Wednesday, March 23, 2011

TENTANG ASAL USUL GIRSANG


TERBENTUKNYA KAMPUNG GIRSANG SIPANGANBOLON


Horas sanina Kebetulan saya marga girsang mungkin sedikit penuturan tentang marga girsang Sbb..ada pun asal usul marga kami datang nya dari pak-pak tepat nya di bukit lehu. nama oppung kami itu di kenal datu raja parulas atw biasa di sebut raja par ultop-ultop. yang mana akhir nya dia masuk ke simalungun -tepat nya nagasaribu. dan di naga saribu mendirikan kerajaan yaitu kerajaan silimakuta yang mana pusat atw pematang nya ada di nagasaribuada pun sub marga girsang sbb :girsang jabu bolon yang menjadi rajagirsang na godang ( tuan anggi )girsang parharagirsang rumah parikgirsang bona gondangdan masih ada lagi sub sub marga dari girsang ini cuma saya takut salah2 urutan nya seperti girsang silangit yng menjadi tarigan silangit atw purba silangitgirsang rumah jojonggirsang rumah horbodan ada sampe 10 tapi saya lupananti saya minta dulu ma bapak saya yah..muda2 an berguna bagi2 kita-kita yang memerlukan silsah marga nya Horas… Habonaron do Bona.
Walaupun secara resmi diakui bahwa Girsang berasal dari Lehu-Pakpak Dairi bahkan ada mempunyai Tugu Girsang di sana namun Girsang lebih dikenal sebagai bagian dari Simalungun dan Karo yaitu Purba Girsang di Simalungun dan Tarigan Gersang di Tanah Karo.

Seiring dengan makin banyaknya keturunan dari marga Girsang ini maka makin banyak juga pemikiran dari keturunan Girsang saat ini yang menginginkan lepas atau menanggalkan marga di depan mereka yaitu Purba di Simalungun dan Tarigan di Karo. Diceritakan bahwa Girsang bersaudara dengan Parultop yang kemudian berhasil mengalahkan Raja Purba saat itu yang bermarga Purba Dasuha lalu Parultop diangkat menjadi Raja Purba dan bahkan diberi marga Purba dan kemudian membentuk cabang marga Purba Pakpak yang masih eksis saat ini dengan jumlah keturunan yang cukup banyak.

Girsang yang merupakan adik dari Parultop kemudian menyusul abangnya ke Simalungun dan kemudian beranak pinak di Simalungun dan salah satu keturunannya menjadi menantu dari Raja Sinaga yang berkuasa di Silimakuta.Ketika dalam tekanan lawan dan hampir kalah maka muncullah si menantu bermarga Girsang ini berhasil membunuh hingga seribu orang musuh (asal nama “saribudolok”?) sehingga sesuai janji Raja Sinaga itu untuk menyerahkan kekuasaannya di Silimakuta kepada Girsang untuk menjadi Raja Silimakuta dan Raja Sinaga tersebut kembali ke Tanah Jawa.Makanya tidak heran jika banyak ditemukan banyak orang bermarga Girsang di Silimakuta, termasuk Kela dari Indah juga bermarga Girsang sehingga saya pun dimargakan ke marga Girsang ini sebelum menikahi gadis boru Sipayung itu.Ketika saya dimargakan di Saribudolok itu mmg banyak dari saudara-saudara pemilik marga Girsang itu yang berkali-kali mengingatkan pada saya bahwa saya dimargakan ke Girsang bukan ke Purba Girsang alias sekali Girsang tetaplah Girsang bukan Purba Girsang. Pada perkembangan saat ini semakin banyak yang “mengkhianati” hubungan persaudaraan dalam Harungguan Purba Simalungun yang telah tercipta berabad-abad antara Purba Girsang dan Purba Pakpak dengan Purba Siboro, Purba Sigumonrong, Purba Tambak, Purba Dasuha, Purba Tamsar dan masih banyak Purba Simalungun yang lain.Purba Girsang dan Purba Pakpak dianggap sebagai sanina dari Purba Simalungun lainnya dalam ikatan Harungguan Purba.

Lucunya jika Girsang kini menyangkali Ke-Purba-an mereka namun Purba Pakpak tetap setia pada Harungguan Purba Simalungun, sedangkan Girsang telah mengambil langkah terlalu jauh dengan menolak menjadi bagian dari Harungguan Purba Simalungun, lalu menolak bagian dari Toga Simamora (dalam hal ini saya juga setuju) dan kemudian menyatakan bahwa Girsang adalah bagian dari Toga Sihombing yang ber-sanina dengan marga Sihombing,Nababan,Silaban dan Hutasoit…Dengan sikap menolak,penyangkalan dan seakan-akan membalas air susu dengan air tuba kepada Harungguan Purba Simalungun nantinya malah akan menjadi bumerang bagi keturunan marga Girsang nantinya karena tentunya ada yang terluka di dalam penyangkalan Girsang kepada Harungguan Purba ini. Perlu rasanya para petinggi, senior atau yang dituakan dalam keluarga besar Girsang perlu duduk bersama dengan para petinggi Harungguan Purba Simalungun untuk membicarakan mau kemana Girsang sekarang ditempatkan..apakah masih mau bersama-sama dalam Harungguan Purba Simalungun atau mau keluar dari Harungguan Purba Simalungun.

sumber :http://sevilla99.wordpress.com/2009/01/28/mau-kemana-girsang/

BENARKAH MARGA GIRSANG BUKAN CABANG DARI MARGA PURBA? (Artikel berikut dikutip dari Berita Simalungun)

"Kalau bukan sama, berarti perkawinan antara marga Purba dengan Girsang bukan hal yang terlarang menurut adat...!" Oleh : Pdt. Juandaha Raya Purba Dasuha, STh Pengantar Asisten Residen Simalungun dalam karya klasiknya, Simeloengoen menulis bahwa pada dasarnya di Simalungun sejak zaman dahulu kala hanya ada empat marga di Simalungun, yakni marga Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba (Sisadapur). Dan memang dari karya-karya klasik penulis-penulis Belanda, baik Tideman maupun Tichelman sebagai pejabat kolonial Belanda selalu menulis Purba Girsang.

Yang kita pertanyakan, sejak kapan penulisan dengan "Girsang" tanpa "Purba" itu dimulai? Asumsi saya berdasarkan perbincangan dengan tokoh-tokoh Simalungun dan para orangtua Simalungun, penulisan marga Girsang tanpa Purba itu masih baru, belum sampai seratus tahun. Pada waktu penulis bertugas di Sekretariat J-100 di Jakarta dalam rangka penulisan sejarah GKPS tahun 2003 kemarin, penulis berbincang-bincang dengan salah seorang tokoh marga Girsang yang dengan marahnya menolak ucapan saya yang mengatakan Girsang itu merupakan sub sib atau cabang dari marga Purba. Beliau dengan marahnya mengatakan, "Girsang adalah Girsang bukan Purba, kami marga Girsang bukan masuk cabang marga Purba tetapi masuk ke cabang marga Sihombing Lumbantoruan."

Dan memang Bapak Brigjend TNI (Purn) Djorali Purba Dasuha sebagai Ketua Umum Harungguan Purba se-Jabotabek menginformasikan kepada penulis bahwa dari 24 cabang marga Purba Simalungun yang mengaku berasal dari Simalungun, marga Girsang akhirnya keluar dari perkumpulan marga Purba Simalungun tersebut karena ngotot tidak mengakui Girsang bercabang dari induk marga Purba Simalungun. Berangkat dari persoalan di atas, timbul pertanyaan di kalangan kaum muda - kalau benar marga Girsang bukan masuk Purba, berarti marga "Girsang" itu tidak sama dengan Purba, dan karena menurut mereka, Girsang berketurunan dari marga Sihombing Lumbantoruan berarti Girsang merupakan cabang dari marga etnis Batak Toba. Dan jika memang benar bukan cabang dari marga Purba mengingat Hukum Adat Perkawinan Simalungun hanya melarang perkawinan "nasamorga" berarti, karena Girsang dan Purba merupakan dua margayang berbeda, maka tidak ada larangan lagi menurut adat yang menghalangi perkawianan antara marga Girsang dengan marga Purba, karena yang dilarang menurut adat perkawinan Simalungun adalah kawin semarga karena dianggap masih satu keturunan dari nenek moyang yang sama. Polemik asal marga Girsang Tideman dalam karya, Simelongoen menuliskan, bahwa Si Girsang yang merupakan leluhur dari raja Silimakuta yang menggantikan mertuanya tuan Nagasaribu bermarga Sinaga berasal dari Lehu Sidikalang Pakpak Dairi.

Dari silsilah raja Silimakuta diperkirakan ketibaan Girsang di Naga Mariah diperhitungkan sekiar pertengahan abad XVIII. Sedang pengangkatan Naga Saribu menjadi kerajaan barulah sejak tahun 1907 dengan nama Kerajaan Silimakuta. Di sini saya kutip uraian Tideman dalam bukunya Simelongoen tentang asal-usul raja Silimakuta: "Raja yang pertama berasal dari Lehu(Sidikalang Pakpak Dairi) bernama Si Girsang. Ketika ia berburu sampailah ia ke Tanduk Banua (Sipiso- piso). Di sana tiba-tiba dijumpainya Horbo Jagat (kerbau bulai) dan menyangka di sekitarnya ada kampung. Ia lalu memanjat pohon tinggi dan melihat ada kampung besar merga Sinaga bernama Naga Mariah. Ia pergi ke sana dan tinggal di situ. Pada suatu ketika Tuhan Naga Mariah. Ia pergi ke sana dan tinggal di situ.

Pada suatu ketika, Tuhan Naga Mariah terancam musuh dari Siantar yang sedang berkemah di Paya Siantar dekat kaki Gunung Singgalang. Tuhan Naga Mariah mengharapkan bantuan dari Si Girsang mengusir musuh. Si Girsang menyuruh penduduk mengumpulkan sebanyak mungkin bermacam- macam duri dan diambilnya cendawan merah, diperasnya dalam air, racunnya diletakkannya pada duri-duri dan diletakkan di sepanjang jalan yang bakal dilalui musuh., sedangkan air yang beracun itu dimasukkannya ke dalam Paya Siantar. Musuh oleh karena itu semuanya mati kena racun.Ia melapor kepada Tuhan Naga Mariah dan berkata, "Nunga mate marsinggalang saribu di dolok i!" (beribu-ribu musuh sudah mati bergelimpangan di gunung itu), sehingga gunung itu dinamakan Dolok Singgalang dan namanya Saribu Dolok.

Si Girsang lalu kawin dengan puteri dari Tuhan Naga Mariah dan karena ahli mencampur racun dinamai Datu Parulas. Setelah raja itu mati maka Datu Parulas ini naik tahta dan mendirikan kampungnya Naga Saribu yang menjadi ibukota. Kerajaannya dinamainya Si Lima Kuta karena dalam kerajaannya ada lima kampung yaitu: Rakutbesi, Dolok Panribuan, Saribu Djandi, Mardingding dan Nagamariah. Setiap puteranya menjadi tuhan di Rakutbesi, Dolok Panribuan, Saribu Djandi, Mardingding dan Naga Mariah. Kemudian lahir lagi dua putera,yang tertua mendirikan kampung Janji Malasang dan mendirikan kerajaan kecilbenama Bage. Yang bungsu menggantikan Datu Parulas. Baru di tahun 1903 Kerajaan Bage tunduk di bawah Kerajaan Silimakuta." Bagaimana dengan Purba Girsang di Dolog Batu Nanggar? Dari tulisan Tideman tersebut dapat dismpulkan, bahwa Si Girsang tidak diketahu bermarga apa, yang jelas, namanya Si Girsang. Jadi kalau ada kalangan marga Girsang yang mengatakan Girsang bukan cabang dari marga Purba, ini dapat diterima, karena itu adalah hak yang bersangkutan.

Namun yang perlu dipertanyakan lagi, menurut Tideman - tentunya ia mencatat informasi dari kalangan raja Silima Kuta - asal dari pemburu Si Girsang dari Lehu di dekat Sidikalang (afkomstig Lehu Pakpak Dairi). Di sana Tideman menulis "afkomstig" = berasal dari, jadi belum tentu "berketurunan" dari penduduk asli Lehu yang Etnis Pakpak,boleh jadi ia hanya singgah di sana dan seterusnya mengembara ke Simalungun. St. Djaidin Girsang dalam tulisannya tentang "Kisah Si Girsang Parultop- ultop Jadi Raja Silimakuta" (Medan, 1995:123-124) menulis (terjemahan bahasa Simalungun dialek Silimakuta),

"Konon menurut cerita turun temurun, kelahiran Si Girsang ditengarai masalah di kalangan orang ramai, ini disebabkan kelahiran Si Girsang yang tidak lazim (marbalutan) tidak seperti biasanya. Tanggapan khalayak simpang siur dan masing-masing membuat tanggapannya sendiri, ada yang mengatakan "anak panunda" bayi yang baru lahir ini, ada yang mengatakan anak keramat, ada yang mengatakan anak sial dan lain-lain. Demikianlah tanggapan banyak orang, dan ada lagi yang mengatakan, "tidak patut anak ini dibiarkan hidup....; jadi timbullah usul orang ramai agar bayi tersebut dibunuh agar jangan mendatangkan kesialan pada seisi kampung. Ibu Si Girsang adalah perempuan dari Lottung Sinaga, ia sangat masygul melahirkan Si Girsang, jadi disembunyikanlah Si Girsang di luar kampung agar dapat dipantau ibunya siang dan malam, tidak tega hatinya membiarkan anaknya dibunuh...setelah itu dinamailah ia Si Girsang mengingat penderitaannya itu."

Dari beberapa sumber di atas disimpulkan, bahwa bayi yang disembunyikan oleh ibunya itu berasal dari keluarga biasa (rakyat kebanyakan) karena disebut sebagai "penghuni kampung" (berbeda dengan leluhur raja-raja Simalungun yang seluruhnya berasal dari kalangan bangsawan); uraian Djaidin Girsang juga tidak menyebut Si Girsang berketurunan dari kalangan raja. Biasanya panglima-panglima perang (raja goraha) raja Nagur (kerajaan tertua di Sumatera Timur) yang kemudian menjadi raja di Simalungun adalah kawin dengan panakboru (puteri raja) dari raja Nagur bermarga Damanik, seperti raja Tanoh Djawa (Sinaga), Silou (Purba Tambak), Panei (Purba Dasuha), tetapi Si Girsang tidak demikian. Setelah dewasa menurut uraian St. Djaidin Girsang ia kawin dengan puteri Tuhan Naga Mariah bermarga Sinaga yang kemudian "terusir" dari Naga Mariah dan sebagian keturunannya pindah ke Karo (Batu Karang) dan Girsang Sipangan Bolon Parapat. Ini membuktikan kenyataan sejarah kalau Si Girsang adalah pendatang dari luar Simalungun - dan bukan rakyat Nagur pada mulanya. Kerajaan Nagur dengan daerah vasalnya Kerajaan Dolog Silou masih berkuasa atas Purba, Raya dan Nagasaribu, karena status ketiganya adalah "partuanan banggal" Kerajaan Dolog Silou sebelum ditingkatkan menjadi "landschap" pada zaman Belanda sejak 1907 (Korte Verklaring).

Jadi kalau dirunut dari jalan sejarah di atas, keberadaan marga Girsang di Silimahuta (kecuali di partuanan Dolog Batu Nanggar-Panei) Simalungun masih baru; sekitar pertengahan abad XVIII. Dan jika dilihat dari penolakan marga Girsang yang tidak mengakui Girsang merupakan cabang marga Purba (khususnya yang berasal dari Silimakuta), cukup menegaskan kenyataan sejarah kalau Si Girsang yang menurunkan marga Girsang di Silimakuta baru sejak zaman Belanda atau tepatnya pada tahun 1907 berstatus kerajaan di Silimakuta dan bukan seketurunan dengan marga Purba Tambak yang menurunkan raja-raja Silou, Panei dan Dolog Batu Nanggar (Purba Tambak, Purba Sigumonrong, Purba Sidasuha, Purba Sidadolog, Purba Sidagambir, Purba Siboro, Purba Tanjung dan Purba Girsang).

Yang membingungkan lagi dalam Pusataha Parpandanan Na Bolag yang menceritakan sejarah perpecahan Kerajaan Nagur di abad XIV, ada disebut-sebut nama tokoh Si Girsang Doriangin. Demikian pula di sejarah Kerajaan Dolog Silou ada disebut Si Juhar marga Purba Girsang yang menurunkan marga Purba Girsang keturunan Tuan Badja Purba Girsang tuan Dolog Batu Nanggar (Saribulawan). Mengingat marga Girsang di Nagamariah baru ada di pertengahan abad XVIII sedangkan marga Purba Girsang di Dolog Batu Nanggar sudah ada setidaknya di abad XV yang hampir bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Dolog Silou; apakah tidak tertutup kemungkinannya jika Si Girsang yang berangkat dari Lehu menuju Naga Mariah adalah cucu buyut dari Tuan Partanja Batu Purba Girsang dari Dolog Batu Nanggar sebagaimana uraian TBA Purba Tambak dalam bukunya Sejarah Simalungun ?

Atau alternatif kedua, Si Girsang merupakan "pendatang baru" yang bukan kerketurunan dari Tuan Dolog Batu Nanggar? Dugaan penulis makin kuat karena pada saat penulis bertugas di GKPS Resort Sumbul, dalam suatu kesempatan hal ini pernah penulis tanyakan kepada serang pengetua adat Pakpak (pertaki) bermarga Solin, pada saat mana sedang gencar-gencarnya pembangunan Tugu Girsang di Lehu. Beliau menjelaskan kepada penulis, bahwa sepengetahuannya, Girsang itu bukan marga Etnis Pakpak, dan tanah lokasi pembangunan tugu itu sendiri bukan tanah adat marga Pakpak, tetapi tanah adat marga Batanghari dari etnis Pakpak yang dibeli oleh marga Girsang dari Saribudolok.

Jadi Girsang bukan "marsanina" dengan Purba? Meminjam ungkapan budayawan Simalungun Pak Mansen Purba, SH dalam bukunya "Pangarusion pasal Adat Perkawinan Simalungun" yang mengatakan, "seng dong hinan batta Simalungun, parsaninaon halani nasamorga, tapi halani na sahasusuran do. Age pe dos morga, lape tottu ai na sahasusuran. Aima ase dong panggoranion i pudini morga in, tanda ni na sada hasusuran ope." Jelasnya menurut beliau, di Simalungun "marsanina" bukan karena "satu marga" atau dari marga yang sama, tetapi dilihat dari sejarah asal-usulnya. Kalau dari seketurunan nenek moyang yang sama, maka disebut "marsanina" kalau sebaliknya, biar marganya sama, kalau masing-masing tidak mengakui nenek maoyangnya seketurunan, maka jelas bukan "marsanina". Jadi berdasarkan rumusan ini, maka di antara marga Purba yang dapat disebut 'marsanina" adalah keturunan dari raja-raja Silou dan Panei dengan partuanan- partuanannya, seperti Purba Tambak (raja Dolog Silou), Purba Sigumonrong (Tuan Lokkung), Sidasuha (raja Panei), Sidadolog (Tuan Sinaman), Sidagambir (Tuan Raja i Huta), Tanjung (Tuan Tanjung Purba), Siboro (Tuan Siboro) dan Girsang (Tuan Dolog Batu Nanggar). Karena seluruh cabang marga Purba ini menurut Pustaha Bandar Hanopan berasal dari nenek moyang yang sama Tuan Djigou Purba dari Tambak Bawang yang datangdari Gayo (Aceh) atau dari Pagarruyung. Dan kalau raja Silimakuta yang merupakan keturunan dari Si Girsang dari Lehu itu di pertengahan abad ke-18 masuk ke Naga Mariah mengaku bukan bercabang dari marga Purba, kalau demikian ia bukanlah suku Simalungun, karena sejak zaman dahulu suku Simalungun terdiri dari empat cabang marga saja, yakni Sinaga Saragih, Damanik dan Purba. Dan memang baik Tuan Dolog Batu Nanggar bermarga Purba Girsang dan saninanya raja Panei bermarga Purba Dasuha masing-masing mengambil permaisuri dari puteri raja Siantar bermarga Damanik, sementara kita lihat di Silimakuta permaisuri Silimakuta bukan dari Siantar, tetapi dari Tongging bermarga Munthe.Ini merupakan suatu fakta yang patut dipertimbangkan dalam memutuskan apakah memang Purba Girsang di Silimakuta dan Dolog Batu Nanggar itu dari keturunan nenek moyang yang samakah atau berbeda?

Penutup Penulis memang sadar kalau tulisan ini akan menimbulkan kontroversial di kalangan etnis Simalungun, khususya di kalangan marga Girsang dan Purba Simalungun. Tetapi mengingat falsafah etnik Simalungun "Habonaron do Bona" ini layak untuk dituntaskan oleh pengetua adat Simalungun. Jangan sampai akibat pengakuan marga Girsang ini menyebabkan kegalauan di kalangan generasi muda Simalungun. Dan kalau memang Girsang tetap ngotot tidak mengakui dirinya bercabang dari marga induk Purba Simalungun, agar kelar dan tidak menimbulkan kesimpang siuran di tengah-tengah masyarakat, alangkah bijaknya, apabila hal ini dibahas dengan melibatkan para sejarawan, apakah benar "Girsang bukan cabang dari marga Purba?" Kalau memang benar, sepantasnyalah diumumkan dan disosialisasikan kepada masyarakat luas, sehingga perkawinan antara marga Purba dengan Girsang bukan lagi sesuatu hal yang terlarang menurut adat Simalungun. Karena yang dilarang menurut adat adalah "mardawan begu" atau saling kawin mawin dengan pasangan yang semarga. Sehingga kedudukan marga Girsang di Simalungun jelas, dan para kaum muda yang ingin mencari pasangan hidupnya juga tidak ragu-ragu. Semoga bermanfaat.

Penulis adalah seorang pendeta GKPS bermarga Purba tinggal di Tepian Danau Toba Tongging-Taneh Karo Simalem baca selengkapnya:
http://groups.google.com.pe/group/lumbantoruan/browse_thread/thread/5ae1aa480f12463a

Monday, March 21, 2011

PURBA SIBORO


by : Walsinur Silalahi
 
Anda mungkin mengetahui bahwa sebagian marga Siboro memakai marga Purba. Dahulukala tersebutlah dua orang kakak-adik dari keturunan Siboro yang bernama Raja langit dan Raja Ursa.Ayah mereka ini bernama
Tentangniaji. Mereka mengadakan perjalanan ke daerah Dairi. Setelah sampai diTungtungbatu, maka Raja langit menikah dengan seorang wanita yang melahirkan seorang anak dan diberi nama Tungtungbatu. Keturunan Tungtungbatu inilah yang memakai marga Purba didaerah itu.Sedangkan Raja Ursa meneruskan
perjalanannya ke Lehu dan menikah disana dgn seorang wanita yang melahirkan seorang anak yang diberi nama Raja Lehu,keturunannnya juga memakai marga Purba.


Kemudian mereka berdua meninggalkan daerah itu menuju daerah Simalungun.Raja Langit bermukim di di Langgiung Purba dan menikah lagi ditempat ini. Dari wanita yang dinikahinya lahir dua anak yang diberi nama::Raja Parultop (Datu Parulas) dan Tuan Purba.Demikian juga Raja Ursa, tdk mau kalah
dengan saudaranya. Dia pergi menuju Nagasaribu Simalungun dan menikah lagi dan isterinya melahirkan dua anak yang diberi nama:Raja Nagasaribu dan Tuan Binangara. Keturunan anak2nya ini memakai marga Girsang.Klan yang masuk marga ini adalah Girsang Rumaparik,Girsang Parhara dan Girsang Silangit.

Raja Parultop sebelumnya disebut Datu Parulas, tetapi karena pekerjaannya selalu marultop, maka dia dipanggil Raja Parultop.Ultop pada jaman itu dipakai untuk menangkap burung. Alat ini terdiri dari sepotong bambu dan dilengkapi dengan alat yang tajam yang dimasukkan kedalam bambu tsb dan
ditiup untuk meluncurkan alat semacam panah kesasaran tembak. Raja Parultop inipun menikah dan isterinya melahirkan seortang anak yang bernama Suha. Setelah si Suha ini dewasa,dia menikah dan lahir anaknya yang diberi nama Tuan Hinalang.Keturunan Suha ini memakai marga Siboro.

Suatu ketika Raja Parultop melihat seekor burung,dia mengintai burung itu sembari membawa ultopnya.Pada saat-saat dia mulai siap2 meniup ultopnya,burung tsb terbang.Dia ikuti terus kemana burung terbang,dan
berpesan kepada orangtuanya bahwa bila mereka melihat daun2an layu berarti pertanda bahwa dia mengalami kesulitan dalam perjalanannya,dan segera meminta agar menyuruh orang melihatnya.

Burung yang diikutinya sudah sampai ke daerah Sagala. Setelah dia sampai ke huta Sagala,tiba2 dia melihat seseorang tiarap mengintai seekor babi hutan yang lehernya berkalungkan rantai.Dia lalu bertanya,mengapa dia bersembunyi di semak-semak.lalu laki2 itu menjawab:"Tanaman saya habis dimakan babi
hutan yang berkalungkan rantai itu.Tapi saya kesulitan menangkap babi tsb.Lalu Raja parultop menawarkan diri untuk menangkapnya.Kalau kamu kesulitan menangkapnya,maka saya akan bantu saudara menangkapnya. Laki2 itupun senang dan dia berkata:"Bila kamu berhasil menangkap binatang itu
maka saya akan memberikan anak saya untuk dijadikan isteri.Aku memiliki tujuh gadis,dan terserah kamu memilihnya."

Raja parultop dgn laki2 itu mengadakan perjanjian dan sepakat untuk memenuhi perjanjian diantara mereka.
Raja Parultop meminta kepada laki2 itu demikian:"Bila saya meninggal,agar jangan langsung dikubur,tapi bawalah saya ke sopo(semacam tempat peritirahatan).Baiklah ,kata laki2 itu,lalu laki2 itu menunjukkan tempat babi hutan yg merusak tanamannya(aili) kepada raja Parultop.Raja parultop
langsung menggunakan ultopnya ..Tesss..Babi hutan kena bidikannya dan mati.Tiba2 datang semacam burung elang yg berkepala tujuh(lali sipitu ulu) untuk memukul Raja Parultop.Dibidiknya juga lali sipitu ulu(Burung elang yang berkepala tujuh) dan kena..dan mati.tetapi sial baginya,bangkai lali sipitu ulu menimpa tubuhnya dan Raja Parultop ikut tewas.Sesuai dengan janji mereka,Bangkai Raja Parultop dibawa ke sopo.

Dengan kematian raja parultop,maka daun2an atau bunga menjadi layu sebagai tanda pesan Raja parultop ke orangtuanya.Sesuai pesannya,orangtuanya memerintahkan anak raja Parultop yang bernama Suha mencarinya.Suhapun pergi mencari ayahnya dan ditemukan Raja parultop ayahnya telah terbujur
meninggal di sopo.Dengan ilmu yang dimiliki oleh Suha,dia meletakkan semacam pencegah kematian keatas tubuh ayahnya yang dalam bahasa batak disebut:Taoar pangabangabang,Taoar pangubungubung,sipangolu naung mate,siparata naung busuk.Dengan meletakkannya kebuh sang ayah,ahirnya Raja parultop hidup kembali.

Berhubung Raja Parultop hidup kembali,maka laki2 tsb memenuhi janji(padan) yang telah disepakati dan menawarkan agar raja parultop memilih satu dari ketujuh wanita itu sebagai isterinya.

Baiklah kata raja Parultop,sebelum saya menentukan pilihan,saya mau mengundang ketujuh putrinya untuk melewati sebuah sungai.Mereka bertujuh disuruh Raja Parultop menyeberangi sungai yang ada didesa itu.Putri pertama hingga keenam memakai pakaian yang indah dan selalu mengangkat pakaiannya
pada saat menyeberangi sungai agar tdk basah,tetapi putri ketujuh memakai pakaia yg paling jelek diantara mereka membiarkan pakaiannya basah menyeberangi sungai itu.Dia tdk mengangkatnya.Lalu Raja Parultop menentukan bahwa putri yang berpakaian jelek itu saja sebagai isterinya.Karena dialah
yang mengetahui adat dan mengerti kesopanan.Nama Putri itu adalah Asangpagar.Dialah menjadi isteri Raja Parultop yang melahirkan tiga anak baginya.

Si Suha juga menetap tinggal didaerah Sagala dan menikah disana.Isterinya melahirkan satu anak dan dinamai Raja Suha. Demikianlah cerita keturunan Guru Tentangniaji.

SEJARAH SIMATAAJA SIMARMATA



Ini dia sejarah marga Simarmata. Margaku ini termasuk sedikit warganya, bahkan sebagian "berlindung" dibalik marga Saragih/Saragi dalam kelompok marga Parna. Simarmata itu sendiri merupakan salah satu marga Batak yang terdapat dalam komunitas masyarakat Batak Toba yang berasal dari Pulau Samosir di provinsi Sumatra Utara, Indonesia.

Kalo dilihat dari silsilah orang Batak yang dipercaya berasal dari Siraja Batak adalah sbb.:
1. Siraja Batak
2. Guru Tatea Bulan
3. ………..
4. Saragi Tua
5. Ompu Tuan Binur
6. Simarmata

Ompu Tuan Binur Anaknya Saragi Tua, menikah dengan Bunga Ria Boru Manurung, puteri Raja Manurung yang tinggal di negeri Sihotang. Ompu Tuan Binur kemudian mendirikan kampung yang bernama Huta Namora di Rianiate, dekat Pangururan dan menjadi raja dari daerah sekitarnya.

Ompu Tuan Binur ini mempunyai 4 orang putera yaitu Lango Raja, Saing Raja, Mata Raja dan Deak Raja, dan kedua puterinya kawin dengan Sihotang Marsoit dan Limbong Naopatpulu. Putera ketiga dari Ompu Tuan Binur yaitu Simataraja,yang kemudian kawin dengan puteri Raja Saudakkal dari Limbong Mulana, bernama Lahatma boru Limbong Sihole, dan selanjutnya mereka tinggal didaerah bernama Simarmata, sebagai bona pasogit dari seluruh keturunan Ompu Simataraja marga Simarmata.

Kapan persisnya Simataraja memakai marga Simarmata, kurang jelas. Dari perkawinannya, Simataraja mempunyai tiga orang putera yaitu: Halihi Raja, Menikah dengan Naolo boru Sihaloho dari Janji Maria Parbaba, Dosi Raja, Menikah dengan Bungahom boru Malau dari Rianiate, dan Datuktuk Raja Menikah dengan Tiarma boru Sinaga Uruk dari Batu Upar, Urat. Kepada ketiga puteranya Simataraja membagikan tanah sebagai tempat kediaman masing-masing beserta keturunannya. Halihi Raja memperoleh Huta Uruk, Dosi Raja memperoleh Huta Toguan (Toruan), dan yang bungsu Datuktuk Raja memperoleh Huta Balian.

Setelah Ompu Simataraja wafat, maka ketiga puteranya tetap menjadi raja di negeri Simarmata dengan damai. Diduga ketiga Ompu ini hidup sekitar tahun 1550. Dari ketiga putera Ompu Simataraja inilah yang menurunkan marga Simarmata dan menyebar keseluruh pelosok, terutama ke daerah pantai Sumatera ditepian pantai Danau Toba, baik kearah Timur, Tenggara maupun Barat, diantaranya ke Simalungun, Karo, Dairi, Humbang, Sibolga, Barus dan selanjutnya ke Pematang Siantar, Binjai dan kota-kota lainnya di Sumatera, Jawa, bahkan ke seluruh Indonesia dan Dunia.

OMPU TUAN BINUR
Adalah putera sulung Raja Isumbaon yang sebenarnya bernama Ompu Tuan Nabolon, namun sampai kini keturunannya dinamai pomparan Nai Ambaton menurut ibu leluhurnya dan walaupun keturunan Nai Ambaton sudah lebih dari 50 marga dan lebih kurang 20 generasi, sampai sekarang masih tetap mempertahankan ”ruhut bombong” yaitu peraturan yang tidak memperbolehkan perkawinan sesama marga yang termasuk seluruh marga Nai Ambaton.

Nai Ambaton mempunyai 5 putera tetapi ada pendapat yang mengatakan tiga orang putera, ada yang mengatakan dua dan yang lain mengatakan empat orang putera. Meskpun ada perbedaan pendapat tetapi tentang jumlah dan marga-marga yang termasuk keturunan Raja Nai Ambaton hampir semua sepakat. Di bawah ini adalah putera-putera Nai Ambaton yaitu:
1. Simbolon Tua
2. Saragi Tua
3. Tamba Tua
4. Munte Tua
5. Nahampun Tua
Dari lima marga induk lahirlah berpuluh-puluh marga keturunan Nai Ambaton seperti disebutkan diatas.

Dari putera kedua Nai Ambaton yaitu Saragi Tua mempunyai dua orang putera yaitu:
1. Ompu Tuan Binur
2. Saragi Tua

Putera sulung Saragi Tua yaitu Ompu Tuan Binur kemudian kawin dengan Bunga Ria Boru Manurung puteri Raja Manurung yang tinggal di Negeri Sihotang. Ompu Tuan Binur kemudian mendirikan kampung yang bernama Huta Namora di Rianiate dan menjadi Raja dari daerah sekitarnya. Ompu Tuan Binur mempunyai 4 orang putera, yaitu:
1. Lango Raja
2. Saing Raja
3. Mata Raja
4. Deak Raja
Sedangkan 2 puterinya kawin dengan Sihotang Marsoit dan Limbong Naopatpulu.

OMPU SIMATARAJA SIMARMATA.
Putera ketiga dari Ompu Tuan Binur yaitu Simataraja, yang kemudian kawin dengan puteri Raja Saudakkal dari Limbong Mulana, bernama Lahatma boru Limbong Sihole, dan selanjutnya mereka tinggal didaerah bernama Simarmata, sebagai bona pasogit dari seluruh keturunan Ompu Simataraja marga Simarmata. Kapan percisnya Simataraja memakai marga Simarmata, kurang jelas. Dari perkawinannya, Simataraja mempunyai tiga orang putera yaitu:Halihi Raja, kawin dengan Naolo boru Sihaloho dari Janji Maria Parbaba, Dosi Raja, kawin dengan Bungahom boru Malau dari Rianiate, dan Datuktuk Raja kawin dengan Tiarma boru Sinaga Uruk dari Batu Upar, Urat. Kepada ketiga puteranya Simataraja membagikan tanah sebagai tempat kediaman masing-masing beserta keturunannya. Halihi Raja memperoleh Huta Uruk, Dosi Raja memperoleh Huta Toguan(Toruan), dan yang bungsu Datuktuk Raja memperoleh Huta Balian. Setelah Ompu Simataraja wafat, maka ketiga puteranya tetap menjadi raja di negeri Simarmata dengan damai. Diduga ketiga Ompu ini hidup sekitar tahun 1550. Dari ketiga putera Ompu Simataraja inilah yang menurunkan marga Simarmata dan menyebar keseluruh pelosok, terutama ke daerah pantai Sumatera ditepian pantai Danau Toba, baik kearah Timur, Tenggara maupun Barat, diantaranya ke Simalungun, Karo, Dairi, Humbang, Sibolga, Barus dan selanjutnya ke Pematang Siantar, Binjai dan kota-kota lainnya di Sumatera, Jawa, bahkan ke seluruh Indonesia dan Dunia.

RAJA BIUS SIMARMATA SI TOLU TALI
Menurut Adniel Lumbantobing dalam bukunya Sejarah Sisingamangaraja yang dikutip Batara Sangti dalam bukunya Sejarah Batak, diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1305. Dengan demikian kalau ditarik tarombo sampai kepada Ompu Simataraja yang merupakan generasi ketujuh, terentang jarak sekitar 210 tahun (dengan asumsi atau generasi 30 tahun) berarti Ompu Simataraja hidup sekitar tahun 1515. Sebagai perbandingan Tuan Sisingamangaraja I bernama Raja Manghuntal lahir pada tahun 1515 (A. Lumbantobing).

Kalau dilanjutkan kepada putera Ompu Simataraja yaitu Halihi Raja, Dosi Raja dan Datuktuk Raja dapat dikatakan ketiga putera Ompu Simataraja hidup sekitar tahun 1545.

Dari data yang ada pada penulis yaitu tarombo Bp. Drs. R.U. Simarmata (Halihi Raja) dan Tarombo Bp. J.F. Simarmata (Datuktuk Raja) yang merupakan generasi ke-13 dan ke-14, maka perkiraan tahun tersebut di atas tidak jauh berbeda.

Dari ketiga putera Ompu Simataraja inilah yang menurunkan Marga Simarmata, menyebar ke seluruh pelosok, terutama ke daerah pantai sumatera di tepian pantai Danau Toba baik ke arah timur, tenggara maupun ke barat diantaranya ke Simalungun, Karo, Dairi, Humbang, Sibolga, Barus dan selanjutnya ke P. Siantar, Binjai dan kota-kota lainnya di Sumatera, Jakarta, ke seluruh Indonesia bahkan ke seluruh dunia.

SIMALUNGUN
Kalau diperhatikan bahwa raja-raja penguasa tanah Simalungun yang hanya terdiri dari empat marga, yaitu: Saragih, Damanik, Purba dan Sinaga dapat disimpulkan bahwa keturunan Raja Nai Ambaton dari puteranya Saragi Tua sudah cukup lama pergi ke tanah Simalungun sehingga dapat menjadi raja.
Keturunan Simataraja marga Simarmata yang datang kemudian dapat diterima di Simalungun karena mengikuti marga dongan tubunya Saragi yang di Simalungun menjadi Saragih. Baru belakangan setelah kekuasaan raja-raja berkurang marga Simarmata yang tadinya disebut marga Saragih kembali memakai marga Simarmata, walaupun karena sudah cukup lama memakai marga Saragih banyak diantaranya yang tidak mengingat lagi keturunan Ompu yang manakah diantara ketiga putera Ompu Simataraja yang bersangkutan.
Generasi selanjutnya yang kemudian menempati pesisir pantai di hadapan Pulau Samosir. Mereka mendiami daerah Tigaras, Haranggaol, Silalahi, dan desa-desa di sepanjang pantai tersebut.
Menurut cerita perpindahan ke tanah Simalungun ini sudah berlangsung antara tujuh sampai sepulu generasi.

KARO
Menurut Mulgap Ginting yang dimuat pada harian Sinar Indonesia Baru 31 Oktober 1971 Medan, Simarmata yang di tanah Karo menjadi Garamata (merah mata) mengembara ke tanah Karo melalui Dairi.
Kampung yang mula-mula ditempati di tanah Karo yaitu kampung Lau Lingga (sekarang Kecamatan Juhar). Di sini Garamata membuat namanya Matangken dan marganya Ginting. Di kampung inilah Matangken kawin dan mendapat seorang anak yang diberi nama Tindang (berdiri). Sesudah dewasa Tindang kawin di kampung itu juga. Istrinya adalah anak Raja Umang. Sebelum mempunyai anak Tidang dan istrinya meninggalkan kampung Lau Lingga dan pergi ke arah Timur, lalu bertempat tinggal di sebuah kampung bernama Gura Lesma dekat kota Kabanjahe (sekarang Kecamatan Munthe). Kehidupan mereka bertani dan di tempat ini mereka mempunyai anak yaitu 9 laki-laki dan satu perempuan yang masing-masing bernama Ajar Tambun, Suka, Babo, Sugihen, Gurupatih, Jadibata, Beras, Bukit, Garamata dan yang perempuan bernama Bembem.

DAIRI, HUMBANG DAN BARUS
Perpindahan keturunan Simataraja ke daerah ini adalah mengikuti dongan tubunya Simbolon, meskipun tidak sebanyak marga Simbolon tetapi di beberapa daerah di sekitar Humbang terdapat marga Simarmata yang sudah tinggal beberapa generasi disitu (Batara Sangti dalam Sejarah Batak).

DAERAH LAINNYA
Demikianlah generasi-generasi awal perpindahan keturunan Simataraja dari Bona Pasogit, selanjutnya menyebar ke daerah lain sampai ke Jakarta.
Khusus ke Jakarta dari cerita-cerita para sesepuh, keturunan marga Simarmata menetap di Jakarta baru pada awal tahun lima puluhan seperti Bapak A. Simarmata, Bapak Ismail Simarmata yang sudah meninggal dan lain-lain.
Baik sekali kalau dapat diperoleh data yang akurat tentang perpindahan marga Simarmata ke Jakarta ini.

SIMATARAJA MENGASIHI ADIKNYA DEAK RAJA DENGAN SETULUS HATI.
Ketika ayahanda Lango Raja, Saing Raja, dan Simataraja meninggal, ibu mereka Ompu Bungaria boru Manurung sedang hamil (Marnadeak siubeon), kedua abang Simataraja bersikeras agar warisan peninggalan Ompu Tuan Binur dapat dibagi secepatnya. Tetapi Simataraja menolak dengan pertimbangan bahwa ibunda mereka masih hamil, mengandung calon adik mereka. Bagaimana warisan dapat dibagi tiga, sebab kalau ternyata bayi yang akan lahir itu adalah laki-laki, sesuai adat Batak, semuanya mempunyai hak yang sama. Simataraja meminta kepada abang-abangnya agar pembagian warisan ditunda saja dulu, sampai ibu mereka melahirkan. Permintaan Simataraja tidak disetujui oleh Lango Raja dan Saing Raja. Mereka tetap bersikeras agar pembagian dilakukan sekarang juga. Dengan perasaan sedih dan terpaksa Simataraja menyetujui keputusan kedua abangnya, dan dia berjanji bila bayi yang akan dilahirkan ibunya adalah laki-laki, maka warisan yang menjadi haknya akan diberikan kepada adiknya itu. Keputusanpun dilaksanakan, warisan dibagi tiga. Setelah tiba saatnya, ibunda merekapun melahirkan seorang putera yang diberi nama Deak Raja, dan sesuai janjinya Simataraja memberikan warisan miliknya untuk adiknya yang sangat disayanginya karena dia tidak sempat mengenal ayahanda mereka. Kemudian hari Deak Raja menurunkan marga Nadeak. Kisah ini dapat memberi pelajaran berharga bagi keturunan Simataraja, yang sekarang ini dikenal sebagai marga Simarmata, agar tetap menghormati yang lebih tua berupa tunduk kepada keputusan abangnya dan tidak mementingkan harta, dengan memberikan warisannya kepada adiknya, dan dia sendiri meninggalkan kampung halamannya di Rianiate dan pergi ke daerah baru, yang sekarang ini dikenal sebagai negeri Simarmata.

SIMATARAJA UNGGUL DALAM HAL KOMUNIKASI DAN NEGOSIASI.
Konon khabarnya bahwa di negeri Tamba, tempat tinggal keturunan Tamba, ada warisan peninggalan kakek Simataraja yaitu Saragi Tua dan peninggalan ayahnya yaitu Ompu Tuan Binur. Mereka berempat, Lango Raja, Saing Raja dan Simataraja beserta Deak Raja berunding untuk meminta penjelasan tentang warisan yang menjadi hak mereka. Disepakati bahwa yang menjadi utusan adalah Simataraja. Pada hari baik dan bulan baik, berangkatlah Simataraja ke negeri Tamba dengan misi "patotahon" atau "penegasan" bagian peninggalan ayah dan kakeknya. Kedatangan Simataraja disambut dengan baik oleh dongan sabutuhanya dari keturunan si Raja Nai Ambaton, yaitu Tamba bersaudara yang terdiri dari:Si Tonggor Dolok, Si Tonggor Tonga-tonga dan Si Tonggor Toruan. Melalui acara marsisean Tamba bersaudara bertanya tentang maksud dan kedatangan Simataraja, yang di jawab bahwa kedatangan Simataraja adalah untuk bertanya tentang warisan peninggalan kakek dan ayahnya yang ada di daerah Tamba. Tamba bersaudara mengakui bahwa ada peninggalan Ompu Tuan Binur dan Saragi Tua di daerah Tamba. Tamba bersaudara mengajak Simataraja ke Golat yang ada di daerah Tamba, lalu mereka berikrar dan menyepakati mana yang mejadi hak Tamba bersaudara dan mana yang menjadi hak keturunan Ompu Tuan Binur. Setelah ikrar dipastikan, tercapa rasa puas, pada masing-masing pihak, lalu mereka mengadakan pesta gembira, dengan mengundang semua unsur Dalihan Natolu. Pada pesta tersebut mereka mangalahat horbo sitingko tanduk, sijambe ihur, siopat pusoran namalo marege di tonga alaman, melambangkan kegembiraan hati dan kerbau yang mempunyai empat kaki melambangkan kesatuan mereka pinompar ni si Raja Nai Ambaton Nabolon. Kisah tersebut memberi pesan bahwa Simataraja, leluhur marga Simarmata adalah orang yang mempunyai kemampuan lebih dalam hal berkomunikasi dan negosiasi, bila dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Dalam masyarakat Batak yang patrilineal, dimana yang tertualah biasanya yang mewakili kepentingan keluarga. Simataraja dapat memperoleh apa yang menjadi misinya, tanpa mendatangkan rasa sakit hati kepada siapapun, malah justru merasa puas, karena kemampuannya "marhata". Suatu bahasa diplomasi ala Batak yang penuh dengan bahasa halus, umpasa-umpasa, tamsil, yang tidak dimiliki semua orang. Kemampuannya berkomunikasi sangat prima, artinya mampu memilih kata yang tepat pada waktu yang tepat, dapat mengendalikan emosi, mau mendengar pendapat orang lain, mampu melihat tidak hanya yang tersurat, melainkan juga yang tersirat, mempunyai wawasan pemikiran yang luas dan yang terutama mempunyai ketulusan hati. Semoga keturunannya, SIMARMATA dapat mewarisinya.

SIMATARAJA TIDAK MAU MEMPERGUNAKAN KESEMPATAN DALAM KESEMPITAN.
Ada keturunan Raja Turnip dan Raja Siallagan, yang tinggal di Simanindo. Mereka mendapat serangan dari marga Purba dari Simalungun. Serangan demikian hebatnya, yang mengakibatkan kalau ada keturunan Turnip dan Siallagan yang tertangkap langsung di jadikan hatoban atau budak. Raja Turnip dan Siallagan kewalahan dan butuh pertolongan. Lalu diadakan Sidang Darurat yang memutuskan untuk meminta pertolongan Simataraja, selaku dongan tubu, tetangga dan konon khabarnya juga marpariban karena sama-sama helani ni Limbong. Utusan ditugaskan menemui Simataraja, dan untuk menunjukkan rasa hormat mereka membawa kuda Sigajanabara. Mendapat penjelasan dari utusan, Simataraja diyakini dapat melepaskan mereka dari kesulitan, maka dia pun berangkatlah ke Simanindo. Simataraja merancang strategy. Turnip dan Siallagan diminta agar selama tujuh hari memintal tali ijuk. Kemudian selama tujuh hari Turnip dan Siallagan agar jangan ada yang meninggalkan rumah. Simataraja mau berjuang sendiri, mempertahankan Simanindo. Dia membuat orang-orangan, sejenis ondel-ondel Betawi, yang dibuat mirip serdadu perang. Dipasang hanya pada malam hari, antara Rahutbosi dan Simanindo. Suatu malam musuh yang ditunggu-tunggupun datang, Simataraja siaga dengan tali ijuk di tangan, mengontrol orang-orangan. Begitu musuh sudah masuk pada jarak yang sesuai, tiba-tiba pengontrol ditarik mengakibatkan orang-orangan bergerak, bergoyang-goyang seperti serdadu yang menyerang musuh. Simataraja memberi komando seperti berperang. Musuh sangat kaget, menghadapi situasi yang tidak terduga, maka posisi perahu mereka kalang kabut, ada yang panik, ada yang tenggelam, ada yang melarikan diri. Musuh sudah kalah, sebelum menyadari apa yang terjadi. Turnip dan Siallagan sangatlah gembira. Pestapun diadakan, Simataraja diminta kesediaannya agar mau tinggal bersama mereka. Simataraja menolak permintaan dongan sabutuhanya, dengan ucapan:Marilah kita menempati tanah masing-masing. Kemudian mereka bertiga "marpadan". Pesan dari ceritera ini adalah Simataraja tidak mau mempergunakan kesempatan dalam kesempitan orang lain, tanah yang ditawarkan ditolak. Semoga keturunannya marga Simarmata, jangan menjadi orang yang materialistis.

TUGU SIMATARAJA
Tugu adalah monumen, pemersatu dan sebagai simbol leluhur marga, sekaligus menegaskan bahwa pomparan ini, keluarga ini bukan "mapultak sian bulu". Dengan memiliki monumen seorang keluarga Simarmata, tidak soal dari mana dia berasal, berapa generasi moyangnya sudah pergi merantau meninggalkan bonapasogit, dia tetap dapat berkata inilah leluhurku, akulah cucunya. Bonapasogit adalah tanah kelahiran, kampung halaman, tempat ziarah, tempat perantau melabuhkan rindu. Bonapasogit bagi keturunan Simataraja adalah tanah Simarmata, suatu negeri di pulau Samosir. Kini tugu kebanggaan seluruh pomparan, keluarga besar Ompu Simataraja, sudah berdiri tegak disebuah desa, dinegeri Simarmata bernama Toguan, ditepi Danau Toba, seolah melambai memanggil pulang anak cucunya untuk membangun bonapasogit tercinta, seolah mengulurkan tangan menyambut kedatangan "pomparan"nya dan berkata:Cucu-cucuku aku adalah leluhurmu, Simataraja Simarmata dan Lahatma boru Limbong Sihole, Tugu ini adalah pemersatu bagimu keturunanku, Tugu ini adalah tempat ziarah bagi kamu yang lelah, Tugu ini adalah mata air bagi kamu yang rindu. Tugu mempunyai ketinggian 17 meter. Pada puncak tugu terdapat "tatuan" yaitu sejenis piring yang terbuat dari kayu dan mempunyai "kaki" semacam penyangga. Dengan tatuan ini pada masa lampau keluarga Batak makan bersama. Pada model tatuan dipuncak tugu tersebut tidak lupa nasi putih. Tatuan berisi nasi putih ini menggambarkan-menyimbolkan "Pomparan Simataraja adalah sapanganan jala sada roha, seia sekata".

Sumber:
- Torsa-Torsa Simarmata
- http://www.simarmata.or.id/