budayani domma lang be budaya Simalungun
)

Hal ini melegakan, karena menurut saya, orang Simalungun yang menikah dengan orang Toba, Jawa, Sunda (termasuk Mansen Purba sendiri) akan makin besar jumlahnya di kemudian hari. Kita tidak dapat membayangkan, bagaimana nasib seorang anak yang dilahirkan dari ibu yang seorang Simalungun dengan ayah dari Manado, tetapi dibesarkan dan menyatukan diri dalam budaya Simalungun, dan merasa sebagai orang Simalungun, lalu kemudian dianggap sebagai bukan orang Simalungun.

Dengan pendapatnya yang demikian, Mansen Purba telah menyediakan pintu masuk bagi orang-orang yang menyediakan diri dan terpanggil untuk ‘menjadi’ dan sebagai orang Simalungun. Pada saat yang sama, pendapat Mansen Purba juga mengajukan syarat bahwa panggilan menjadi dan sebagai orang Simalungun itu harus dibuktikan lewat kesediaan berbudaya Simalungun, dalam arti berbicara, menjalankan adat-istiadat, dan memahami kesenian Simalungun.

Untuk semua itu, Mansen Purba tak hanya melemparkan pendapat dan memberi khotbah. Ia sendiri ikut membuka dan mempersiapkan jalan untuk mengundang orang untuk menjadi dan sebagai orang Simalungun itu. Antara lain dengan kemampuannya membuat arsip dan menulis dengan indah dalam Bahasa Simalungun. Saya sempat terkaget-kaget, dan tidak dapat menyembunyikan kekaguman saya, ketika suatu kali Mansen Purba mengirimi saya sebuah naskah, berisi acara prosesi adat perkawinan Simalungun, lengkap dengan pepatah-petitihnya, yang sudah dalam bentuk dwibahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Simalungun. Transkrip prosesi adat itu sangat detail, baik dalam hal substansinya mau pun penerjemahannya, sehingga orang yang bukan Simalungun pun, saya duga, dapat meraba-raba bukan saja artinya secara harfiah tetapi juga arti filosofis dari prosesi adat itu.

Transkrip prosesi adat Simalungun itu, menurut dia, ia siapkan sendiri ketika ia menikahkan salah seorang putranya yang mempersunting putri dari Semarang. Sampai-sampai saya harus mengirimkan SMS kepada beliau, untuk mengatakan rasa iri saya. Kata saya dalam SMS saya kepada Mansen Purba, seandainya transkrip seperti itu sudah saya dapatkan sejak dulu, mungkin mertua saya (yang orang Jawa) tidak perlu termangu-mangu ketika mengikuti acara perkawinan saya yang dilaksanakan dalam adat Simalungun.11)

Transkrip prosesi adat ini hanya satu dari sekian banyak contoh dari ketekunannya memelihara budaya Simalungun itu. Masih banyak lagi yang telah ia tuliskan dan arsipkan secara teliti, termasuk tulisan mengenai sistem kekerabatan yang selain rumit, juga menggambarkan kekhasan sistem kekerabatan Simalungun.12) Ia juga menjabarkan bagaimana posisi perempuan dalam adat-istiadat Simalungun untuk menjawab hebohnya perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender di kalangan Simalungun.

Maka setelah membaca banyak sekali yang telah ia tuliskan, dalam hati saya mengatakan bahwa peran Mansen Purba yang semula saya tempatkan sebagai Guru saya dalam Marsimalungun, untuk ‘menjadi’ dan ‘sebagai’ orang Simalungun, agaknya keliru. Eh, lebih tepatnya tak cukup. Dengan semua pendapatnya itu, saya kira ia telah pula menunjukkan kepedulian, keprihatinan tetapi juga sekaligus kecintaannya kepada Simalungun. Dengan semua pendapat dan kesabarannya itu ia bukan hanya telah mengajar dan menggugah saya untuk menjadi dan sebagai orang Simalungun. Ia, pada saat yang sama, ia telah pula menunjukkan dirinya sebagai orang penjaga dan pemelihara budaya Simalungun, terutama dalam bentuk bahasa, adat-istiadat dan keseniannya. Dan orang Simalungun punya kata yang bagus untuk menggambarkan ini: Parorot.
Parorot?

Saya tak begitu pandai mengatakan apa padanannya dalam Bahasa Indonesia. Dan seandainya ada, saya kira juga akan sulit mengatakannya dalam waktu singkat dan tepat. Saya kira ada sejumlah kata dalam Bahasa Simalungun yang pengertiannya secara utuh tak dapat ditemukan secara tepat dalam Bahasa Indonesia. Semisal kata ‘Manganju.’ Kata ini tampaknya akan menjadi ‘monopoli orang Simalungun dan orang Toba saja yang dapat meraba dan mendalami artinya secara menyeluruh. Sebab suatu kali ia bisa berarti membujuk. Tetapi pada saat yang bersamaan kata itu juga berarti memahami, menerima dengan –terutama-- bukan rasio, melainkan dengan perasaan, dengan hati.

Parorot, dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan sebagai penjaga. Tetapi penjaga saja tidak cukup. Ia penjaga yang sekaligus pengasuh, pembmbing dan juga pemelihara. Dalam konteks yang lebih luas, orang Simalungun pada umumnya menganggap Tuhan lah yang mahaparorot, mahapengasuh hidup dan perjalanan hidup manusia.

Kata Rorot sendiri bisa pula berarti diikat secara kencang agar tak bergoyang atau bergeser. Ini biasanya digunakan untuk menggambarkan bagaimana kain gendungan diikatkan ketika menggendong bayi, agar sang bayi tak berisiko jatuh di saat digendong.

Begitu pentingnya peran parorot dan arti kata rorot, dalam adat Simalungun dan adat Batak pada umumnya, ada yang disebut hiou parorot. Ini adalah nama untuk sejenis kain tenunan atau lebih populer dengan sebutan ulos, yang secara hormat dan penuh makna diberikan kepada Amboru, yakni adik atau kakak perempuan yang paling kandung dari seorang pria yang disedang dirayakan/dipestakan pernikahannya. Hiou parorot, atau kain pengasuh itu sebagai simbol bagi permintaan agar sang Amboru, yang secara tradisi dianggap telah menjadi ‘pengasuh’ sang mempelai pria selama ini, tetaplah menjadi ‘pengasuh’ sang mempelai selama hidupnya, walau pun ia telah menikah.

Saya menduga, tak hanya di panggung adat dan pesta perkawinan saja Amboru sering berperan sebagai parorot atau pengasuh. Dalam dunia nyata Orang Simalungun, terutama di zaman dahulu kala ketika menyerahkan pengasuhan anak kepada pembantu belum menjadi kebiasaan, sang Amboru lah yang selalu dipercayakan untuk menjadi parorot seorang bocah. Ia mendapat kepercayaan karena ia adalah adik atau kakak perempuan dari ayah, yang diharapkan dapat mengasihi sang anak seperti anaknya sendiri.

Saya masih ingat di waktu kecil, saya dan lima orang adik saya menikmati betul pengasuhan dari dua orang amboru kami yang mendapat kepercayaan penuh dari kedua orang tua kami. Saya bahkan merasakan bagaimana sang Amboru, yang telah lebih dulu merantau ke Jakarta, membujuk saya untuk sudi ikut bersamanya ke Jakarta, karena ia merasa masa depan saya ikut menjadi tanggung jawabnya.

Barangkali makna parorot yang demikian lah peran Mansen Purba dalam pandangan saya, peran beliau terhadap budaya Simalungun bila menyimak bagaimana ia peduli dan selalu menggugah orang untuk ‘menjadi’ dan ‘sebagai’ orang Simalungun. Makna parorot yang berarti penjaga, pengasuh dan pemelihara Simalungun itu, ia jalankan dengan kecintaan tetapi sekaligus keprihatinan, karena saya menduga, ia juga khawatir tak banyak lagi orang, terutama yang muda-muda, memberi perhatian serius kepada hal ini.

Idealnya, peran parorot itu dijalankan oleh setiap orang yang mengaku dirinya Simalungun. Dan, bagi Mansen Purba, peran semacam itulah yang seharusnya menjadi penanda kesejatian seseorang yang mengaku dirinya Simalungun. Seorang Simalungun sejati, sejauh yang dapat saya tangkap dari pemikiran Mansen Purba, harus mempunyai rasa cinta kepada Simalungun. Rasa cinta yang sangat dalam sehingga baik-buruknya Simalungun harus dianggap baik-buruknya dirinya sendiri. Seperti seorang Amboru kita yang menjadi parorot kita, ia tidak hanya mengasuh dan memelihara, tetapi ia juga menjaga agar sang anak yang diasuhnya berkembang dengan benar dan terhindar dari bahaya.

Kata Mansen Purba dalam sebuah tulisannya: “Jika saya melihat ada yang kurang (negatif) pada Simalungun, saya anggap itu kekurangan saya. Tugas saya lah untuk memperbaikinya. Bukan karena hal negatif itu maka Simalungun saya campakkan. Karena saya tak pernah bisa mengingkari bahwa saya orang Simalungun. Tak dapat pula saya mengubah diri saya agar saya bukan Simalungun. Karena itu, tak bisa tidak, dan saya tak punya pilihan, saya harus memperbaiki kekurangan Simalungun itu. Bahkan barangkali karena itulah saya ditakdirkan jadi orang Simalungun.”

Pendiriannya yang demikian ini agaknya didorong juga oleh munculnya aneka orang yang membicarakan Simalungun. Dan Mansen Purba menduga, banyak sekali orang Simalungun yang membicarakan Simalungun dengan menempatkan diri bukan sebagai orang Simalungun. Dalam sebuah surat-e nya kepada saya, ia mengatakan seharusnya tiap orang dengan jelas menentukan posisinya bila membicarakan Simalungun. Apakah dia yang berbicara itu sebagai orang Simalungun, atau seorang pengamat yang mengamati Simalungun, atau seorang tetangga yang membicarakan tetangganya.13

Dengan demikian, permintaannya agar setiap orang yang mengaku Simalungun agar berbicara sebagai orang Simalungun, saya duga, seharusnya diterima oleh setiap orang yang mengaku dan merasa dirinya Simalungun sebagai teguran sekaligus juga tantangan. Dan dengan apa yang telah dilakukannya, dengan peran yang telah dijalankannya secara sadar atau tidak sebagai pengasuh, penjaga dan pemelihara Simalungun, saya kira Mansen Purba memang layak melontarkannya.

Saya sendiri merasa tertantang ketika dalam sebuah SMS-nya Mansen Purba bertanya kepada saya, secara diplomatis, doa apa yang sebaiknya dia panjatkan kepada Tuhan agar saya menjadi Simalungun. Dan ketika saya menjawab SMS itu, dengan pernyataan yang sedikit normatif, tak saya duga ia kemudian membalas, dengan mengatakan ia juga ingin menambahkan doa itu dengan mengatakan:

“Ya Tuhan, jadilah kehendakmu. Karena saya Simalungun, saya juga memohon: Mampukanlah aku dan semua kami orang Simalungun agar kami dapat menghayati dan mengamalkan Firmanmu, karena Engkau sudah sempat berkenan menyapa kami berbahasa Simalungun…”

Saya dapat menangkap pesan dari doanya itu. Ia ingin agar saya, dan orang lain yang mengaku dirinya Simalungun, dapat menunjukkan jatidiri sebagai orang Simalungun. Dan, salah satu yang paling dapat terlihat adalah membiasakan diri berbahasa Simalungun dan mempelajarinya lebih dalam.

Saya kira saya tak punya pilihan lain. Orang Simalungun lainnya juga dugaan saya demikian. Mansen Purba, sang parorot, telah menyampaikan tantangan yang menentukan nasib orang Simalungun. Tinggal lagi, apakah orang-orang muda dapat menerima tantangannya itu? Dan bagaimana sebaiknya tantangan itu disambut?


Catatan Kaki:

1 Tulisan yang disajikan dalam Bahasa Simalungun itu, ternyata sudah pula ada dalam makalahnya berbahasa Indonesia. Antara lain, ia menulis sbb:: Dalam membina kehidupan Kristiani juga, nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Simalungun cukup potensial. Beberapa terminologi yang berasal dari budaya Simalungun sudah diadopsi Gereja, seperti terminologi Naibata, suatu terminologi yang digunakan hanya untuk satu-satunya Yang Maha Kuasa, yang dianggap Maha Adil; Na Pansing dalam terminologi Tonduy Na Pansing dan Horja Banggal Na Pansing konon terambil dari terminologi demban pansing, yakni sirih dipetik dan dibawa secara cermat agar tidak ternoda kesuciannya. Lihat www.mansenpurba.blogspot.com.

2 Surat-e nya dalam bahasa Simalungun itu sekaligus juga undangan kepada saya melihat blog beliau.

3 Kawan saya itu bernama Bagya Prananta, mahasiswa ITB jurusan Biologi, angkatan tahun 1983
4 LOPOU NI MANSEN PURBA beralamat di www.mansenpurba.blogspot.com
4b BARUNG-BARUNG NI MANSEN PURBA SH beralamat di http://spaces.msn.com/mansenpurba

5 Dalam sebuah dialognya dengan Dr. Martin Sinaga, STh, pendeta GKPS yang kini menjadi pembantu rektor di STT Jakarta, Mansen Purba mengatakan pendapatnya ini ketika membahas sebuah isu yang mengetengahkan kemungkinan konflik antara kesetaraan gender dengan budaya Simalungun. Dalam Bahasa Simalungun, ia mengatakan: Lang marosuh au ipahiri budaya adat Simalungun, porini pe dong (dilihat de fakto, nini mlsinaga) deba halak Simalungun na so maradat.

6 Dalam diskusi mereka berdua, MANSEN PURBA berada dalam posisi yang konservatif mengenai perlunya perubahan terhadap adat-istiadat untuk mencapai kesetaraan gender, sedangkan Dr. Martin L Sinaga berada di posisi liberal.

7 Kopi Darat adalah istilah untuk menyatakan pertemuan secara riel dari para orang-orang yang berdiskusi di milis di internet. Di dalam kopi darat itu lah biasanya orang-orang yang semula hanya kenal nama atau nama julukan (nickname) di internet, berkenalan secara tatap muka di dunia nyata. Atau kalau pun sudah saling kenal, dialog mereka di dunia nyata dapat pula dilakukan secara langsung.

8 Bahasa Simalungun yang marpasir-pasir jika diterjemahkan secara harafiah adalah Bahasa Simalungun yang penuh pasir. Maksudnya sebenarnya adalah Bahasa Simalungun yang tidak utuh lagi. Sudah tercampur dengan kata-kata dari Bahasa lain. Umumnya banyak orang Simalungun yang Bahasa Simalungunnya sudah sangat terpengaruh oleh Bahasa Indonesia dan juga Bahasa Toba.

9 Ada sejumlah rekaman percakapan lewat SMS yang ia transkrip dan dijadikan arsip. Semuanya dikirimkan juga kepada saya untuk saya jadikan arsip pula.

10 Setelah MANSEN PURBA mengirimkan hasil rangkuman SMS perbincangan dirinya dengan saya, yang telah berisi pembetulan-pembetulan yang ia lakukan terhadap Bahasa Simalungun saya, MANSEN PURBA mengirimkan SMS kepada saya dan bertanya, berapa sebaiknya ia memberi nilai terhadap Bahasa Simalungun saya. Saya tak berani menjawab secara serius dan akhirnya saya jawab dengan guyon. Sebab saya sadar betul, nilai Bahasa Simalungun saya masih jauh dari memuaskan.

11 Untuk membaca transkrip prosesi perkawinan itu, lihat lampiran 2.

12 Untuk melihat lagi berbagai tulisannya mengenai hal ini, sekali lagi kunjungi blog Mansen Purba SH.

13 Hal ini ia katakan setelah menyimak banyaknya orang Simalungun yang mengeritik Simalungun, bahkan melecehkan dan menganggap remeh budaya Simalungun.