Thursday, February 9, 2012

AHAP SIMALUNGUN



Oleh Neo Simalungun Jaya (DEP)



Sanina, botou pakon haganup orangtua nami na hinaholongan…
Domma buei hasoman na mambere pandapot atap penafsiran pasal aha do na imaksud “Ahap Simalungun” ai. Halani ai, marsuttabi ma lobei hanami halani sihol namin diri homa mambere pandapot atap penafsiran  pasal “Ahap Simalungun” on.
Dalam masyarakat Suku Simalungun yang menempati Kabupaten Simalungun dan Kotamadya Pematang Siantar di provinsi Sumatera Utara, ada ungkapan yang sering kita dengar di sana, yaitu: Ahap Simalungun. Apakah artinya?
Makna Ahap dan Hasimalungunon
Pertama-tama saya akan mencoba mendefinisikan apa arti “ahap” ini menurut sepenangkapan saya.Pertanyaan sentralnya, apa sebenarnya maksud kata “ahap’ ini?
Menurut pemahaman saya (yang masih harus belajar banyak tentang hasimalungunon), AHAP merujuk pada ‘sesuatu’ yang inheren terdapat dalam diri seorang anak manusia.  Sesuatu yang bersifat abstrak, namun ada di sana… di dalam diri manusia. Sesuatu yang sifatnya tidak material, namun spiritual. Sesuatu yang melampaui badan, materi,  dan perasaan. Sesuatu yang bila di’rasakan’, dialami, atau berada di dalamnya, maka kita akan melampaui ke’egois’an kita.
Jika saya menggunakan tangan kanan saya dan spontan meletakkannya pada dada maka ia akan beradi di titik di tengah dada – tepat di tengah. Maka di situlah letak ‘imajiner’ ahap yang melampaui sekedar ‘perasaan’ atau emosi. Namun penunjukan itu sungguh sangat simbolik. Banyak para mistikus, pejalan spiritual, Resi, Mpu, Oppu, menyebut titik tengah dada itu sebagai letak Hati – dalam arti simbolik, yang sifatnya universal – menggambarkan apa itu yang sering kita sebut ‘hati nurani’,’budhi’. Pandangan ini akan kita temukan bila kita berkenalan dengan kearifan lokal Nusantara.
Dalam bahasa Kundalini Yoga, ‘hati nurani’ itu dinamakan “Anhat Cakra”, cakra keempat – letaknya persis di tengah antara kedua ‘puting susu’ yang dimiliki setiap manusia.
“… “Anhat” berarti “Suara yang Tak Terdengarkan”. Yang dimaksud adalah hati nurani kita. Suara hati yang tak terdengarkan tetapi terasakan. Cakra ini mengantarkan kita pada kesadaran Kasih,” demikian menurut Spiritualis Anand Krishna. Dikutip dari: Kundalini Yoga, Dalam Hidup Sehari-hari, Edisi Perluasan, Anand Krishna, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2000, hal. 92.
Dan masih di halaman yang sama, pada halaman 92, pada buku tersebut, Anand Krishna, melanjutkan penjelasannya, “… Berada pada tingkat Kasih, Anda sudah tidak menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain. Anda tidak bisa merugikan orang lain demi keuntungan pribadi.”
Dalam pemahaman Yoga, manusia memang memiliki lapisan kesadaran, yang ditandai dengan adanya posisi ‘cakra’ sebanyak 7 ‘keadaan’.  Cakra pertama sekitar anus, kedua sekitar alat kelamin, ketiga sekitar pusar, keempat di sekitar dada, kelima sekitar tenggorokan, keenam di tengah kening, ketujuh di atas ubun-ubun – cakra mahkota.
Sengaja saya mengutip penjelasan dari Kundalini Yoga – Peningkatan kesadaran lewat disiplin Yoga – agar memperkaya wawasan kita, yang diambil dari dimensi Spiritualisme Timur. Sebagai tambahan ketujuh lapisan itu bukanlah tingkatan akan tetapi lebih tepatnya di sebut ‘state’ – keadaan,kesadaran manusia yang tidak berdiri sendiri. Artinya setiap manusia akan senantiasa dipengaruhi oleh keadaan ketujuh lapisan kesadaran itu. Di sini saya tidak akan membahas satu persatu maknanya.
Namun, ijinkanlah saya terlebih dahulu menyimpulkan, setidaknya menurut pemahaman saya, di mana letak ‘imajiner’ dari “ahap” itu.
Mar-ahap, berarti hal ini sedang menunjukkan pemaknaan akan ‘KEADAAN’ seseorang sedang berada di mana kesadarannya. Seperti sudah kita kutip di atas,  Ahap itu menandakan keadaan kita berada pada sifat hakiki manusia yang sejati – bukan dikuasai sifat hewani lagi. Artinya berada pada keadaanmar-‘ahap’ berarti kita sedang menyatu dengan sifat-sifat manusia yang universal dan spiritual.  Namun perlu kita perhatikan bahwa tidak semua sifat yang universal itu bersifat spiritual. Misal, keegoisan, ketamakan, arogansi kelompok, arogansi keluarga, arogansi suku juga berlaku universal namun tidak spiritual. Itu bedanya!
Kembali pada makna ‘ahap’. Setidaknya ini pula sumbangan halak Simalungun, suku Simalungun adanya perbendaharaan kata ‘ahap’ yang merujuk pada sifat manusia universal yang spiritual – merujuk pada:kesadaran, cinta-kasih, melampaui ‘ego’ sentris, adanya kesadaran akan persatuan dan kesatuan sesama manusia dan alam lingkungannya. Dalam bahasa Anand Krishna lagi – ini dinamakan ‘state’ Transpersonal – melampaui ego personal.
Mar-ahap berarti manusia telah berada pada kesadaran hakikinya yakni; berada pada lapisan cinta yang mempersatukan dan disatukan. Tak ada lagi keinginan untuk mengkotak-kotakkan manusia yang memiliki latar belakang beragam. Hubungan dengan sesama tidak lagi didorong hanya karena urusan perut semata, seks semata, kenyamanan diri semata – ini hanya menyangkut urusan cakra 1,2 dan ke-3 saja. Berada pada cakra ke-1 hingga 3, manusia itu hanya akan memikirkan keuntungan, kesenangan dirinya saja, keluarganya saja, kelompoknya saja tanpa mengindahkan norma-norma sosial yang berlaku umum. Di sini tidak berlaku ungkapan: “Jangan lakukan hal yang tidak kamu inginkan kepada orang lain, jika kamu tidak ingin diperlakukan dengan hal yang sama…”    
Ketika saya menyinggung kata Cinta dan Kasih, sesungguhnya kedua kata tersebut telah berlaku umum pula, keberadaan kata itu terdapat pada semua ‘agama’ dan tradisi di dunia. Mungkin ungkapannya saja yang berbeda.
Nah, mar-ahap dapat kita simpulkan sebagai kondisi di mana pikiran, ucapan dan jiwa kita berada dalam dimensi cinta dan kasih. Kita ‘merasa’kan persatuan dan kesatuan dengan sesama manusia. Pandangan kita sudah terbebaskan dari sekat-sekat pemisah yang diakibatkan dogma agama, filsafat, kepentingan pribadi, kepentingan kelompok, keserakahan, ketamakan, tipu muslihat dll… hanya demi diri sendiri. Tidak. Tetapi kita telah ‘merasa’kan kemanusiaan itu sendiri.  
Simalungun, Hasimalungunon…
Sekarang mari kita mencoba memahami ‘ahap’ dalam konteks ‘warna’ Simalungun atau Hasimalungunon. Lalu apa maksudnya?
Ketika kita bicara Simalungun atau hasimalungunon maka hal pertama yang kita ingat secara spontan yang menandakan adanya Suku Simalungun itu adalah: Buminya, Tanah dan Airnya (Pertibi – pertiwi). Pengaruh ketiga hal inilah yang sangat memengaruhi kelahiran kekhasan Suku Simalungun .
Lalu hal kedua adalah hasil interaksi manusia – halak Simalungun, yang hidup di atas tanah airmiliknya sebagai Sipukkah Huta (penduduk awal) adalah Budaya dan kebudayaannya. Budaya dan kebudayaannya mencakup teknologinya, tradisinya, keyakinannya, kebiasaan hidupnya dll.. Mencakup unsur material dan spiritual – hasil pengalaman panjang. Meskipun bersifat kontekstual dan terbatas dalam wilayah geografis, namun ‘Ahap Simalungun’ itu telah menempatkan kemanusiaan di atas rasa ‘kekeluargaan’ Suku Simalungun yang nota bene juga berlandaskan Kasih – holong ni atei.
Tentu budaya dan kebudayaan suku Simalungun berbeda cara pengungkapannya, ekspresinya dibanding dengan suku-suku lainnya di Nusantara. Dan warna khas itu memiliki bahasa, jiwa universalnya – lewat budaya yang masih relevan, ‘etos kerja’ yang menonjol dan relevan yang menunjukkan ‘api’-nya Halak Simalungun. Suku Simalungun punya caranya sendiri untuk mengekspresikan religiositas dan nilai kemanusiaan di atas kepentingan kelompoknya.
Meskipun Hita Halak Simalungun tidak bisa mengabaikan sifat-sifat negatif atau pandangan steriotif yang melekat pada kita, seperti; latei, domdom, rendah diri dll …  Dan sesungguhnya sifat negatif ini pun dimiliki suku lain. Maka, hanya setelah memiliki Holong Ni Atei-lah (Kasih), Hati Nurani, setiap halak Simalungun mampu membebaskan dirinya dari sifat buruk, negatif itu  yang diakibatkan trauma di perjalanan sejarahnya.
Di sini kita tidak tepat dengan istilah berpikir positif tersebut. Kedua sifat itu (positif dan negatif) riil adanya. Mengabaikannya berarti, menanam , mengubur sifat negatif itu, yang sewaktu-waktu akan meledak – dapat menghancurkan diri sendiri. Sikap sejati yang bisa kita lakukan adalah dengan membakarnya dengan ‘api’ Ahap tadi. Marilah kita bakar habis sikap, sifat negatif tadi dengan api cinta, kasih – holong ni atei.
Merasakan ke-ahap-an berarti meningkatkan kesadaran untuk melampaui pengaruh cakra 1,2 dan 3 tadi. Sifat mau menang sendiri demi kepentingan diri, kelompok dan keluarga bukanlah sifat manusia – itu adalah sifat binatang. Artinya memasuki ‘ahap’ berarti evolusi kita sebagai manusia telah berjalan mulus, tidak mandek. Kita telah BERTEMU dengan sesama manusia pada lapisan cintakasih – holong ni atei.  Inilah hakekatnya. Hubungan sosial berlandaskan cintakasih, gotongroyong tanpa adanya sikap rasisme.
 Jadi Ahap Simalungun?
Kembali lagi pada pemaknaan Ahap Simalungun. Artinya Suku atau Halak Simalungun sebagaiSipukkah Huta telah menempatkan nilai-nilai universal kemanusiaan yang adil, beradab, setara, keharmonisan di atas kepentingan dirinya, kelompoknya  - di atas pondasi nilai-nilai tradisi yang berlaku di daerahnya. Budaya dan Kebudayaan Simalungun itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal, Pancasila,  UUD 45 dan NKRI.
Bukti-bukti relevansinya dapat kita temukan pada ungkapan-ungkapan khas halak Simalungun, pada kearifan lokalnya, tradisinya – yang telah merekam cara halak Simalungun berinteraksi dengan sesama dan alam lingkungannya. Parameternya adalah adanya nilai: kebersamaan, kesetaraan, kejujuran, kerendahan hati, ketulusan, kedermawanan, keharmonisan, ketenangan, kemurahhatian, cintakasih dalam budaya dan kebudayaannya – yang tergambar dalam sifat kegotongroyongan – Sapangambei Manoktok Hitei (silahkan kunjungi:http://simalungunonline.com/lembaga-tolu-sahundulan-lima-saodoran.html dan http://simalungunonline.com/hita-do-sijolom-suhul-ni-piso.html )
Lalu, berada pada kondisi ‘ahap’ – ‘state’ ahap, berarti sifat-sifat hewani yang mau menang sendiri itu telah ditinggalkan. Dalam hubungan sosial kemasyarakatan suku Simalungun nilai kesetaraan, kebersamaan, keharmonisan merupakan Orientasi Tertinggi yang harus diutamakan, dituju, diperhatikan.
Manusia – jolma na Mar-ahap Simalungun berarti ia telah berbadan dan berjiwa manusia. Bukan berbadan manusia tetapi jiwanya masih hewani. Mar-ahap berarti, pikiran kita jernih, tidak buram, tidak serakah, tidak egois, tidak ekstrim, tidak menganggap diri paling benar. Inilah pertanda telah mar-ahapAgamaku tidak lebih baik dari agama anda. Margaku tidak lebih baik dari marga anda. Kampungku tidak lebih baik dari kampung anda. Sukuku tidak lebih baik dari suku anda dll.. Inilah pemahaman saya jika sudah mar-ahap. Bahkan ahap ini pun pastilah dikenal di suku-suku tetangga, tentu dengan bentuk kata yang berbeda, namun jelas maksud dan pengertiannya masih beresensi sama.
Selanjutnya, masih menurut pemahaman pribadi saya, jika kita kaitkan dengan pemahaman Kundalini Yoga, seseorang yang telah mar-ahap berarti ia tengah mengakses cakra ke-4 hingga ke-7. Artinya adalah, seseorang yang MAR-AHAP adalah ia yang telah melampaui kehewanian dirinya, pikirannya telah jernih, ia telah berbudhi.  Kesadarannya sudah pada kesadaran Kasih. Hanya kesadaran Kasih yang bisa membersihkan insting hewani.
Mari kita kutip ungkapan yang pernah disampaikan para pendahulu kita halak Simalungun:
Sin Raya Sini Purba, Sin Dolog Sini Panei
Naija pe lang mahua, asal ma marholong atei
 *(Tak pandang asal usul yang terpenting adalah Kasih. Perbedaaan akan dipersatukan oleh Kasih. Sesungguhnya semua kehidupan yang memiliki bentuk beragam dan ekspresi hidup yang beragam memiliki esensi yang satu adanya. Kita hidup dalam kolam energi yang satu – Habonaron do Bona).
Setelah melewati sejarah panjang, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), semestinya masyarakat Simalungun sebagai Sipukkah Huta tidak lagi tertular dengan pembicaraan virus-virus perpecahan yang berasal dari dogma agama, kepentingan suatu marga, sejarah kelam, dendam, kepentingan suatu kelompok dll.. Namun berdasarkan kesadaran ahap Simalungun.Tetapi halak Simalungun telah satu dan dipersatukan oleh Ahap – Holong Ni Atei. Yang ada hanyalah Keluarga Besar Simalungun. Hita Sipukkah Huta, Hita Simalungun sada ibagas Ahap.
Selesai sudah segala perbedaan dan trauma itu. Mari kita bakar habis segala trauma, sifat negatif yang memperlambat perjalanan kita. Zaman menuntut Keluarga Besar Sipukkah Huta tampil ke depan untuk menjaga kedamaian, Cinta dan keharmonisan di atas Pertibinya. Saatnya Keluarga Besar Sipukkah Huta – Sa-Ahap Simalungun, memerangi ketamakan yang mengeksploitasi alamnya tanpa rasa tanggungjawab, korupsi, amnesia jati dirinya, amnesia sejarahnya, ketidakpedulian terhadap alamnya. Saatnya Bangkit dan Bersatu!!!
Ahap Simalungun: Kata Kerja, Bergerak, Dinamis
Ahap Simalungun bukanlah ‘keadaan’ yang statis, diam atau apatis. Kesadaran akan Ahap Simalungun ini merupakan takdir untuk berbuat demi kemanusiaan di atas Pertibinya. Rasa Kekeluargaan sebagai Keluarga Besar Simalungun merupakan suatu modal besar untuk mewujudkan keadilan sosial, kemakmuran, persatuan dan kesatuan berdasarkan kesadaran spiritual.
Budaya dan kebudayaan adalah demi kemanusiaan. Ketika negatifitas; ketamakan, keegoisan, radikalisme, korupsi, arogansi kelompok, ketidakpedulian sesama dan terhadap lingkungan semakin kental dan menyesakkan, saatnya gelombang dahsyat Ahap Simalungun itu membersihkannya, memperbaikinya. Setiap Halak Simalungun memiliki tanggung jawab moral untuk menjunjung tinggi martabat Keluarga Besar Simalungun. Setiap pikiran, ucapan dan tindakan yang tidak berdasarkan ha-bonaran, hati nurani harus ditinggalkan.
Jangan pula demi kedudukan, kepentingan kelompok dan keluarga atau jabatan politik, ha-bonaran dan hati nurani kita ingkari, manipulasi. Orang seperti itu tak patut di sebut Bagian Keluarga Besar Simalungun. Memperjuangkan atau berani mewakili nama besar Keluarga Simalungun, namun berlaku curang, munafik, memanipulasi unsur-unsur Hasimalungunon, mereka tidak pantas di sebut warga Simalungun. Mereka belum Mar-ahap Simalungun. Mereka hanyalah pedagang yang tak punya nurani – Holong Ni Atei.
 Ahap Simalungun sebuah Totalitas
 Ahap Simalungun Adalah sebuah totalitas.  Masih ingat ungkapan umum ini, Jangan lakukan hal yang tidak kamu inginkan kepada orang lain, jika kamu sendiri tidak ingin diperlakukan dengan hal yang sama…”  Lao Tse dan Yesus mengatakan demikian. Inilah keintegritasan. Totalitas. Antara pikiran, ucapan, perbuatan telah sinkron – selaras. Tidak ada kemunafikan. Artinya Ahap Simalungun adalah sebuah integritas, ketotalan sebuah pribadi yang utuh. Perlu kerja keras untuk mempertahankannya, karena pasang surut emosi, dan keinginan indra akan selalu mencobainya. Maka waspadalah.
Mari kita pinjam dulu falsafah tetangga kita dari tanah Jawa tentang perlunya keutuhan Cipta, Rasa dan KarsaCipta berarti pikiran yang jernih, fokus, berdaya. Rasa adalah kehalusan budhi, sifat kemanusiaan yang universal itu, keindahan yang berasal dari dalam diri. Lalu Karsa adalah perbuatan yang tepat yang berorientasi kepada kemanusiaan itu, kemuliaan manusia itu sendiri. Artinya apa?
Segenap hasil dari Cipta, Rasa dan Karsa merupakan ‘alat’ untuk menciptakan surga di bumi, keharmonisan di bumi tanpa mengorbankan nilai-nilai universal yang spiritual tersebut. Bisa diartikan pembangunan adalah untuk memanusiakan manusia. Lalu ketika semua hal hasil peradaban itu nyatanya malah mengkerdilkan manusia berarti ada yang salah. Ini bukan sebuah totalitas. Jadi Ahap Simalungun adalah untuk memanusiakan manusia.
Dalam Ahap Simalungun juga terkandung kebijaksanaan dan kebajikan untuk saling asih(mengasihi)asuh (mengasuh) dan asah (mengasah). Mungkin dalam bahasa Simalungun kurang lebih bermakna: marsihaholongan, marsianju-anjuan, marsitagam-tagaman.
Inilah yang disebut totalitas itu. Yang kuat memberdayakan yang lemah. Yang lemah mau diajari, ditolong. Ada usaha bersama, ini bukan demokrasi. Namun inilah hakekat kegotong-royongan itu. Bahwa Ahap Simalungun mengindikasikan adanya gelar usaha, upaya bersama saling memberdayakan, saling menolong, saling membuka diri demi kebahagian bersama, kemuliaan bersama.
 Demikianlah secara ringkas hasil perenungan saya.
Semoga Ahap Simalungun (Sauhur Simalungun) ini mendirikan yang terduduk, memapah yang lemah, membangunkan yang tertidur, menghibur yang berduka, membakar kegelisahan di hati, mengingatkan yang tamak, demi kebersamaan menuju masyarakat yang sadar.
Dunia ini cukup luas dan kaya untuk kebahagiaan kita bersama. Dunia ini hanyalah persinggahan sementara, warisan dari anak cucuk kita.
Salam. Diatetupa ma. Mohon maaf kalau ada salah kata.
(Pemahaman ini akan tetap saya perbaharui sesuai dengan perkembangan batin saya).
Hita Sipukkah Huta, Sa-Ahap ma hita! 

Tutur Manorus


“PARTUTURAN NI SIMALUGUN”

Oleh Horaston Girsang

Di Tulis Ulang dari BUKU ADAT NI SIMALUNGUN na isusun PRESIDIUM PARTUHA MAUJANA SIMALUNGUN thn 2002.

Anggo bantta Simalungun, tutur do patugahkon pardohor atap pardaohni partaliani pardiha”on (kekeluargaan) Partuturan ni SIMALUNGUN Boido ibagi hita jd piga” grup. Napatugahma ijon sonaha ragam ni partuturan aima : A. TUTUR MANORUS (tutur langsung)
  • OMPUNG§ BAPA
  • INANG
  • ABANG
  • ANGGI§ BOTOU
  • AMBORU
  • MAKKELA
  • TULANG§ ANTURANG
  • PARUMAEN§ NASIBESAN
  • HELA
  • GAWEI / EDA
  • LAWEI
  • BOTOU BANUA
  • PAHOMPU
  • NONO
  • NINI
  • SIMA-SIMA
  • SIMINIK
On ma na isobut TUTUR MANORUS.
  1. ANTURANG (nantulang) = Istri dari tulang, istri dri saudaranya tulang, ibu dari besan (mertua dri saudara laki” istri kita)
  2.  PARUMAEN = Menantu perempuan, menantunya sepupu kita, anak perempuan dari saudara laki” istri kita, namboru dan makkela juga marparumaenya sama istri kita.
  3. NASIBESAN = istri dari saudara laki” istri kita dan istri sepupunya. Kalau anda perempuan maka NASIBESANNYA adalah suami dari saudara perempuan suami kita.
  4. HELA = menantu laki” kita
  5. GAWEI = EDA, antar perempuan : anak perempuan dari namboru, istri dr anak laki namboru. Istri dr saudara laki” kita dan sebaliknya.
  6. LAWEI = LAE antar laki” sama halnya dgn Gawei.
  7. PAHOMPU = cucu
  8. NONO = Cucunya anak kita, ada juga beberapa tempat di SIMALUNGUN menyebut cucunya anak perempuan kta.
  9. NINI = Kebalitan dari NONO.
  10. SIMA-SIMA = anak dari nono maupun nini.
  11. SIMINIK = semua generasi keturunan yang dibawah SIMA-SIMA. Ini kebanyakan dipakai hanya dgn SECARA RELIGIUS.
B.TUTUR HOLMOUAN (KELOMPOK)
Napatorang ma use baua jujurni tutur ibagas na mardiha-diha. Humbani tutur Holmouan on do taridah sonaha TURPANI / SORGIHNI padalan ni adat itongah jabu ni hita SIMALUNGUN, Aima :
  • OMPUNG NINI
  • OMPUNG MARTINODOHON
  • OMPUNG DALAHI
  • BAPA TUA
  • BAPA GODANG
  • INANG TUA / GODANG
  • BAPA TONGAH
  • BAPAGIAN
  • SANINA SAPANGANONKON
  • SAPANGANONKON
  • PARIBAN
  • TONDONG BOLON / JABU
  • TONDONG PAMUPUS
  • TONDONG BONA
  • TONDONG MATA NI ARI
  • TONDONG NI TONDONG
  • TONDONG MANGIHUT
  • ANAK BORU JABU
  • PANOGOLAN
  • BORU AMPUAN
  • ANAK BORU MINTORI
  • ANAK BORU MANGIHUT
  • ANAK BORU SANINA
On ma haganup Turpani tutur HOLMOUAN (KELOMPOK)
  1. SANINA SAPANGANONKON = sepupu dari bapa / ibu / ompung Kita dan yang satu marga dgn kita.
  2. SAPANGANONKON = Tulangnya menantu kita, sepupunya ibu kita.
  3. PARIBAN = sepupu perempuan istri kita# TONDONG BOLON/JABU = orang tua dan saudara laki”nya istri kita
  4. TONDONG PAMUPUS = saudara laki”nya ibu kita
  5. TONDONG BONA = saudara laki”nya nenek kita (pamupus ni bapa kita)
  6. TONDONG MATA NI ARI = namamupus ompung diri (tulang ni ompung)
  7. TONDONG NI TONDONG = Saudara laki”nya mertua perempuan kita (tulangnya istri kita)
  8. TONDONG MANGIHUT = Kel.dari menantu perempuan kita, kel.dari istri saudara laki” bapa kita dan kel.dari istri sepupu laki” kita. Ada yg menyebut dgn TONDONG RIAP.
  9. ANAK BORU JABU = Makkela diri na dob irajahon biasani makkela sikahanan, on ma ihut”an ni sagala boru. Sipartanggung jawab, ibani sagala horja adat malas niuhur barang pusok niuhur. Ado g do namanobut ANAK BORU SIHABOLONAN
  10. PANOGOLAN = anak laki” dan perempuan dari saudara perempuan kita.
  11. ANAK BORU AMPUAN = Suami dari boru kita (marga na legan humbani boru diri)
  12. ANAK BORU MINTORI = anak perempuan / suami dari saudari perempuan kita.
  13. ANAK BORU MANGIHUT = Lawei mangihut botou atappe boru marhalahon ni sanina marhalahon ni inang
  14. ANAK BORU SANINA = Anak boru mintori na samargahon pakon diri. Janah adong do homa na manobut ABS on GAMOT. Tugas pakon fungsi ni ABS boi gabe sanina, boi homa gabe boru. Na bikkat jd ABS humbani tutur sanina atappe sapanganonkon diri, anggo lang dong behumbani sibiak boru (nabijak marsahap ampa mangatur)
On ma haganup turpani tutur manorus pakon hatoranganni. Sangaja do nadeba lang iubah hanami hu bahasa indonesia halani mabiar hanami salah mangartihon. Marlanjut ope use bani panorang nalaho roh halani dongpe sada bagian nari (TUTUR NA TIPAK atappe PARTUTURAN KEHORMATAN)
C. TUTUR NATIPAK ( PARTUTURAN KEHORMATAN)
Anggo na tangar marsahapi samah sidea gatih do natangar tutur manggantihon goranni, tutur natipak (orang kedua) lang pantas igorani be goranni napirnasahapkon ai, isarani :
  1. MAR-KAHA= Panggilan kita buat istri abang kita, istri abang sepupu, sapanganonkon diri siabangan. Kalau kita perempuan MARKAHAnya kita sama suami dari anak perempuan dari kakak ibu kita (suami kakak sepupu)
  2. MAR-NASIKAHA = Istri kita ke abang kita, abang sepupu, Sapanganonkon, semua abang menurut tutur (adat)
  3. MAR-NASIANGGIKU => Semua istri dari tutuq adek kita.
  4. MAR-ANGGI => kita (perempuan) ke suami dari adek kita perempuan
  5. MAR-HAM => Kita ke orang yg lebih tua dari kita, orang yg belum kita tau jelas partuturan kita dan kepada orang yg kira” seumuran dgn kita.
  6. MAR-HANDIAN => Hampir sama dgn MARHAM pemakaiannya dan pemakaiannya lebih luas lagi artinya. Di daerah BANDAR Boleh juga dipakai kepada perempuan.
  7. MAR-DOSAN => Dipakai perempuan (ibu pengasuh, dayang” atappe puan”) ke sesamanya yang sudah lansia.
  8. MAR-ANAHA => Dipakai puan” kepada laki” muda atau Garama.
  9. MAR-KAKAK => Antara perempuan ke perempuan ke yg lebih tua darinya.
  10. MAR-AMBIA => Sesama laki” ke orang yg sama umurnya atau ke lebih muda dari kita.
  11. MAR-HO => kepada saudara kandung yg dibawah umur kita. Dibeberapa daerah sekarang ini ada yg menyebut ke istrinya.
  12. MAR-HANIMA => sobutan bani binuat diri (agak kasar) atap bani sitoruhan umur ni hun diri (lobih hun bani sahalak), atappe hubani botou diri.
  13. MAR-NASIAM => Sebutan kepada orang yg umurnya diatas kita (lebih dari satu org)
  14. MAR-AKKORA => Sebutan org tua kepada yg lebih muda yg dekat hubungan familynya (tuturnya)
  15. MAR-ABANG => Kepada abang kita dan org yg lebih tua dari kita.
  16. MAR-TUAN => Bani sijolom huta sapari atappe bani haturunan ni raja anggo songon sapari.
  17. MAR-BORU TULANG => org yang menikah dgn boru tulangnya.
  18. MAR-SIBURSOG => Panggilan kepada anak yg baru lahir kalau dia laki-laki.
  19. MAR-SITATAP => Panggilan kepada anak yang baru lahir kalau dia perempuan.
  20. MAR-PANG / PAN PAN NANG / NAN => Partigoranan bani nadob dong tubuh niombah ni, isarani anggo tubuh anakni sikahanan atap dalahi porini, i baen goranni si Goldo. Pang Goldo ma bapa, nan-Goldo ma panggorananni bani inang.
  21. MAR-BAYA => panggilan perempuan yg sama umurnya(sebaya) atau lebih muda dari kita.
Inilah semua sebutan (PARTUTURAN SIMALUNGUN) Menurut adat SIMALUNGUN,
“LOBEI NITOKTOK BAKKAR, RIGAPAN NI PARDALAN-DALAN. LOBEI NASUNGKUN MARGA, ASE NABOTOH PARTUTURAN”

SAPANGAMBAI MANOKTOK HITEI


(Sebuah opini dari Neo Simalungun Jaya)


Saya menerjemahkan ‘motto’ atau pesa kearifan ini sebagai berikut: “Bergotong-royong mewujudkan tujuan mulia.”
Menurut saya dalam kata gotong-royong ini telah mencerminkan spirit ‘kesadaran diri’ sebuah komunitas masyarakat. Pedoman prilaku mereka, adat – sistem kemasyarakatannya, tradisi, dan semua hasil karsa, karya mereka telah mencerminkan ‘kesadaran’ diri.
‘Masyarakat tercerahkan’ memiliki sifat, ciri; bergotong-royong. Dalam masyarakat yang tercerahkan, mereka bergotong-royong karena ‘Penataan Diri”, “Pemberdayaan Diri” mereka telah berhasil. Keberhasilan akan pengenalan jati diri akan terlihat dari tutur kata, dan perbuatan.
Tata Diri ini merupakan ‘jalan’ untuk mengenli segenap potensi diri beserta segala teknologi yang mempermudah untuk mencapainya. Para leluhur kita mengerti betul akan kenyataan ini. Maka mereka merancang banyak berbagai tradisi untuk membantu masyarakatnya untuk mengenali jati dirinya terlebih dahulu – terutama atau yang UTAMA – baru setelah itu dengan sendirinya masyarakat itu akan sadar dengan sendirinya. Tak perlu peraturan yang demikian banyak dan detil untuk mengatur mereka. ini bedanya! Semakin sadar suatu masyarakat, peraturan mereka tidakdetil dan njilimet.
Jadi, Tata Diri adalah upaya awal dan utama, baru setelah itu sistem kemasyarakatan dibenahi. Hal ini akan lebih mudah tentunya.
Seperti kita tahu, leluhur kita sudah mengetahui hubungan manusia dengan alam sekitarnya – termasuk dunia hewan, dengan Ia Hyang Tunggal tidak bisa dipisah-pisahkan. Semua satu dan menyatukan. Semua hal yang terlihat berbeda itu sesungguhnya disatukan oleh Ia Hyang Tunggal itu.
Lalu, tujuan mulia. Apa maksudnya?


Tujuan mulia, berarti tujuan itu mencerminkan kemulian diri – umat manusia. Kemuliaan tentu berbeda dengan kesenangan semu. Kemulian berarti selaras dengan alam dan hukum alam serta sesuai dengan nilai-nilai universal kemanusiaan. (baca tulisan sebelumnya Siparutang Do Ahu Bani Simalungun, yang menjelaskan 5 hutang yang dimiliki manusia sejal lahir).
Jadi ketika kata Gotong-royong ketika dipadukan dengan kemuliaan – tujuan yang mulia, pastilah bermakna keselarasan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal – kesetaraan, keadilan, kebahagiaan, cinta, dan kasih. Setiap tujuan yang hendak dicapai itu pastilah demi kemuliaan sekelompok manusia yang jelas-jelas tidak merugikan sekelompok manusia lainnya. Jadi kemuliaan itu berlaku universal.
Lalu bergotong-royong untuk memanipulasi orang lain tepatkah? Korupsi kolektif dapat disebut bentuk gotong royong kah? Dapatkah kita bergototong royong hanya demi kesenangan kelompok kita saja? Marga kita saja? Tidak. Tujuan seperti itu tidak memulian diri.


Silahkan meninggikan derajat diri sendiri tanpa perlu merendahkan pihak orang lain. Tetap hormati orang lain. Ini perlu kita renungkan. Artinya kebenaran itu universal.
Mari membangun nagari kita tanpa perlu merendahkan manusia lainnya. Atau manusia mana pun itu nilai kemuliaan ini perlu dikedepankan. Jangan pula berencana meninggikan kelompok sendiri, kepentingan kelompok sendiri dengan mengangkangi hak dan kewajiban ‘mereka’ yang kita sebut pewarih hukum adat suatu wilayah.
Tujuan dari opini saya ini adalah, betapa dalam motto, falsafah; Sapangambei Manoktok Hitei – Bergotong-royong Mewujudkan Tujuan Mulia, sangat sarat akan ajaran spiritual, dalam dan mencerahkan. Artinya alam upaya mewujudkan tujuan ‘mulia kita’, orang-orang di sekitar kita pun merasakan manfaatnya, alam di sekitar kita pun terlindungi, lestari. Jadi tak ada unsur manipulasi, eksploitasi, kemunafikan, keserakahan. Kemuliaan itu tak bisa dimanipulasi. Memuliakan diri berarti memuliakan orang lain – inilah hakekat Budaya sejati.

Jadi, marilah kita bergotong-royong mewujudkan tujuan mulia demi kebahagiaan semua umat manusia. Inilah falsafah halak Simalungun. Lahir secara kontekstual, murni, khas Simalungun namun bersifat mendunia pula. Hmm… Sapangambei manoktok hitei.
(NSJ/dep)