HABONARON DO BONA (bagian 1)
Oleh : David EP
Horas
Sejak kecil kalimat ini selalu bergema dalam hati. Telah menjadi ciri Halak Simalungun, halak hita sering mengutipnya dalam percakapan dan tulisan. Kemudian kita menganggapnya sebagai falsafah Suku Simalungun. Bahkan Logo Pemda Simalungun juga menjadikannya sebagai motto. Bukan hanya itu, berbagai organisasi massa, kepemudaan, geraja juga menggunakannya. Berarti falsafah Habonaron Do Bona itu dapat mewakili jati diri kolektif Halak Simalungun. Apakah benar demikian? Apa sih makna yang terkandung di dalamnya?
Habonaron Do Bona!
Mudah mengartikan falsafah ini berdasarkan arti yang tersirat. Habonaron misalnya diartikan sebagai kebenaran, Tuhan. Bona berarti pangkal, sumber, asal, hulu, inti. Jadi bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih bermakna Dari-Nya lah kita berasal. Tuhan adalah sumber segala sesuatu. Semua ini adalah ciptaanNya, milikNya.
Apakah sesederhana itu maknanya? Apakah ada makna yang sersirat? Mudah bagi kita yang memiliki latar belakang agama dan keyakinan tertentu untuk mengartikan Habonaron itu menjadi Kebenaran, Tuhan. Namun jika kita jujur hendak menafsirkannya berdasarkan teologi agama dan keyakianan yang dimiliki Halak Simalungun, apakah itu Parhabonaron, Agama Kristen Protestan, Katolik, dan Islam, pastilah “kata” Habonaron itu akan diterjemahkan sebagai Tuhan menurut pemahaman mereka.
Sementara ada golongan agama yang masih bersikeras Tuhan setiap agama itu beda. Terserah! Ini pendapat mereka. Sedikit yang mengakui bahwa memang benar Tuhan itu satu adanya. Ada yang keberatan jika semua agama itu disejajarkan sama-sama benar. Kelompok itu ada! Namun ada juga yang mengatakan memang agama itu “jalan yang berbeda” namun tujuannya sama yakni Tuhan Yang Maha Esa.
Baiklah kita tinggalkan dahulu masalah teologi ini. Padahal Pancasila sudah mengantisipasi hal seperti ini. Jangan kira tokoh angkatan 45 tidak mengetahui sejarah dunia, sejarah agama-agama yang memiliki catatan berdarah, baik antar agama maupun dalam tubuh interennya. Pancasila malah bergerak maju untuk mengantisipasi adanya kelompok non-apresiatif tersebut – radikalisme. Sehingga Negara kita menawarkan falsafah, sila pertama untuk mengantisipasi kelompok yang merasa benar sendiri tersebut. Bahwa “Ketuhanan (kata sifat) itu esa. Artinya sifat-sifat Tuhan itu universal adanya. Jika setiap pemeluk agama menjadi religius, dengan sendirinya akan menghayati sifat-sifat Tuhan yang maha baik, kasih, pemurah, menolong, menghormati, dll. Mengutamakan sifat-sifat inilah yang penting dalam bentuk pikiran, ucapan dan tindakan. Kita tidak bisa membohongi orang dalam waktu lama.
Kembali kepada falsafah kita Habonaron Do Bona.
Saya berkeyakinan falsafah ini lahir sebelum agama SAMAWI iba atau bertandang ke Bhumi Simalungun. Hmm… Artinya leluhur Halak Simalungun sudah sampai pada kesadaran bahwa Manusia itu asalnya dari Tuhan Yang Tunggal. Setiap manusia yang terlahir di bumi ini merupakan ciptaanNya, berasal dariNya.
Menyadari hal ini aku bangga. Bangga pada leluhur. Bahwa falsafah ini tidak lahir dari seorang gembala yang sedang berada di atas punggung kerbau, atau pas memancing di sungai. Atau lahir atas perintah raja yang konon rakyatnya tak ada yang punya baju atau sandal. Bukan. Sekali lagi bukan.
Falsafah ini, saya yakin lahir dari hasil evolusi jiwa Halak Simalungun, lahir dari JIWA LUHUR. Lahir dari pencapaian Spiritual. Lahir dari HASIL OLAH RAGA, RASA, dan JIWA. Ketiga usaha ini, sekarang dinamakan SENI MEMBERDAYA DIRI. Karena leluhur kita telah menemukan cara untuk mensinergikan diri dengan yang Ilahi, sudah selaras, Eling, sudah Berkesadaran. Aku Bangga Jadi Orang Simalungun. Kenapa?
Karena leluhur kita telah mencapai tingkat kesadaran yang tinggi. Bahwa kesadaran itu disokong, berkembang di atas lahan Peradaban, Kebudayaan yang sudah tinggi. Dan saya berani menyimpulkan (maaf ya, saya harus berterus terang), bahwa mereka adalah praktisi Yoga, Tantra. Pada Yoga dan Tantra terdapat disiplin bagaimana mematangkan evolusi jiwa, bagaimana membersihkan insting hewani, bagaimana menyelaraskan diri dengan alam dan lingkungan. Pendek kata mereka memiliki peradaban dan kebudayaan yang sudah tinggi. Yoga berarti terjadinya persatuan dengan Ia Yang Ilahi.
Eeist.. tunggu dulu. Dapatkah kita membayangkan bahwa nenek moyang kita adalah para manusia Hindu? O ya, Hindu itu berasal dari kata Sindhu, Sinthu, Sunda. Akar katanya sama, yang bermakna bahwa Hindu, Sindhu, Sinthu, Sunda adalah wilayah PERADABAN, KEBUDAYAAN yang sama. Wilayah ini dibagi dua oleh sungai Sindu yang ada di India sekarang hingga Nusantara/Dvipantara.
Berita gembiranya, Orang Nusantara tidak pernah mengimpor keyakinan/agama dari India. Karena budaya dan keyakinan kita sama. Bahkan dengan orang-orang China.
Persebaran kebudayaan itu justru dari Dvipantara (Peneliti menyebutnya Atlantis/Atlantean). Sebagai contoh, sewaktu pusat Peradaban berada di sekitar Danau Toba sekarang – lebih kurang 75.000 lalu, dan ketika Gunung Toba, Meru meletus, maka orang-orang melarkan diri ke Mesir. Di sana, untuk mengenang Gunung Toba, mereka mendirikan Piramid. Mereka memiliki trauma kepada “tsunami”, karena waktu Gunung Toba meletus, wilayah Dvipantara yang menyatu (belum ada laut utara Jawa), jadi merupakan wilayah yang luas membentang.
Periode berikutnya adalah sewaktu pusat peradaban berada pada Gunung Dempo (Moyang Krakatau) di selat Sunda. Masa inilah (12.000 tahun lalu) yang disebut masa Atlantis. Saat itu Gunung Dempo, mendatangkan air Bah (Tsunami), dan orang-orang Atlantean/Sunda migrasi lagi ke berbagai negeri, termasuk ke Yunani, atau ke India.
Makanya tak heran banyak nama yang kembar antara Indonesia dan India.
Mari kita kembali ke Simalungun. Jadi nenek moyang kita tidak lahir atau timbul pada tahun 1200-an, bukan. Jika ingat kembali kisah penciptaan dan kelahiran manusia pertama versi tradisi kita (Hindu) dan yang masih bertahan di kampong kita maka akan mirip.
Kisah itu metafor. Tolong jangan ditafsirkan secara buta. Misal kita ambil kisah dari Toba, Si Boru Deak Parujar – feminim, adalah putri dari Betara Guru/Siva, yang menolak dinikahkan dengan putra Brahma yang Buruk Rupa. Maka ia turun ke benua/wanua bawah. Singkat cerita Ia meminta segenggam tanah ke Bapaknya-Siva. Maka jadilah BUMI.
Ini kisah metafor. Jika dirunut mulai Brahma yang sekarang menciptakan Bumi, maka Bumi telah berusia jutaan tahun.
Lalu mari memperhatikan Kisah Si Boru Deak Parujar yang dihubungkan dengan Si Raja Batak, lalu yang menurunkan marga-marga di tanah Batak ya, tidak klop/pas. Menafsirkan pohon silsilah “Orang Batak” harus berdasarkan tafsir BUDAYA. Tidak Politis. Tidak akan sinkron, klop, atau cocok, senantiasa ada friksi.
Kembali ke falsafah Habonaron Do Bona. Falsafah ini similar dengan falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Terlihat banyak, beragam, tetapi disatukan inti kehidupan yang sama. Terlihat banyak jalan yang memuja Tuhan, tetapi tujuannya SAMA.
Jadi lahirnya falsafah Habonaron Do Bona adalah berasal dari KESADARAN. Tidak ada lagi debat teologi di sana. Sudah FINAL.
Kalau masih berkutat pada teologinya, ya silahkan saja. Kami Halak Simalungun sudah mencapai Kesadaran yang Tinggi. Tinggal orang/halak Simalungun sekarang mau atau tidak menyegarkan kembali ingatannya.
Dalam falsafah Habonaran Do Bona, manusia Simalungun sudah menyadari kesatuan antara dunia tetumbuhan/hewan, manusia dan alam devata. Tidak ada lagi sekat-sekat. Di mana mana Tuhan itu ada. Di luar dan didalam diri mahkluk, Ia Maha melingkupi, Maha meresapi. Jadi tidak ada tempat dimana Ia tidak ada. Di Barat, Timur, Utara, Selatan, bawah, atas, semua Ia bertahta. Bahkan Ia lebih besar dan Semesta.
Inilah pemahaman saya.
Kurang lebih maaf jika ada kata atau kalimat yang berkenan.
Nilai-Nilai Luhur dalam Ajaran Habonaron Do Bona (Bagian ke-2)
Salah satu kepercayaan asli yang masih mempunyai masyarakat pendukung di daerah Sumatera diantaranya adalah kepercayaan Habonaron Do Dona. Pendukung ajaran Habonaron Do Bona pada umumnya adalah masyarakat Simalungun yang juga dikenal dengan Halak Timur. Masyarakat Simalungun merupakan salah satu dari enam subsuku bangsa Batak yang secara geografis mendiami daerah induk Simalungun. Ajaran Habonaron Do Bona bersatu padu dengan adat budaya Simalungun atau Adat Timur, sebagai tata tuntunan laku dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dalam menyembah Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai-nilai luhur dalam kepercayaan Habonaron Do Bona terkandung dalam ajarannya, seperti ajaran tentang: Ketuhanan, manusia, alam serta ajaran-ajaran yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesamanya dan alam semesta. Di bawah ini secara singkat ajaran-ajaran dari kepercayaan Habonaron Do Bona.
Ajaran tentang Tuhan, Manusia dan Alam
Menurut kepercayaan Habonaron Do Bona, Tuhan Yang Maha Esa adalah awal dari segala sesuatu yang ada. Tuhan Yang Maha Esa disebut sebagai Naibata. Naibata adalah satu (sada) dan Maha Kuasa (Namar Kuasa/Namar Huasa). Karena Naibata adalah awal dari segala sesuatu yang ada, maka dunia beserta seluruh isinya adalah ciptaan-Nya. Sebagai Sang Pencipta, Naibata juga menjadi pembimbing, pemelihara dan penyelamat bagi semua makhluk ciptaan-Nya. Masyarakat pendukung kepercayaan Habonaron Do Bona menghormati leluhur yang disebut Simagot, Begu Jabu, Tua-Tua atau Bitara Guru. Menurut Habonaron Do Bona, leluhur adalah penghubung untuk menyampaikan titah Tuhan Yang Maha Esa kepada orang-orang tertentu yang berlangsung secara manunggal terhadap keturunan yang disukainya.
Sehubungan dengan hal tersebut maka kekuasaan Tuhan adalah tidak ada batasnya dan Tuhan bisa melimpahkan sebagian kekuasaan-Nya kepada orang-orang suci yang bersih lahir dan batinnya, kepada roh leluhur dan kepada keramat-keramat. Karena kekuasaan-Nya itu pula, maka banyak sebutan untuk Tuhan Yang Maha Esa, seperti: Namar Huasa (Tuhan Yang Maha Kuasa), Namam Botoh atau Ne Pentar (Tuhan Yang Tau), Pernolong (Tuhan Maha Pengasih), Pangarak-arak (Tuhan Maha Penuntun), Bona Habonaron (Tuhan Sumber Kebenaran) dan masih banyak sebutan lainnya.
Kemudian ajaran Habonaron Do Bona tentang manusia mengatakan bahwa manusia adalah diciptakan oleh Tuhan yang terdiri dari laki-laki (dalahi) dan perempuan (daboru/naboru). Sejak diciptakan, manusia telah dilengkapi dengan roh. Perkembangan manusia selanjutnya adalah karena di samping kehendak manusia itu sendiri juga atas sabda Tuhan. Kematian yang dialami oleh manusia terjadi ketika roh berpisah dengan badan selamanya. Roh kemudian hidup kekal di suatu alam kehidupan bersama Tuhan Yang Maha Esa. Roh manusia yang masih hidup disebut sebagai tondi, sedangkan manusia yang sudah mati rohnya disebut sumagot.
Selanjutnya ajaran Habonaron Do Bona tentang alam mengatakan bahwa alam adalah ciptaan Tuhan. Alam memiliki kekuatan-kekuatan. Dalam alam ini penuh dengan kekuatan-kekuatan gaib, yaitu kekuatan yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa maupun dari arwah leluhur. Bencana Banjir (halonglongan), gampa bumi (sohul-sohul), angin ribut (aliogo doras), petir (porhas), kegagalan panen, wabah penyakit dan bahkan tidak mendapat keturunan pun adalah merupakan perwujudan dari kekuatan gaib Tuhan dan leluhur, yang diperkenakan kepada alam dan manusia.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi, mempunyai tugas dan kewajibannya, baik terhadap Tuhan, sesama maupun terhadap alam sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Tugas dan Kewajiban Manusia
Sebagai konsekuensi bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan, maka manusia mempunyai kewajiban dalam hidup di dunia ini baik tugas dan kewajiban terhadap Tuhan, sesamanya maupun terhadap alam. Demikian ajaran Habonaron Do Bona.
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa warga Habonaron Do Bona wajib untuk selalu ingat kepada-Nya dan setiap hari menyembah kepada-Nya. Pada bulan besar (bittang baggal) wajib melaksanakan penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada leluhur. Di samping itu ajaran Habonaron Do Bona juga mewajibkan untuk menghormati dan menjiarahi makam leluhur (manembah Suamgot dan mengurus pandawanan na hanlobei).
Upacara menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak terpisahkan dengan upacara-upacara ritual adat. Warga Habonaron Do Bona mengenal bermacam-macam upacara seperti:
1. Upacara dauh hidup.
2. Upacara membongkar tulang belulang.
3. Upacara pesta tuan (Robu-robu/Harja Tuan), yaitu upacara berdoa kepada Tuhan dan kepada leluhur untuk memulai suatu usaha seperti kegiatan pertanian/bercocok tanam padi, agar memperoleh hasil yang memuaskan.
4. Upacara memasuki rumah baru.
5. Upacara menghormati roh leluhur pelindung desa (mambere tambunan/pagar parsakutuan).
6. Upacara menghormati roh suci penjaga desa.
7. Upacara menghormati keramat pelindung (mambere simumbah).
Di samping mempunyai tugas dan kewajiban terhadap Tuhan, manusia juga memiliki tugas dan kewajiban terhadap dirinya sendiri, seperti: jujur terhadap diri sendiri, harus ahu malu dan harus tahu diri.
Tugas dan kewajiban manusia terhadap sesamanya menurut ajaran Habonaron Do Bona ada dalam bentuk perintah-perintah dan larangan-larangan. Apabila perintah dan larangan tersebut dipatuhi dapat menjadikan ketenteraman dalam masyarakat. Perintah-perintah dan larangan tersebut, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Menghormati orang tua dan orang lain sesuai dengan tata krama tutur (hamat hubani urang tua oppa hasoman marihutkon turur).
2. Menghormati guru (hormat hubani guru/hormat hubani sibere ajar).
3. Membantu orang lain (manappati).
4. Tidak boleh membunuh sesama manusia, termasuk mengugurkan kandungan.
5. Tidak boleh kimpoi semarga (ulang marboto-boto).
6. Tidak boleh membuat orang lain meneteskan air mata sampai “berwarna kuning” (ulang iaben manetek iluhni halak magorsing).
7. Tidak boleh meminta-minta (ulang tedek-tedek).
8. Tidak boleh menyusahkan orang lain (ulang manusahi).
9. Tidak boleh berbohong (ulang marguak).
10. Tidak boleh memaki orang lain (ulang manurai).
11. Tidak boleh membungakan uang (ulang makhilang).
12. Tidak boleh menipu dan mengkhianatai orang lain (ulang magoto otoi/ulang mangkhianat).
Tugas dan kewajiban manusia terhadap dan menurut ajaran Habonaron Do Bona ialah bahwa manusia tidak boleh membunuh tumbuhan dan hewan liar secara sembarangan karena perbuatan ini dapat merusak alam (ulang massedai). Alam harus dijaga kelestariannya karena alam memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan manusia.
Rasa syukur dan permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berhubungan dengan alam, misalnya dalam berbagai upacara yang dilakukan dalam kegiatan pertanian, dimaksudkan agar alam bersahabat dengan manusia dan memberikan hasil yang memuaskan. Upacara-upacara tersebut diantaranya adalah robu buang boro (mendoakan agar padi jangan diserang hama), membere eme (mendoakan saat padi sedang bunting), memutik (mendoakan saat padi sudah menguning), menutup panjang (mendoakan saat padi sudah terkumpul pada suatu tempat) dan menutup hobon (mendoakan rasa syukur karena seluruh hasil panen telah terkumpul).
Demikian uraian singkat ajaran Habonaron Do Bona, yang merupakan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Ajaran Habonaron Do Bona merupakan nilai-nilai yang mampu membentuk pribadi manusia sehingga menjadi insan yang berbudi luhur.
Asal Muasal Habonaron Do Bona
Perihal kejujuran orang Simalungun berpedoman kepada falsafah hidup mereka yaitu Habonaron do Bona, Hajungkaton do Sapata” yang artinya segala sesuatu harus berpangkal dari yang benar. Orang yang tidak konsisten menjungjung tinggi falsafah ini diyakini akan mendapatkan hal-hal yang tidak baik. Falsafah ini juga berdampak pada pola pikir orang Simalungun yang sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Suatu keputusan barulah diambil setelah dipikiran masak-masak, dan sekali ia memutuskannya maka jarang ia menarik keputusannya itu. Sebagaimana dalam ungkapan Simalungun, “Parlobei idilat bibir ase marsahap, bijak mosor pinggol asal ulang mosor hata”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa orang Simalungun bukanlah tipikal manusia yang sembrono atau terburu-buru dalam mengambil dan menentukan sebuah kebijakan dan keputusan, seluruhnya harus dipikirkan masak-masak dan keputusan itu adalah tetap, artinya tidak akan pernah berubah lagi. Hal ini berdampak pada sikap orang Simalungun yang begitu lambat dalam menerima Injil.3 Disisi lain, falsafah itu berpengaruh kepada sikap dan tabiat orang Simalungun sehari-hari yang selalu dipenuhi ketakutan untuk berbuat kesalahan, lebih suka berserah kepada Ompung Naibata daripada mengadakan perlawanan yang spontan.4 Seperti ketika para pendatang membanjiri Tanah Simalungun setelah penandatanganan Perjanjian Pendek (Korte Verklaring) antara raja-raja Simalungun dengan pemerintahan Belanda, khususnya imigran Batak Toba, orang Simalungun memilih membuka lahan baru di Simalungun Atas yang tanahnya relatif kurang subur ketimbang terlibat konflik dengan para pendatang, sekalipun mereka sangat dirugikan oleh kedatangan para imigran itu.5
Pertanyaan yang tidak kalah penting untuk diketahui adalah darimanakah asal-muasal falsafah itu? Penulis sendiri menemukan dua sumber yang berbicara tentang asal muasal falsafah di atas.
Sumber pertama menyebut falsafah di atas ditegakkan oleh Tuan Sormaliat, yang berawal dari ditemukannya Bambu Bertulis sebanyak tujuh buah per batang; dimana bambu itu berisi tulisan dari ruas paling bawah hingga ke ruas atas yang berisi: penanggalan waktu (bulan, hari dan jam), ilmu pengobatan, ilmu nujum, ilmu pemanggil roh, dan lain-lain. Ia menemukannya di kerajaan Batang Toruh, tepat di dasar jurang tempat ia jatuh. Kemudian selama tujuh hari lamanya ia bertapa disana seraya menuliskannya kembali ke dalam “laklak ni hayu alim” (kulit kayu ulin).6 Pengetahuan yang ia peroleh dari Bambu Bertulis itulah yang kemudian ia pakai mengalahkan kekuatan musuh-musuh yang berusaha menganggu ketentraman manusia. Akhirnya ia menegakkan dan bersandar pada falsafah Habonaron do Bona serta mengajarkannya kepada masyarakat kerajaan Rahat Di Panei.7 Sumber kedua menyatakan bahwa seloka Habonaron Do Bona terdapat dalam Pustaka Simalungun kuno yang disebut Pustaha Parmungmung Bandar Syah Kuda yang bertarikh kira-kira abad XV ketika Simalungun masih bernama Harajaon Purba Deisa Na Ualuh. Dalam laklak itu dikisahkan bagaimana burung Nangordaha akhirnya memberikan keadilan (habonaron) kepada Sang Ma Jadi putra raja Purba Deisa Na Ualuh dengan cara membantunya dalam pertempuran antara Sang Ma Jadi dengan Raja Samidora (Samudera Pasai di Aceh). Ketika Nangordaha menukik hendak membunuh raja Samidora terdengarlah di langit ucapan “Habonaron do Bona” sebanyak tiga kali. Seloka itu kemudian ditetapkan sebagai lambang kabupaten Simalungun pada masa pemerintahan Bupati Radjamin Purba (1960-1970)
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1993. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1 D. Kenan Purba, SH & Drs. J.D. Purba, “Sejarah Simalungun”, (Jakarta: Bina Budaya Simalungun, 1995), hlm.6.
2 Walter Lempp, “Benih yang Tumbuh (12): Gereja Gereja di Sumatera Utara” (Jakarta, 1976) dalam buku Juanda Raya P. Dasuha & Martin Lukito Sinaga, “Tole! Den Timorlanden Das Evangelium!” (Pematangsiantar: Kolportase GKPS, 2003), hlm. 22.
3 Juanda Raya P. Dasuha & Martin Lukito Sinaga, “Tole! Den Timorlanden Das Evangelium!” (Pematangsiantar: Kolportase GKPS, 2003), hlm. 23.
4 Mansen Purba, “Simalungun Abad ke-19” dalam Ambilan pakon Barita GKPS No.137/September 1985, hlm.50.
5 Juanda Raya P. Dasuha & Martin Lukito Sinaga, “Tole! Den Timorlanden Das Evangelium!” (Pematangsiantar: Kolportase GKPS, 2003), hlm. 42.
6 Drs. Henry Guntur Tarigan, “Folklore Simalungun”, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), hlm 22
7 Ibid. hlm 58.
8 Juanda Raya P. Dasuha & Martin Lukito Sinaga, “Tole! Den Timorlanden Das Evangelium!” (Pematangsiantar: Kolportase GKPS, 2003), hlm 42 (diambil dari catatan kaki)
9 Ibid
10 Kosuke Koyama, “Tiada Gagang pada Salib”, (Jakarta: BPK GM, 1986),hlm. 4.
11 Kwok Pui-lan, “Discovering the Bible in the Non-Biblical World”, (New York: Orbis Book, 1995)
12 Hesselgrave David J, Theology and Mission, Baker Book House, 1976, Korean tras dari Jeon Ho-Jin, Seoul: Tyranus Press, 1986,p. 73. Diambil dari buku Suh Sung Min, “Injil dan Penyembahan Nenek Moyang”, (Yogyakarta: Media Presindo, 2001), hlm. 341.
13 Stephen.B. Bevans, “Model-Model Teologi Kontekstual”, (Flores: Ledalero, 2002), hlm. 41.
14 Martin Lukito Sinaga, “Identitas Poskolonial Gereja Suku dalam Masyarakat Sipil: Studi tentang J.Wismar Saragih dan Komunitas Kristen Simalungun”, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 54,
15 Jan. S. Aritonang, “Sejarah Pendidikan Kristen Di Tanah Batak”, pp. 452-454 dalam buku Suh Sung Min, “Injil dan Penyembahan Nenek Moyang”, (Yogyakarta: Media Presindo, 2001), hlm. 318-319.
16 Berdasarkan pengalaman penulis, bahwa banyak parhorja kuria (sintua maupun syamas) di GKPS X yang aktif martambar (berobat) maupun bertanya kepada ompung/kakek penulis selaku seorang namarpambotoh (datu).
17 Dalam buku Folklore Simalungun disebutkan bahwa ilmu yang diperoleh oleh Tuan Sormaliat diperoleh dari bambu bertulis. Sedangkan ilmu yang diperoleh oleh Herdin Purba adalah hasil turunan dari orang tua sebelumnya. Ilmu ini harus terus dilestraikan dengan cara menurunkannya kepada generasi berikutnya. Demikian seterusnya.
18 Drs. Henry Guntur Tarigan, “Folklore Simalungun”, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), hlm. 32. Penulis tidak tahu pasti apakah mantera diatas juga dipakai oleh Herdin Purba. Namun yang pasti, dalam hal-hal tertentu ia juga mengucapkan menteranya.
19 Dari pengalaman penulis; penjaga badan yang diberikan itu terbuat dari beras yang digongseng sampai berwarna hitam dengan rasa yang pahit. Kemudian beras ini ditumbuk sampai halus dan di beri mantera.
20 Drs. Henry Guntur Tarigan, “Folklore Simalungun”, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980), hlm. 36.
21 Ibid. hlm. 36-46.
22 Jan. S. Aritonang, “Sejarah Pendidikan Kristen Di Tanah Batak”, pp. 452-454 dalam buku Suh Sung Min, “Injil dan Penyembahan Nenek Moyang”, (Yogyakarta: Media Presindo, 2001), hlm. 319.
23 Ibid. hlm. 321-322.
24 Kosuke Koyama, “Tiada Gagang pada Salib”, (Jakarta: BPK GM, 1986), hlm. 79.