A. PENDAHULUAN
Daerah Kecamatan Sipispis sekarang ini sebelum masuk ke Deli pada zaman Belanda adalah bernama Partuanan Baja Linggei. Adapun daerah Baja Linggei sebelum masuknya penjajah Belanda ke Sumatera Timur (sekitar tahun 1865) merupakan daerah kekuasaan dari Kerajaan Panei di Kecamatan Panei Kabupaten Simalungun sekarang. Sebelum dimasukkan oleh Belanda daerah Baja Linggei (termasuk Kecamatan Dolok Merawan/Sim.: “Dolog Marawan”) adalah bertuan ke Pamatang Panei ibukota Kerajaan Panei yang rajanya bermarga Purba Sidasuha atau Purba Dasuha. Dan penguasa di daerah Baja Linggei dan Dolok Merawan adalah saudara kandung dari raja Panei bermarga Purba Dasuha.
Untuk menulis sejarah kerajaan Panei dan Baja Linggei adalah cukup sulit dan berisiko karena rawan perdebatan dari pihak-pihak yang peduli dengan sejarah kebudayaan Simalungun sebagai komunitas etnik Simalungun di mana keturunan Raja Panei adalah termasuk penopang kebudayaan Simalungun mengingat Purba Dasuha adalah penduduk asli daerah Kabupaten Simalungun sekarang dan sebagian Kabupaten Serdang Bedagai. Penelusuran sejarah dipersulit lagi dengan langkanya referensi mengenai Purba Dasuha dengan daerah kekuasaanya Kerajaan Panei. Sumber-sumber tertulis kebanyakan dari negeri Belanda dan dalam bahasa Belanda sehingga sulit dimengerti yang tidak paham bahasa Belanda. Menurut orang-orang tua, leluhur raja-raja Panei dan keturunanya tempo doeloe dikabarkan sudah menulisnya dalam pustaha laklak (buku dari kulit kayu beraksara Simalungun), tetapi sudah habis musnah dirampok dan dibakar gerombolan pembunuh yang menjarah dan membakar istana raja Panei di Pamatang Panei, bahkan menganiaya/membunuh Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha pada tanggal 3 Maret 1946.
Oleh karena itu dalam tulisan yang sangat sederhana ini, penulis sebagai salah seorang keturunan keluarga besar Purba Dasuha semampu penulis mencoba dengan susah payah untuk mengumpulkan keterangan dari orang-orang tua Purba Dasuha dan dokumen-dokumen tertulis dari bekas istana Raja Panei dan Tuan Baja Linggei yang masih tersedia.
B. ASAL-USUL MARGA PURBA DASUHA
Pada suatu hari anak yang bungsu marah kepada abangnya, karena telah menghabiskan tuak hasil sadapannya. Dia protes kepada abangnya, tetapi abangnya tidak mempedulikannya, malah balik memukul adiknya. Karena emosi, abangnya mengatakan dalam bahasa Simalungun, “ai suha-suha ni bagod in do talup inumonmu, tandani ho silojaloja irumah bolon on!” (Artinya: “Memang “suha-suha bagod” (sisa tuak) itu sangat cocok untuk minumanmu, pantas buatmu selaku orang suruhan di istana ini”). Mendengar ucapan yang merendahkan itu, anak bungsu merasa terhina dan balik memukul abangnya, akhirnya mereka berkelahi dengan adu pencak (dihar), dan karena abangnya lebih kuat, adiknya pergi dari Silau Buttu menuju ke daerah Tigarunggu (Kecamatan Purba Kabupaten Simalungun sekarang). Tetapi abangnya mengejar dia terus bersama pasukan kerajaan berniat hendak membunuhnya. Maka terpaksalah adiknya berlindung ke tempat adik perempuannya (bou Tambak) di Malasori yang disembunyikan di bawah “palakka pangulgasan” (tempat merendam benang tenunan), dan sang bou dengan tenang duduk di atasnya melanjutkan pekerjaannya bertenun.
Akhirnya tibalah rombongan abangnya di Malasori dan menanyakan perihal adiknya yang dibencinya itu. Oleh Bou Tambak ditunjukkan arah yang lain, sehingga selamatlah abangnya yang disembunyikan di bawah palakka itu sementara Bou duduk di atasnya menenun. Sebelum abangnya pergi, disumpahkannya kepada adiknya (Bou Tambak) bahwa ia sampai keturunanya akan mengingat jasa adiknya itu dan akan menyayangi “botou” (saudara perempuan) dan “boruni” (anak perempuan/pihak yang memperisteri adik perempuannya). Demikianlah menurut kisah sehingga keturunan Purba Sidasuha sangat sayang kepada “boru” atau “botou”-nya.
Selepas perang saudara, Tuan Suha Bolag pergi ke Kerajaan Siantar dan kawin dengan tuan puteri raja Siantar (Bou Siattar) marga Damanik yang turun-temurun menjadi permaisuri di Kerajaan Panei. Dengan bantuan mertuanya Raja Siantar marga Damanik, Tuan Suha Bolag diangkat menjadi raja di daerah bekas kekuasaan Raja Onggou Sipoldas marga Saragih. Kisahnya, Raja Onggou Sipoldas selaku salah satu dari RAJA MAROPPAT (Siantar, Onggou Sipoldas, Tanoh Djawa dan Silau) tidak percaya dengan kesaktian pusaka Kerajaan Silau yakni PUSTAHA PANEI BOLON (kitab kuno dari kulit kayu yang tulisannya hanya dapat dibaca di tempat gelap di mana tulisan di kitab itu memancarkan sinar seperti seekor naga, sehingga dapat diramalkan nujuman mengenai hal-hal yang akan terjadi). Raja Onggou Sipoldas takabur dengan ucapannya sendiri, sehingga dalam pertaruhannya dengan Raja Siantar, ia kalah dan terpaksa memberikan kerajaannya kepada Tuan Suha Bolag, tetapi Tuan Suha Bolag tidak mau dinobatkan di tahta Raja Onggou Sipoldas, melainkan di atas Pustaha Panei Bolon, demikianlah menurut kisah, kerajaannya dinamakan KERAJAAN PANEI. Ibukotanya ditentukan di daerah PAMATANG PANEI (sekitar 8 kilometer dari Pematang Siantar). Daerah kekusaanya pada awalnya hanya kecil saja, tetapi dapat diperluasnya, sehingga berbatas di sebelah selatan mulai dari tepi pantai Tigaras sampai ke sebelah utara di pantai selat Malaka yaitu Indrapura sekarang ini; di sebelah barat dengan daerah Suha Bolag (Kecamatan Purba sekarang) sampai ke perbatasan dengan daerah Silampuyang (Kerajaan Siantar). Raja Panei kedua dinamakan Parhuda Sitajur atau Hantu Panei yang terkenal sakti mandraguna (ia dapat berperang dengan berkuda tanpa dapat dilihat musuh). Pada zamannya daerah Kerajaan Panei sangat disegani di Sumatera Timur, dan pengaruhnya sampai ke Asahan (Buttu Panei). Keturunanya banyak yang merantau ke daerah sekitarnya, ada yang sampai ke Sialtong Serdang dan diangkat menjadi yang dipertuan. Daerah itu sebelum berdiri kesultanan Serdang adalah daerah kekuasaan Kerajaan Silau di Simalungun yang daerahnya mencakup Bangun Purba sampai ke Lubuk Pakam.
Pada tahun 1515 keturunan raja Panei yang mengontrol daerah Purba yaitu Tuan Simalobong Purba Dasuha dikalahkan oleh seorang pengembara dari Tungtung Batu (Pakpak Dairi) dalam adu sumpah (marbija). Tuan Simalobong bersama pengiringnya meninggalkan istana Pamatang Purba pergi ke Purba Saribu dan sebagian ke Haranggaol (Kecamatan Haranggaol Horisan sekarang). Si pengembara yang bernama Raendan “marbulawan” dengan Tuan Simalobong dan mengakui Tuan Simalobong sebagai Raja Nagodang Purba. Ia juga memakai marga yang sama dengan Tuan Simalobong tetapi dengan mengingat asalnya dari Pakpak maka marganya disebutnya Purba Pakpak.
Sementara raja Panei sendiri selama enam generasi masih tetap tinggal di Pamatang Panei, tetapi pada generasi ketujuh terjadi pertikaian di Pamatang Panei yang mengakibatkan perginya salah seorang putera raja Panei bersama pengiringnya dan Puang Bolon (permaisuri raja) ke daerah kekuasaan Kerajaan Panei yaitu daerah Baja Linggei (Sipispis) sekarang kira-kira tahun 1550. Saudara tuan Baja Linggei yang lain ditugaskan oleh Raja Panei pindah ke Raya dan menjabat sebagai GURU RAYA bersamaan dengan dijemputnya tuan puteri Panei yang menjadi permaisuri (puang bolon) di Raya sekitar tahun 1600 (abad XVII).
Keturunan raja Panei yang lain yang adalah tuan Sinaman bermarga Purba Sidadolog dan adiknya Tuan Rajaihuta bermarga Purba Sidagambir. Dengan demikian keturunan langsung dari garis marga induk Purba Tambak adalah: Purba Tambak (Silau Buttu, Bawang, Tualang dan Lombang), Purba Sigumonrong (tuan Lokkung dan Marubun Lokkung di Kerajaan Dolok Silau), Purba Sidasuha (raja Panei, tuan Simalobong, tuan Baja Linggei dan Guru Raya), Purba Sidadolog (tuan Sinaman) dan Purba Sidagambir (tuan Rajaihuta dan Dolog Huluan) di Kecamatan Raya sekarang. Pada masa pemerintahan Raja Panei Tuan Djintama (sekitar tahun 1780) didudukkan marga Purba Girsang menjadi partuanan di Dolog Batu Nanggar (yang sebelumnya bernama Naga Litang). Tuan Dolog Batu Nanggar yang terakhir adalah Tuan Badja Purba Girsang yang kawin dengan boru Damanik puteri raja Siantar. Pusat pemerintahannya pada zaman Belanda adalah di Sinaksak. Sekarang Dolog Batu Nanggar telah dimekarkan menjadi dua yaitu: Kecamatan Dolog Batu Nanggar di Sinaksak dan Kecamatan Tapian Dolog di Purbasari, Kabupaten Simalungun.
C. ASAL USUL NAMA DARI KECAMATAN SIPISPIS
Pada mulanya semasa zaman partuanan Baja Linggei, Sipispis ini namanya adalah kampung HUTA TINOPPA dan ini dapat dibuktikan bahwa sungai yang masih ada di Sipispis namanya BAH TINOPPA.
Pada waktu itu pusat partuanan Baja Linggei masih di HUTA SIKAWAK (sekitar 2 kilometer dari Sipispis arah ke Tebing Tinggi).
Kira-kira 3 kilometer dari Sipispis arah ke Tebing Tinggi, pada waktu itu ada sebuah perkampungan (Masangan sekarang), bahwa setiap orang-orang yang akan datang ke TINOPPA (Sipispis) harus melewati pelimbahan rumah (bahasa Simalungun: “pispisan”). Jalan tersebut berada di “pispisan” rumah dari yang dituakan di kampung itu (Nagodang Huta).
Pada waktu itu seorang nakhoda yang bernama NAYAN sering datang ke Tinoppa untuk bermain-main mencari gadis, lantas apabila dia telah sampai di Tinoppa, dia ditanya orang: “Darimana tadi jalan?” Dan dijawabnya “Dari pispisan rumah Nagodang Huta.”
Dan akhirnya karena sudah seringnya disebut “pispisan” kata itupun dipendekkan menjadi Pispipis dan kemudian menjadi “Sipispis”. Jadi jelaslah bahwa Pispis adalah sebuah kampung lebih kurang 3 kilometer dari Sipispis arah ke Tebing Tinggi (Masangan sekarang).
Setelah berakhirnya Kerajaan Baja Linggei (sejak masuknya daerah ini ke Deli) terbentuklah onderdistrik-onderdistrik (kecamatan) maka pusat pemerintahannya di Pispis. Atas perintah Walikota Tebing Tinggi (Tuan Homente, orang Belanda) maka pusat pemerintahannya dipindahkan ke Tinoppa sertan nama Tinoppa diganti menjadi Sipispis. Demikianlah secara ringkas, peristiwa terjadinya Kecamatan Sipispis (Kabupaten Serdang Bedagai sekarang).
D. BAJA LINGGEI TERLEPAS DARI PANEI DAN MASUK KE KERAJAAN PADANG (SERDANG BEDAGAI) DENGAN INTERVENSI BELANDA DAN DELI
Add caption |
KEDUDUKAN BAJA LINGGEI DALAM SUSUNAN PEMERINTAHAN KERAJAAN PANEI
Seperti dijelaskan pada bagian pertama tadi, Baja Linggei sebelum masuk ke daerah kekuasan Kesultanan Deli (1902) adalah daerah kekuasaan Kerajaan Panei di Simalungun. Oleh karena itu, Baja Linggei sebenarnya bukanlah berstatus “harajaon” (kerajaan) tetapi hanyalah daerah bawahan (vazal) dari Kerajaan Panei yang berpusat di Pamatang Panei. Dan sesuai dengan asas monarki yang bersifat despotisme, maka daerah-daerah kekuasaan raja Panei terdiri dari daerah-daerah otonom yang mempunyai pemerintahan sendiri (duplicate governance) yang tunduk kepada pemerintahan pusat yaitu raja dengan kabinetnya (“harajaan”). Dan untuk daerah vazal ini, kepala-kepala pemerintahan daerah (partuanan dan parbapaan) diangkat putera-putera raja dan keturunannya atau keluarganya (anakboru harajaan). Demikianlah sehingga ada titel kebangsawanan yang disebut “tuan” (sebelum masuknya Islam dan Kristen disebut “nasituhanta” atau “tuhanta”), dan karena sang “tuan” berkuasa atas daerah-daerah tertentu maka disebutlah titelnya sesuai dengan daerah kekuasaanya itu. Sehingga terdapatlah yang disebut: “tuan Panei Tongah”, “tuan Simodong”, “tuan Pamatang Panei”, “tuan Baja Linggei”, “tuan Dolog Marawan”, “tuan Dolog Batu Nanggar”, “tuan Sinaman” dan lain-lain. Di tiap daerah otonom ini terdapat sistem pemerintahan yang sama dengan di pamatang (pusat kerajaan) yang boleh disebut duplikasi dari pemerintahan pusat, lengkap dengan aparatur-aparatur dan fungsionarisnya mulai dari “harajaan” (kabinet), kepala daerah setingkat partuanan (untuk keturunan raja sedarah) dan “parbapaan” (keluarga kerajaan bukan sedarah).
Dengan demikian, pada dasarnya sebelum daerah Baja Linggei “dicaplok” Belanda dan dimasukkan ke teritori Kerajaan Deli (Melayu), ia adalah daerah kekuasaan Kerajaan Panei yang pemerintahan eksekutifnya dilaksakan oleh saudara sedarah dari raja-raja Panei dan terbukti sampai “Raja Baja Linggei” terakhir yaitu: Tuan Djariangin Purba Dasuha, masih sering berkunjung ke Pamatang Panei ke istana raja Panei. Dan baik raja Panei maupun saudaranya Tuan Baja Linggei mengambil isteri (puang bolon) adalah dari puteri keluarga besar keturunan Raja Nagur (Nagur Raja, Siantar, Sidamanik dan Bandar) bermarga DAMANIK. Dan puteri Raja Panei, Baja Linggei-Guru Raya menurut adat diwajibkan menjadi permaisuri (puang bolon) di Kerajaan Raya (yang juga mencakup Padang dan Bedagai). Adat ini menjadi ketetapan turun temurun di tengah-tengah masyarakat adat Simalungun, tanpa “puang bolon” seorang raja tidak dapat mewariskan tahtanya kepada putera-puteranya yang dilahirkan isteri-isteri (nasipuang) atau selir maupun gundiknya. Putera mahkkota hanya diwariskan kepada anak laki-laki yang dilahirkan puang bolon, dan jika tidak ada dapat beralih kepada isteri yang lain (puang bona) yang selalu berdarah bangsawan. Dan pada waktu penobatan raja di Panei, Tuan Baja Linggei harus hadir, demikian pula sebaliknya.
ASAL-USUL TERBENTUKNYA PARTUANAN BAJA LINGGEI
Sekitar tahun 1650 di Kerajaan Panei (berada di Kecamatan Panei Kabupaten Simalungun sekarang) lebih kurang 7 kilometer dari Pematang Siantar pecah permasalahan di Panei yang tidak dapat terselesaikan secara adat kekeluargaan, sehingga salah satu pihak yang bertikai harus menyingkir dari istana Raja Panei di Pamatang Panei dan menetap di daerah Baja Linggei (Spispis) sekarang. Riwayatnya adalah sebagai berikut sebagaimana dijelaskan oleh orang-orang tua darn penelusuran literatur yang didapat.
Raja Panei yang keenam (1610-1670) mempunyai dua orang isteri yang diwajibkan menurut adat istiadat raja-raja Simalungun. Yang tertua diangkat sebagai puang bolon dan yang muda sebagai puang poso. Adapun keduanya adalah puteri raja Siantar bermarga Damanik. Sebenarnya cerita ini banyak versi, tetapi isinya masih sama yakni sama-sama mengisahkan “hijrahnya” salah satu pihak yang bertikai ke Baja Linggei dan menjadi Tuan Baja Linggei.
Menurut cerita di Panei, kisahnya berawal dari perebutan siapa yang berhak menjadi raja, dan syarat mulaknya adalah harus dapat memperisteri puteri raja Siantar bermarga Damanik untuk dijadikan “puang bolon”. Tetapi salah satu di antaranya tidak berhasil memperisteri sang puteri dan karena malu dengan saudaranya yang lain, yang kalah pergi meninggalkan istana bersama pengiringnya ke daerah Baja Linggei sekarang.
Riwayat di Baja Linggei berlainan dengan apa yang dikisahkan di atas (tetapi menurut penulis, intinya masih tetap sama mungkin bahasanya yang agak diperhalus).
Riwayat di Baja Linggei menceritakan, bahwa Raja Panei mempunyai dua orang putera tetapi lain ibu, isteri tertua melahirkan seorang putera yang diberi nama Tuan Djolgahata Purba Dasuha dan isteri yang lain melahirkan putera juga yang namanya tidak diketahui lagi.
Pada suatu hari, abang-beradik tersebut dilatih bermain senjata api (bodil pamuras) dipersaksikan oleh ayahanda raja Panei, kedua isteri raja, guru harajaon, partuha (pengetua adat) maupun puanglima serta rakyat. Raja ingin mempertontonkan kebolehan puteranya dalam mempersiapkan mereka menjadi raja menggantikannya kelak. Ketika itu usia kedua anak raja itu, yang sulung sekitar 15 tahun dan yang muda sekitar 13 tahun. Biasanya masing-masing senjata tidak diisi peluru, dan keduanya menembak bergantian. Rupa-rupanya, ada muslihat tersembunyi dari salah seorang isteri raja, dia tidak menginginkan putera raja yang dilahirkan isteri raja yang tertua menjadi raja menggantikan ayahnya. Dengan diam-diam dibisikkannya kepada “guru harajaon” agar mengisikan peluru senjata anaknya dengan harapan agar tiba gilirannya, peluru itu dapat menewaskan anak dari isteri tertua. Adapun guru harajaon itu pada awalnya tidak bersedia, tetapi karena desakan isteri raja, maka ia akhirnya patuh.
Nah, tiba giliran anak tertua, tidak terjadi apa-apa, tetapi tiba pada giliran anak yang muda, maka dengan melesat cepat peluru yang dikokangnya meledak mengenai sambahou (ukiran berupa wajah manusia di sudut depan istana dekat pintu masuk) dan nyaris menewaskan Tuan Djolgahata.
Melihat itu, raja murka. Maka Tuan Djolgahata disuruh tangkap dan dihukum karena mengira perbuatan itu adalah tipu muslihatnya. Sang permaisuri membela anaknya, dia tidak sudi anaknya dihukum, maka pecahlah pertengkaran hebat di istana. Raja tetap bersikukuh ingin menghukum Djolgahata, dan dalam keadaan yang genting itu, permaisuri bersedia meninggalkan istana dengan diiringi oleh pejabat istana yang setia kepadanya termasuk seorang panglima (partuha) bermarga Sinaga Daharo yang dengan sigap menyelamatkan Tuan Djolgahata. Maka rombongon pun berangkatlah meninggalkan istana mula-mula ke daerah partuanan Raya (permaisuri di Raya adalah tuan puteri dari Panei). Setiba di Raya, maka rombongan menceritakan perihal kejadian ini, dan karena tuan Raya tidak dapat berbuat apa-apa (mengingat Panei adalah “tondong-nya” yang harus dihormatinya) maka tuan Raya menyarankan mereka pergi ke Kerajaan Siantar (di mana Siantar adalah “tondong” dari Panei). Selama setahun mereka di Siantar, maka mereka meneruskan perjalanannya ke Purba Hinalang (Gunung Monako, Kecamatan Sipispis sekarang). Di situlah mereka membuat perladangan di pinggir sungai pada tanah kekuasaan Raja Dolok Silau bermarga Purba Tambak.
Beberapa lama kemudian, maka mereka berangkat menjumpai TUAN SAMPANG BUAHNI marga Saragih untuk membeli tanah seluas suara terdengar (sappinio) kira-kira seluas empat hektar. Permintaan mereka dikabulkan Tuan Sampang Buah. Permintaan mereka dikabulkan oleh Tuan Sampang Buah, tetapi sebagai penebus tanah tersebut mereka harus menyediakan tujuh ekor kerbau, tujuh orang gadis dan kain adat (hiou) sebanyak apabila tersusun setinggi orang yang duduk ataupun apabila dikembangkan sama luasnya dengan tanah yang akan dibeli tadi. Maka tanah tersebut dibayar oleh Djolgahata dan panglima, maka mereka membuka perkampungan (manoktok huta), tetapi mereka masih menompang (manginsolat) pada tanah Raja Dolog Silau, tanpa mengetahui apa maksud mereka.
Oleh raja Dolog Silau mereka disuruh membuat perkampungan di luar pagar kerajaan (horbangan) di atas tanah yang banyak tumbuh semak sejenis keladi yang dalam bahasa Simalungun disebut “langgei” (tanaman yang berakibat gatal apabila tersentuh tubuh manusia). Adapun penguasa perwakilan raja Dolog Silau pada waktu itu bermukim di Huta Usang sekarang dekat kampung Sampang Buah.
Setelah rumah-rumah selesai didirikan, maka sebagai kebiasaan bahwa kampung itu harus dipagar. Sewaktu mereka membuat lobang tempat tiang pagar (Simalungun: “partoguh”); tiba-tiba mereka menemukan besi “baja” di dalam tanah. Maka untuk menentukan nama kampung itu dimufakati namanya “Baja Langgei” dari kata “baja” dan “langgei”. Mereka merasa nama itu juga tidak tepat, maka ditukar sedikit menjadi Baja Linggei, yang berasal dari kata “baja” dan “linggei”; “baja” artinya: besi baja dan “linggei” artinya: nama yang dimuliakan.
Di kampung Baja Linggei mereka membuat suatu pemerintahan tetapi namanya belum dibuat, Tuan Djolgahata menjadi yang dipertuan pertama. Maka terjadilah dua pemerintahan di dalam satu daerah, karena Baja Linggei masih dalam lingkungan kekuasaan raja Dolog Silau.
Maka atas tipu daya Panglima (yang melarikan Djolgahata dari Panei) lantas Tuan Djolgahata dinobatkan menjadi pengganti wakil Dolog Silou serta Djolgahata pun kawin dengan permaisuri (Bou Damanik dari Nagur Raja) penguasa wakil Dolog Silau. Nama daerah kekuasaan itupun digantikannya menjadi Baja Linggei. Setelah dinobatkannya Tuan Djolgahata, maka mereka menemui Tuan Sampang Buah untuk mengukur tanah yang dibelinya tadi.
Di dalam pengukuran tersebut Tuan Djolgahata dibantu oleh orang bunian (Simalungun: “habonaran”), dengan tanpa disadari dan suara panggilannya pun masih juga dapat didengar, sehingga pemancangan lebih luas lagi daripada yang direncanakan dan bahkan sampai ke Bah Bulian. Karena itulah sehingga Tuan Djolgahata dijuluki Tuan Sappiniou Tanoh Purba Sidasuha, tuan Baja Linggei yang pertama. Daerah kekuasaan Tuan Djolgahata pun semakin luas, bahkan wilayahnya melebihi luas Kecamatan Sipispis sekarang ini. Konon menurut kisahnya, Tuan Sampang Buah Saragih tidak rela akan kekalahanya, maka ia pun gaib dengan menyisakan tanah berawa-rawa di dekat Sipispis. Kabar ini pun disampaikannya kepada ayahnya di Pamatang Panei, dan ayahnya karena menyesali akan kekhilafannya menerimanya kembali di Panei, dan karena daerah Sampang Buahni juga adalah daerah kekuasaannya, maka Raja Panei
menobatkannya menjadi yang dipertuan atas daerah itu. Dan sejak itu hubungan antara Panei dengan Baja Linggei pun kembali baik seperti semula.
Dari perkawinannya dengan Bou Nagur Raja, mereka mendapat satu orang putera dan diberi nama DORMAHATA. Dalam bahasa Simalungun: “dorma” = rejeki; “hata” = kata/suara. Karena dengan pertolongan “sappiniou” (suara yang keras) maka daerah Sampang Buah jatuh seluruhnya ke tangannya. Setelah Dormahata dewasa, maka pertuanan Baja Linggei diserahkan Tuan Djolgahata kepadanya. Dan ia menjadi tuan Baja Linggei II. Pada waktu penobatannya, Tuan Dormahata Purba Dasuha dikawinkan dengan Bou Siantar Damanik puteri raja Siantar yang menjadi “puang bolon”, dari perkawinannya ini, mereka memperoleh tiga orang anak laki-laki yang diberi nama: TUAN BORAHIM, TUAN HERIM dan TUAN LISSEI.
Setelah ketiganya dewasa, maka anak tertua TUAN BORAHIM PURBA DASUHA diangkat menjadi Tuan Baja Linggei III, TUAN HERIM PURBA DASUHA menjadi tuan Bangun Jawa sedangkan TUAN LISSEI PURBA DASUHA menjadi tuan Silau Malela (Naga Buttu sekarang). Tuan Borahim kawin dengan Bou Damanik dari Sidamanik yang menjadi puang bolon dan dua orang lagi masing-masing perempuan bermarga Sinaga Daharo dan satu lagi marga Damanik.
Hasil perkawinannya dengan Bou Damanik dari Sidamanik lahirlah satu orang putra yang diberi nama TUAN DJARIM PURBA DASUHA, sedangkan dari marga Sinaga Daharo satu putera bernama TUAN GAMA, dari marga Damanik juga satu putera diberi nama TUAN LADJOE.
Setelah ketiga anak TUAN BORAHIM dewasa, maka TUAN LADJOE diangkat menjadi Tuan Baja Linggei. Pamatang Baja Linggei (pusat pemerintahan) dipindahkan dari Purba Hinalang (Gunung Monako sekarang) ke SORBA PONUH (lebih kurang 300 meter dari pekan Sipispis sekarang arah ke sungai Padang). Masih ditemukan batu berukir di tempat itu. TUAN GAMA menjadi Tuan Baja Dolog dan Tuan Djarim menjadi Tuan Sibual.
Tuan Baja Linggei Tuan Ladjoe Purba Dasuha mempunyai tiga putera dan diberi nama: TUAN DJONTAHAIM, TUAN DORMAHAJIM dan TUAN MARIADJIM. Tuan DJONTAHAIM menggantikan ayahnya menjadi Tuan Baja Linggei dan diberi nama oleh Sultan Deli TUAN KALAM SETIA (RAJA DI BUKIT). Pada zamannya daerah Baja Linggei telah dimasukkan ke daerah kesultanan Deli dalam daerah kekuasaan Raja Padang marga Saragih Garingging (Dasalak). TUAN DORMAHAJIM didudukkan menjadi Tuan Marjanji dan TUAN MARIAJIM menjadi Tuan Baja Panei (Masangan sekarang).
BAJA LINGGEI MASUK KE DELI: RAJA PANEI MENGHADAP RESIDEN SUMATRA TIMUR
Pada tahun 1860 Raja Panei TUAN DJONTAMA PURBA DASUHA dengan diiringi 120 orang rombongan berkuda berangkat ke Medan menghadap Residen Sumatera Timu. Rombongan ada sebanyak 50 orang dari keluarga raja Panei dan 70 orang pejabat istana dan pasukan pengawal dan ANAK BORU PANEI TUAN RONDAHAIM SARAGIH GARINGGING (tuan Raya Namabadjan) berangkat ke Medan. Adapun maksud kedatangannya menghadap Residen Belanda di Medan adalah dalam rangka penentuan perbatasan daerah Kerajaan Panei, Simalungun dengan Kesultanan Deli, Serdang dan Asahan. Belanda yang telah menjadi “sahabat” sultan Deli memberi kekalahan pahit pada Raja Panei. Walau bukti hidup menunjukkan bahwa TUAN BAJA LINGGEI adalah saudara kandung dari Raja Panei turun temurun, namun daerah Baja Linggei Sipispis dimasukkan ke Kesultanan Deli, Bangun Purba sekitarnya ke Kesultanan Serdang, Bah Bura (Babura) masuk ke Deli. Tinjouan, Limapuluh sampai ke Pasir Mandogei masuk ke Kesultanan Asahan. Dua tahun lamanya masalah itu diperjuangkan Raja Panei untuk mengembalikan daerahnya partuana Baja Linggei dan Dolog Marawan kembali ke Panei, tetapi gagal. Pada tahun 1891 Tuan Rondahaim meninggal dunia dan usaha Raja Panei semakin sulit dari segi militer mengembalikan daerah yang dicaplok Belanda itu. Mengenai peristiwa ini Letkol (Purn) Mailan Damti Purba Dasuha dalam bukunya mengatakan:
“Sebagian daerah Kerajaan Panei, yaitu daerah Dolog Batu Nanggar, Dolog Marawan sampai Baja Linggei diserahkan oleh Belanda kepada Raja Padang (daerah vasal Deli). Ini juga untuk memecah Raja Padang dengan Raja Panei. Raja Panei Tuan Djontama Purba Dasuha berangkat ke Medan, untuk menjelaskan dan mempertahankan, bahwa daerah tersebut adalah hak Kerajaan Panei sejak dahulu dan saudara-saudaranya yang memerintah di sana turun-temurun. Tuan Djontama Purba Dasuha ditahan Belanda di Medan sampai meninggal dunia di sana tahun 1902. (Makamnya tidak diketahui oleh keturunannya sampai sekarang). Diduga, jika Tuan Djontama Purba Dasuha kembali ke Panei, akan berontak lagi seperti dahulu bersama Tuan Rondahaim. Untuk Raja Panei diangkat anaknya Tuan Djadiammat Purba Dasuha.”
BAJA LINGGEI DI ZAMAN BELANDA SAMPAI SEKARANG
Tuan Bajalinggei IV Tuan DJONTAHAIM PURBA DASUHA mempunyai tiga orang putera yang bernama; TUAN RAMAHAJIM PURBA DASUHA, TUAN RAMAJAHIM PURBA DASUHA dan TUAN UJAH PURBA DASUHA. Menggantikan ayahnya diangkat TUAN RAMAHAJIM. Anak Tuan Ramahajim ada dua orang yaitu: TUAN ARGABULAN PURBA DASUHA dan TUAN DJARIANGIN PURBA DASUHA.
Secara tiba-tiba TUAN RAMAHAJIM meninggal dunia dan disusul anaknya tertua TUAN ARGABULAN, maka kekuasaan pun diserahkan kepada anak bungsu yakni TUAN DJARIANGIN PURBA DASUHA, tetapi karena masih kecil, pemerintahan diserahkan sementara (ipangku) kepada seketurunan yang lain yakni TUAN JAHALAM PURBA DASUHA TUAN SIKAWAK keturunan dari TUAN BAJA DOLOG.
Setelah Tuan Djariangin Purba Dasuha dewasa, maka TUAN DJAHALAM PURBA DASUHA menyerahkan kekuasaan kepada pewaris yang sah. TUAN DJARIANGIN PURBA DASUHA diangkat menjadi Tuan Baja Linggei menggantikan ayahnya. Akan tetapi tidak lama kemudian pada tanggal 14 Mei 1927 Tuan Djariangin Purba Dasuha dilepaskan dari pangkatnya sebagai tuan Baja Linggei oleh Belanda melalui Sultan Deli. Dan pemerintahan Baja Linggei diserahkan kepada Wazir Bungsu orang Deli yang berkedudukan di Padang (Tebing Tinggi). Beliau kawin dengan Bou Nara Damanik puteri tuan Nagur Raja. Dari perkawinannya ini, lahir satu orang anak laki-laki yang diberi nama TUAN DJONTAHARI dan satu orang anak perempuan bernama RAENAH. TUAN DJONTAHARI kawin dengan Raenah boru Damanik dari Nagur Raja dan memiliki empat orang anak yaitu: TUAN BAJALINGGEI PURBA DASUHA, TUAN ANTORA PURBA DASUHA, TUAN ESTER PURBA DASUHA DAN TUAN INDAMORA PURBA DASUHA.
Pada tahun 2004 Kabupaten Deli Serdang sebagai daerah induk Kecamatan Sipispis (Bajalinggei) dimekarkan menjadi dua, yaitu: Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai. Kecamatan Sipispis secara administratif masuk Kabupaten Serdang Bedagai. Bupati Sergai pertama hasil pemilihan langsung adalah putera asli Serdang Tengku Erry Nuradi yang oleh tokoh masyarakat adat Baja Linggei sudah ditabalkan menjadi warga Simalungun bermarga Purba Dasuha. Penduduk asli Kecamatan Sipispis (Baja Linggei) adalah suku bangsa Simalungun yang hidup damai berdampingan dengan suku pendatang yang kebanyakan suku Jawa yang bekerja di perkebunan yang banyak terdapat di Kecamatan Sipispis.
Berdasarkan sejarah di atas, maka utusan dari pihak ahli waris raja Panei (Tuan Kamen Purba Dasuha), tuan Baja Linggei (T. H. Dahasib Purba Dasuha, T. Sadarita Purba Dasuha, T. Mahyudin Purba Dasuha) dan keturunan Guru Raya Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha telah mengusulkan secara resmi kepada Bupati Serdang Bedagai H. T. Erry Nuradi Purba Dasuha dan DPRD Sergai melalui audiensinya dengan Bupati Sergai di Kantor Bupati Sergai pada tanggal 02 Agustus 2007. Dalam pertemuan yang sangat familiar itu, Bupati Sergai menyambut baik usulan perubahan nama Kec. Sipispis menjadi Kec. Pamatang Baja Linggei, dengan melengkapi persyaratan yang dibutuhkan, seperti seminar dengan menghadirkan tokoh adat, sejarawan dan masyarakat luas. Akan tetapi sampai saat ini, usulan yang sudah direspon dengan sangat baik oleh Bupati tidak berkelanjutan sampai sekarang. Suatu hal yang sangat disesalkan dalam pelestarian situs sejarah suku Simalungun di Sergai dengan dipulihkannya nama kecamatan tersebut.
TUAN BANTALI PURBA DASUHA
Tertarik akan tulisan Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha, STh tentang SEJARAH PARTUANAN BAJA LINGGEI KERAJAAN PANEI DINASTI PURBA DASUHA, via email saya mengirim surat.
Berikut petikan surat elektronik yang saya kirim kepada Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha:
“Horas
Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha, STh ,
Sekitar tahun 1988, saya diajak Bapa saya berziarah ke makam Tuan Bantali Purba Dasuha.
Dari Tebing Tinggi ke arah Pabatu melalui Naga Kesiangan lalu melewati sungai dengan getek. Kalau tidak salah, menuju Naga Buttu. Dengan berboncengan Sepeda motor kami melalui hutan dan perkebunan (kalau saya tdk salah ingat). Di tempat tujuan, kami menemukan sebuah rumah gubuk yg saat itu ada 2 orang tua renta dan seorang laki laki setengah baya yang agak kurang waras. Dengan berbahasa Simalungun, Bapak saya mohon izin untuk berziarah ke makam Tuan Bantali Purba Dasuha.
Dengan ditemani si Ompung Baru yang tinggal di gubuk tadi, kami memasuki kompleks pemakaman. Pintu masuk kompleks pemakaman tepat persis di depan gubuk nenek tersebut. Sebenarnya, tidaklah pantas disebut kompleks karena lokasi itu hanya dibatasi tanaman pagar sejenis tumbuhan Bintungan.
Entah karena belum pernah berkunjung ke tempat itu, saya merasa tempat itu sangat terasa nuansa spiritual. Sama dengan penjelasan Bapa saya, Ompung itu bercerita sembari berjalan menuju makam. Ia mengatakan bahwa Tuan Bantali adalah seorang raja (cuma saat itu si Ompung mengatakan bahwa Tuan Bantali adalah Raja Nagur; bukankah Raja Nagur bermarga Damanik bukan Purba Dasuha ?! )
Sebelum mencapai makam, si Ompung mengatakan bahwa tempat yang kami lalui adalah bekas Rumah Bolon (istana raja), sembari ia menunjuk bekas tiang besar yang masih tampak. Ompung itu mengatakan, bahwa Rumah Bolon ini di runtuhkan “Keling” karena di dasar tiang (ojak) ada tersimpan emas kerajaan. Dilokasi ini sudah sangat menghutan dan akar akar bergantungan serta beberapa ekor kera tampak berkeliaran.
Entah saya tersugesti oleh nuansa atau penjelasan Sang Ompung; lalu Ompung itu menunjuk arah kanan, dan mengatakan ada Hulubalang kerajaan sedang melintas, saya memang melihat dua sosok seperti hulubalang membawa sejenis tongkat panjang runcing.
Sesampai di makam Tuan Bantali Purba Dasuha, si Ompung mengatakan bahwa makam Tuan Bantali Purba Dasuha adalah yg ditandai dengan Batu Besar (Batu itu seukuran Bangku Sekolah, mungkin sejenis nisan, Tuan Bantali Purba Dasuha masih beragama nenek moyang, Parhabonaron). Ada juga beberapa makam lain yg tidak ada tanda nisan apapun juga.
Di Marubun Kec. Sipispis, ada makam anak perempuan Tuan Bantali Purba Dasuha bernama Panakbou Nunum. Saya sudah beberapa kali ketempat itu. Beberapa bulan lalu saya baru berziarah ke makam Panakbou Nunum. Makam suami Panakbou Nunum, T Sortia Saragih Garingging, berada di dekat Kampung Muslimin masuk dari Nagaraja. T. Sortia Saragih adalah Penasihat Hukum Kerajaan Raya, yang kemudian oleh Tuan Rondahaim, T. Sortia Saragih diperbantukan juga ke Kerajaan Padang di Bulian Tebing Tinggi. Hingga akhir hayatnya, T Sortia tinggal di tempat yang kini menjadi makamnya yaitu tanah pemberian Tuan Rondahaim yang saat itu diberikan bersama dengan Para Jabolon Halak Sina dan Halak Toba untuk menanam tembakau.
Saya ceritakan ini kepada Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha, karena saya yakin Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha, sangat memahami sejarah Simalungun apalagi tentang Purba dasuha.Atau setidaknya sebagai sekelumit wawasan saja.
Secara pribadi, saya sangat berkeinginan mendapat pencerahan dari Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha, STh dan yang lainnya tentang ini. Dan saya berharap agar kejayaan Simalungun Masa Silam bisa tersibak agar kita tidak dianggap sub bahagian dari etnis lain.” (M Muhar Omtatok Saragih)
Berikut jawaban singkat dari Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha, STh:
“Horasma homa.
Anggo mangihutkon silsilah nasiam Garingging, nasiam aima Anakboruni Rumah Bolon Panei do jadi boi hita marlawei. Anggo hun oppung nami namagalop panakboru Marjandi Dolog, boi do nasiam tondong nami. Naima ai atene. Martondong-tondongan ma hita.
Pasal turi-turianmu ai. Diateitupa ma.
mangihutkon sejarahni Raja Panei Purba Dasuha (Tuan Bajalinggei, Panei, Guru Raya), ia harajaon Panei hinan paima roh Belanda abad XIX aima marbatas hun Tigaras das hu Baja Linggei, anjaha paima dong Sultan Deli ampa Sordang sekitar tahun 1780-an, daerahni das do hu topi laut i sekitar Pagurawan nuan. Jadi boi do hasusuran na hun Panei Tuan Bantali ai sapari, halani ongga do raja Panei marporang hu topi laut mangalai Malayu ampa Belanda, ase ibotoh ham Raja Jontama Purba Dasuha matei itakkap Bulanda do anjaha matei ipenjara, das nuan on lang na botoh ija tanomanni. Dong makkatahon i pertapakanni Hotel Garuda nuan. Masa ai tahun 1902. Ase anakni Raja Jadiammat Purba Dasuha magigi tumang mangidah Belanda, ase iusir do Pdt. Nommensen ampa Guilaume hun Panei, aima gigini, anjaha isurahon hinan do pahoppuni aima Raja Bosar Sumalam Purba Dasuha na matei ibunuh BHL i tahun 1946 masuk Islam, halani pangajarini kerani ni halak Minangkabau.
Naima pasal ai. Anggo parkaramatanni Dasuha dong ope aima i Suha Bolag (talunni Tigarunggu nuan — in ma huta asalni) pakon batu pangulgasannni bonangni bou Tambak aima botouni Tuan Suha Bolag Purba Tambak nagabe Dasuha i Dolog Huluan, pakon parkaramatan sinumbah simangalobong i Bah kapul nuan.Anggo i Raya dong do karamat “Pagar Panei Bosi” aima parjanjian bulawan nasiam garingging raja Raya pakon Dasuha na hun bajalinggei aima na gabe Guru Raya. Ase dohor tumang do pardiha-dihaonta.
Tapi halani dob Kristen hanami, lang sai ipaanuanu hanami be ai. Sejarah mando ai.
Horasma”.
Bou adalah gelar puteri bangsawan pada raja-raja Simalungun. Untuk laki-laki disebut “tuhanta” dan sejak masuknya agama Islam dan Kristen beralih menjadi “tuan”.
Lihat uraian Pustaha Bandar Hanopan sebagaimana ditulis kembali oleh Raja Dolog Silau terakhir (1942-1948) Tuan Bandar Alam Purba Tambak, Sejarah Keturunan Silau (Pematang Siantar: Percetakan HKBP, 1967), halaman 10.
Pustaha ini adalah peninggalan dari Raja Silau ayahanda Tuan Suha Bolag yang dibawanya pada pelariannya dari Silau Buttu karena hendak dibunuh abangnya sendiri. Menurut M. D. Purba, pustaha ini telah hangus terbakar bersama rumah Guru Raya Tuan Borahim Purba Dasuha di Pamatang Raya pada aksi agresi Belanda kedua tahun 1947.
Disebut Sampang Buah konon ia adalah seorang sakti, apapun buah-buahan yang diminta akan keluar dari tangannya dan tidak ada yang bisa mengambilnya begitu saja tanpa seizinnya, tetapi suatu ketika ia merasa malu, karena Tuan Sappiniou (Tuan Djolgahata) dapat mengambilnya dari tangannya dengan mudah.
Keturunannya di antaranya adalah Orang Kaya Bustami Saragih Garingging tinggal di Tebing Tinggi.
M. D. Purba, Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun (Medan: t.p. 1977), hlm. 54.
NARA SUMBER :
1. Tuan Haji Dahasip Purba Dasuha, umur 76 tahun gelar Tuan Sibual tinggal di Sibual Sipispis.
2. Tuan Bajalinggei Purba Dasuha, umur 38 tahun gelar Tuan Baja Linggei tinggal di Sipispis.
3. Tuan St. Kamen Purba Dasuha, umur 70 tahun, putera raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha (almarhum), tinggal di Pematang Siantar.
4. Oppung Dading Purba Dasuha, umur 100 tahun, keturunan Guru Raya, tinggal di kampung Huta Dolog Kecamatan Raya Kab. Simalungun.