Oleh : Martin
Lukito Sinaga
Peristiwa Paskah
ternyata terkait erat dengan korupsi. Murid Yesus, Judas Iskariot, menerima
suap dari imam-imam kepala agar menyerahkan Yesus untuk didakwa bersalah
menghujat Allah.
Selanjutnya, Pontius Pilatus, penguasa Romawi untuk daerah
jajahan Palestina, bersama pemegang otoritas Yahudi bersekongkol menjatuhkan
hukuman untuk dakwaan tadi. Yesus pun dihukum mati dengan disalibkan seperti
umumnya penjahat.
Namun, peristiwa
Paskah adalah juga ikhtiar mengatasi korupsi. Apa yang terjadi pada Yesus
setelah penyalibannya mirip dengan peristiwa ketika orang ramai, crowded
multitude, dari berbagai bangsa (demikian catatan Kitab Keluaran 12: 38) bebas
dan menempuh eksodus keluar dari perbudakan di Mesir.
Peristiwa eksodus
tadi dinamai pesakh, artinya Allah melewati rumah umat-Nya dan membebaskan
mereka. Paskah berutang pada peristiwa dan makna pesakh ini. Kini, kematian
Yesus akibat korupsi itu diatasi dengan kebangkitannya dan pesannya ialah bahwa
kehidupan baru kini melewati rumah-rumah kita agar semua manusia bisa mengalami
kebebasan.
Maka, ada yang
ajek dalam pesan Paskah: kehidupan yang baru dan bebas itu selalu sebagai
kehidupan yang mengutamakan orang ramai, di mana kepentingan pribadi ataupun
kelompok tak boleh seenaknya dimenangkan. Dengan demikian, dalih yang dipakai
membenarkan korupsi turut di gangsir: pemanfaatan kekuasaan demi keuntungan
pribadi atau kelompok adalah jalan kematian itu sendiri.
KORUPSI
DAN AGAMA
PGI menetapkan
Paskah 2012 sebagai waktu melawan korupsi. Paskah adalah momen keluar dari
kejahatan luar biasa, yang kini di Indonesia mengambil bentuk sebagai tindak
korupsi. Ada mamon atau berhala yang sesungguhnya sedang dipuja para koruptor
dan itu adalah uang dan kekuasaan yang didatangkannya. Pemujaan atas mamon itu
sekaligus menunjukkan dimensi rohani dari korupsi.
Dan, agama bisa
diam-diam mendukung korupsi jika ia mendedahkan percakapan rohani atau teologi
yang mengagungkan uang atau sukses material. Dalam kisah Alkitab, teologi ini
tampak dari niat seorang bernama Simon, mantan penyihir yang dibaptis menjadi
Kristen (Kisah Para Rasul 8: 9-24). Simon memperhatikan suasana rohani yang
bergairah dalam komunitas Kristiani di Samaria, khususnya karena Petrus dan Yohanes
dianugerahi kemampuan membuat mukjizat. Simon berniat membeli anugerah atau
kemampuan rohani itu, melengkapi kekayaannya, tetapi segera ia ditegur karena
niat tadi adalah sebentuk kejahatan.
Agama-agama bisa
terjebak menjajakan teologi sukses tadi dengan mengkhotbahkan bahwa anugerah
Allah akan melimpah secara material bagi orang yang memberi persembahan
melimpah kepada-Nya. Ini seperti niat Simon: membeli anugerah Allah dan
melakukan suap rohani.
Pada ujungnya,
hidup beragama seperti ini akan mendukung keyakinan bahwa sukses material dan
kelimpahan uang adalah bukti utama hidup rohani atau ketaatan beragama. Secara
perlahan teologi ini akan juga menyelubungi dan membiarkan korupsi terjadi
selama kekayaan material dan uang bisa ditampakkan oleh umat beragama itu.
Semangat Paskah
menunjuk teologi yang lain: teologi orang ramai, di mana penatalayanan anugerah
memunculkan kehadiran struktur baru mendukung kemaslahatan hidup bersama. Dalam
Ajaran Sosial Gereja Katolik ditengarai bahwa ”struktur dosa” bekerja di tengah
keadaan hidup yang serba korup itu. Untuk itu diperlukan ”struktur rahmat”
untuk mengatasinya. Dengan demikian, diperlukan mekanisme berkesinambungan
menata hidup bersama agar rahmat sungguh berdampak nyata. Maka, hidup beragama
kini perlu bersendikan solidaritas ekonomi, partisipasi akar rumput, dan
akuntabilitas kepemimpinannya.
GERAKAN
MENDUDUKI
Occupy Movement
atau Gerakan Menduduki yang menyebar akhir-akhir ini adalah globalisasi dari
antikorupsi tadi, yang hendak membalik sejarah kematian menjadi kebangkitan
orang ramai. Kematian Mohamad Bouazizi, seorang pedagang sayur keliling di kota
Sidi Bouzid, Tunisia, adalah kematian akibat korupsi. Namun, kebebasan justru
terjadi melalui dirinya, lalu itu membangkitkan martabat orang ramai dalam
seruan di Mesir: Roti, Keadilan, dan Kebebasan. Musim Semi Arab adalah saksi
bahwa kebangkitan bisa terjadi di atas riwayat kematian yang ditulis para
diktator korup itu.
Maka, memang
segera terkuak bahwa struktur-struktur dunia telah pula sedemikian korupnya,
bekerja demi uang dan kekuasaan tak terbatas. Pasar uang, semisal yang ada di
Wall Street, Amerika, segera dilihat sebagai mezbah tempat korupsi dan
spekulasi dimainkan seenaknya, yang antara lain berakibat pada harga-harga
pangan yang tak terjangkau. Ada korupsi dan pemujaan pada uang yang dilakukan
oleh 1 persen orang yang mencelakakan 99 persen warga dunia.
Dengan itu semua
secara global telah terpatri ke mana arah kebangkitan orang ramai hendak
diusung. Kita kini sepakat bahwa pesan lintas-iman ataupun pemikiran sosialnya
tak akan menurut pada teologi sukses itu. Namun, pada penetapan etik antaragama
yang mengupayakan kemaslahatan bersama. Etik antaragama ini bertolak dari
prinsip ”lakukanlah pada sesamamu apa yang kau kehendaki ia akan perbuat
padamu” (UNESCO, Our Creative Diversity, 1995). Dan, pertukaran karya yang
mengupayakan kemaslahatan sesama ini akan menunjukkan bahwa kita, orang ramai,
sungguh bangkit dari kematian akibat korupsi itu.
SI MANUSIA
PASCA
Pertama kali dengar namanya adalah dari seorang sahabat. Seorang Jawa kelahiran Malang, bekas wartawan yang kemudian mencemplungkan diri kepada dunia 'pelayanan.' Lantas ia mengambil program magister di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta.
Katanya bertanya kepada saya: "Eh, lu kan orang Simalungun. Kenal nggak Martin Sinaga, pendeta GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) yang ngajar di STT Jakarta? Dia dosen gue."
Pertanyaan ini sulit saya jawab. Ada dua hal penyebabnya.
Pertama, orang (Batak) Simalungun mungkin tak mengakui saya orang Simalungun karena marga saya Siadari. Dan benar, ayah saya memang orang (Batak) Toba dan Siadari adalah marga orang Toba. Ibu saya lah yang orang Simalungun, bermarga Damanik. Tapi betul. Saya selalu merasa sebagai orang Simalungun. Dan pada saat yang sama orang Toba juga. Saya tumbuh di Sarimatondang, wilayah Simalungun. Dan sejak kecil iman saya ditempa oleh GKPS, yang 'menyapa' jemaatnya dengan Bahasa Simalungun. Dan teman saya tahu itu. Dan karena itu ia selalu menganggap saya orang Batak. Dan orang Simalungun. Apalagi ketika suatu saat kawan saya itu meresensi buku tentang panduan wisata dan menyinggung-nyinggung tentang wisata kebun teh di Sumatera Utara, saya bersikeras kepadanya agar memasukkan nama desa saya, Sarimatondang Sidamanik yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun dalam resensinya itu. Dan ia memasukkannya. Dan mungkin karena itu lah ia bertambah kuat menduga saya orang Simalungun.
Kedua, pertanyaan si kawan sulit saya jawab karena saya memang tak mengenal Martin Sinaga. Saya memang selalu merasa dekat dan tersentuh setiap kali orang menyinggung GKPS, tempat saya dibaptis, angkat sidi dan menikah. Dan karena itu pula saya merasa kecewa karena saya tak mengenal Martin Sinaga yang dia katakan itu.
Itu sebabnya saya menjawabnya dengan pertanyaan pula. "Emang kenapa Martin Sinaga?"
"Hebat dia Jack," kata dia, menyapa saya dengan Jack, panggilan akrab kami satu sama lain. "Teologianya hebat."
Pujian itu sungguh memancing rasa penasaran saya. Dan saya pun mencoba-coba mencari tahu, siapa sih Martin Sinaga? Apalagi dari teman itu saya tahu bahwa Martin sudah menyandang gelar doktor teologia, sesuatu yang langka di lingkungan GKPS, kendati gereja itu sudah berusia 100 tahun.
Belakangan dari seorang kerabat, saya akhirnya tahu bahwa Martin adalah salah seorang putra dari Ny. Deborah Sinaga. Nah, nama ini memang akrab di telinga saya. Sebab, dulu ketika saya Sekolah Minggu, Bu Deborah adalah pendeta pembina Sekolah Minggu GKPS. Saya hanya sekali saja ketemu beliau, ketika ada pesta Sekolah Minggu di Sibuntuon, sebuah desa sejauh satu jam perjalanan dari kampung saya. Tetapi pertemuan itu sungguh mengesankan. Karena Bu Deborah Sinaga menghadiahi saya sebuah katekhismus karena saya berhasil menjawab sebuah pertanyaan kuis. (Tulisan saya tentang beliau, saya turunkan dalam judul Deborah yang Memukau).
Akhirnya saya tahu lebih lengkap lagi. Bahwa Martin dilahirkan dari sebuah keluarga pendeta. Ayahnya pendeta. Ibunya juga pendeta. Dan Martin Sinaga itu, yang nama lengkapnya adalah Martin Lukito Sinaga (MLS), bukan hanya pendeta. Tetapi juga intelektual teologia yang mengabdikan diri di Sekolah Teologia. Kelak saya tahu, ia tak lagi bisa dikandangkan dalam status apa pun sebab pikirannya jauh melanglang buana pengkotak-kotakan. Ia melibatkan diri dalam dunia yang berjumpa dengan banyak pemahaman sehingga ia bukan lagi bisa saya bayangkan sebagai pendeta yang berkhotbah di tengah jemaatnya. Tapi justru sebagai orang yang terus ingin menguji khotbah-khotbahnya hingga jauh dari jemaat-jemaatnya sendiri.
Dan, waktu memberikan kesempatan kepada saya bertemu dengan dia. Sebuah keberuntungan atau takdir?
DIMANA KAMPUNG KITA?
Suatu waktu, karena saya melibatkan diri pada sebuah milis, dimana MARTIN LUKITO SINAGA juga turut serta sebagai anggotanya, saya berkesempatan berkenalan dengannya. Ketika itu para anggota milis itu mengadakan pertemuan. Dan kami berkenalan ala kadarnya.
Saya masih ingat sedikit rincian pertemuan itu. Saya menjemputnya di rumahnya, di kawasan kampus STT Jakarta bersama seorang kawan. Sang kawan menyapanya dengan Bahasa Simalungun yang fasih, yang selalu membuat saya minder dan malu. Lalu saya juga memperkenalkan diri dengan Bahasa Simalungun saya yang, bila dianalogikan dengan Bahasa Jawa, adalah Bahasa Simalungun ngapak.
Dan rupanya, ia mencium Bahasa Simalungun saya yang ngapak itu. Sebab kemudian ia bertanya: "Ija do hutanta?" yang artinya, dimana kampung mu.
Saya tahu arah pertanyaan ini sebab inilah biasanya cara orang Batak pada umumnya untuk mengukur kadar 'keBatakannya.' Setelah saya menjawab sejujurnya, bahwa saya dari Sarimatondang, sebuah desa yang orang Simalungun dan orang dari suku lain sudah berbaur demikian dalamnya, ia menjawab, bahwa pantas saja Bahasa Simalungun saya rada ngapak. Tidak paten. Tidak kental.
Saya tersenyum kecut. Awalnya saya menganggap pertanyaan itu sebuah pagar, untuk menunjukkan dimana posisi saya sebagai orang yang setengah Simalungun. Ternyata saya salah. Setelah makin lama kami berdiskusi dalam pertemuan itu, saya makin tahu, Martin rupanya bukan orang yang dengan mudah mengacaukan pandangannya pada identitas-identitas semacam itu. Yang ia selalu lihat adalah ide, pikiran-pikiran.
Dan dalam pertemuan itu, saya akhirnya tahu sebuah pantun Simalungun yang benar-benar memberikan harapan pada saya bahwa dalam Simalungun juga ada keterbukaan, ada kesadaran akan pentingnya keragaman. Semacam keramahan terhadap siapa pun asal niat dan pikirannya baik. Begini bunyinya:
Sin Raya Sin Purba
Sin Dolog Sin Panei
Na ija pe lang muba
Asalma marholong ni atei.
(Secara ringkas, pesan pantun itu, adalah: 'Siapa pun tak ada bedanya Sepanjang ia pengasih'). Saya pun senang. Dan catatan saya tentang pertemuan yang populer dnegan sebutan Kopdar (Kopi darat), saya buatkan sebagai berikut:
THE MASTER OF THE KOPDAR
….Diskusi itu panas. Diskusi itu berisik. Tapi beruntunglah saya, yang sudah gelisah karena waktu terus berjalan dan lapo akan tutup persis pukul 21:00, mempunyai Om yang dapat diandalkan yakni Om Martin yang bukan hanya memandu tetapi juga mengarahkan diskusi dengan baik. Ada satu pepatah
yang diucapkannya, yang begitu berkesan bagi saya, yang bunyinya begini: Buat saya itu bukan hanya menunjukkan bahwa orang Simalungun adalah orang yang terbuka. Tetapi lebih jauh, orang Simalungun adalah orang yang bisa menerima perbedaan bukan sekadar basa-basi tetapi karena esensi. Perbedaan, keanekaragaman latarbelakang adalah baik sepanjang sifatnya dan substansinya adalah baik, yakni kasih. Hebat, bukan?
Om Martin memandu diskusi dengan kepiawaian seorangEmpu sekaligus Diplomat ulung. Saya tak pernah menduga bahwa diskusi antarorang yang baru saja saling kenal dapat demikian hidup. Seorang Om saya pernah berkata begini. Orang yang paling tidak menarik sebagai lawan bicara adalah Guru, dokter dan pendeta. Mengapa? Karena mereka terbiasa berbicara one way, apakah ketika mengajar, memberi advis kepada pasien dan ketika berkhotbah.
Pendapat itu tidak berlaku pada Om Martin. Ia sama sabarnya ketika mendengar mau pun ketika melontarkan pemikirannya. Ia memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang. Ia juga dengan cepat mendeteksi seseorang sedang benar-benar menjabarkan pemikiran atau sekadar memamerkan pengetahuan dan keahlian.
Karena itu pula diskusi sore itu dengan cepat mengerucut kepada upaya untuk merumuskan
langkah-langkah. Salah satu pertanyaan Om Martin yang benar-benar menggelitik saya di kopdar itu adalah, bila kita-kita peserta kopdar ingin berbuat sesuatu untuk GKPS dan Simalungun, dimanakah kita duduk, dan dimana alamat yang kita tuju. (Benar begitu, Om Martin?)
Saya kira pertanyaan itu tidak hanya akan bisa dibahas dalam satu kopdar. Tetapi dalam satu kopdar itu pun sebetulnya orang sudah mulai berpikir dan menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Mungkin jawabannya tidak tunggal, Mungkin pula tidak semua orang kelak harus berada dalam satu biduk untuk mewujudkannya. Tetapi buat saya pribadi, Om Martin telah menakhodai diskusi
itu dengan baik. Terimakasih Om Martin.
Setelah itu saya beberapa kali masih saling bertukar sapa lewat SMS dengan beliau. Sebuah kado Tahun barunya yang tak pernah saya lupa, adalah sebuah pesan SMS mengucapkan Selamat Tahun Baru dengan imbuhan, agar sudilah saya membaca tulisannya di Harian Kompas. Dan saya benar-benar membacanya. Tentang Natal sebagai awal melakukan langkah-langkah sederhana, yang kecil, untuk tujuan-tujuan yang besar.
Makin pula saya ingin tahu tentang dia. Makin saya ingin mencari apa yang bisa dibanggakan orang Simalungun darinya, kalau memang ada. Dan makin pula saya ingin menemukan apa yang dapat saya pelajari dari dia. MLS, Si Manusia Pasca.
MENGAPA SAYA MENYEBUT MARTIN LUKITO SINAGA SEBAGAI MANUSIA PASCA?
Awalnya mungkin karena alasan yang sangat subjektif. Barangkali karena rasa minder saya akan latarbelakang pribadi saya, yang dalam beberapa hal, kerap dia bela. Sebagai orang yang berdarah campuran Toba dan Simalungun, dalam hati kecil saya selalu ingin diakui sebagai orang Simalungun. Pengalaman saya 'Marsimalungun,' istilah untuk menggambarkan proses 'menjadi dan sebagai orang Simalungun' karena dibesarkan oleh seorang Ibu yang Simalungun, lingkungan gereja yang Simalungun dan sedikit banyak lingkungan domisili di Sarimatondang yang masih diwarnai Simalungun, saya anggap terlalu berharga untuk saya tanggalkan begitu saja.
Tetapi rupanya itu tidak gampang. Siadari di belakang nama saya sudah jelas-jelas menunjukkan saya bukan Simalungun. Bahasa saya, adat istiadat saya, jelas-jelas bukan Simalungun dan itu beban yang berat untuk mendesak-desakkan diri saya menjadi orang Simalungun.
Pada suatu hari, dalam sebuah perdebatan tentang siapa sesungguhnya yang layak disebut orang Simalungun itu di milis tempat saya sering berdiskusi, saya merasa terdesak dan sedih karena akhirnya saya terpaksa menyadari saya mungkin hanya di lapis keempat dalam strata organisasi, bila Simalungun dianalogikan sebagai organisasi. Kadar Simalungun saya berada di tingkat simpatisan, yang selalu mengingatkan status saya ketika bergereja di sebuah gereja di Bandung tempo hari. Boleh ikut kebaktian, tapi tetap tidak terdaftar. Tidak punya hak suara.
Sampai saya pulang dari kantor dan tiba di rumah malam hari, saya tak bisa menyembunyikan rasa sedih saya. Sampai istri saya di rumah bertanya, kok saya begitu jengkelnya tak diakui sebagai Simalungun. Istri saya yang orang JAwa itu bahkan secara bersenda gurau berkata, ia beruntung jadi orang Jawa yang diperistri oleh saya dan dimargakan jadi Damanik. Karena dengan begitu ia telah otomatis menjadi orang Simalungun.
Keesokan harinya, di tengah kesedihan itu, saya mencoba mengirimkan SMS kepada MARTIN LUKITO SINAGA semacam curhat. Dan saya mengatakan saya sudah lelah berusaha menjadi orang Simalungun. Saya katakan juga saya bingung melihat begitu berlapisnya strata orang Simalungun dalam hemat sejumlah orang Simalungun. MARTIN LUKITO SINAGA membalasnya dengan SMS pula, yang dugaan saya dimaksudkan untuk menghibur. Tapi harus jujur saya akui, saya jadi merasa digugah, disemangati lagi untuk berjuang menjadi Simalungun. "Tapi Eben belum putus asa, bukan?" begitu bunyi SMSnya.
Lalu dalam hati saya kemudian bersorak-sorai, ketika suatu ketika ia mengirimkan komentar di milis itu, yang bukan saja menghibur tetapi memberikan pencerahan kepada saya.
Kepada Eben, Kepada kita: Generasi Pasca-Simalungun
Salam,
mungkin tulisan saya ini tidak langsung masuk (tapi juga tidak harus menjadi 'galir") ke isu pemekaran
Simalungun; tetapi lebih sebagai pengalaman "kita" marsimalungun, yang tampaknya tidak bisa lari dari
Toba. Namun Eben misalnya punya istri boru Jawa, saya sendiri ibu saya Cina-peranakan, dan istri saya br Purba Pakpak dengan ibunya orang Dayak NGaju.
Rupanya bukan hanya Toba persoalan kita. Pernah kami bicara dengan Salomo Simanungkalit
(wartwan senior kompas), Jansen Sinamo, Pdt Jan Aritonang, tampaknya kesimpulannya ialah: tidak bisa
lagi kita memurnikan diri menjadi "asli Simalungun atau asli Toba"; dan tidak ada gunanya kita kembali kesitu. Kita adalah generasi pasca-Simalungun, pasca-Toba.
Mengapa tidak perlu kembali murni? Karena selain tidak ada yang murni di belakang kita, juga menurut saya Simalungun per se tidak memadai untuk hidup masa kini. Dulu cukup dengan marga Sinaga, saya sudah akan hidup "terjamin". Artinya marga berarti tanah, berarti punya boru, punya Tondong, dst. Marga adalah titik jaminan ekonomis tradisional. Kini dengan mengaku Sinaga dan Simalungun, jawaban orang ialah: "so what gitu lho...".
Jadi saya harus melampaui kesimalungunan itu (pasca-Simalungun, seperti pasca-sarjana, tetap
sarjana tetapi punya daya melampauai atas-batas sarjana). Kesimalungunan juga tidak memadai untuk
bertahan hidup-- malah nenek moyang kita sadar betul itu, makanya mereka belajar dari FEODALISME Melayu (rupanya harus pula dibuang pelajaran menjadi feudal itu, namun sayang kita dipaksa membuangnya/revolusi sosial 1946an). Ompung kita juga BELAJAR dari orang Toba mengelola wet-rice (padisawah), yang rupanya lebih berproduksi massal. Mungkin kita perlu beljar sekarang dengan orang Karo (GBKP), yang mempunya BPR beromzet Rp16 miliar (duh GKPS, where are you?). Kita
perlu belajar mengembangkan hidup tekun, ekonomis dan entrepenurship orang Karo-- dan membuang jauh-jauh mimpi jadi pegawai Kabupaten yang akan dimekarkan itu. Dengan belajar kita berubah, dan melampauai warisan nenek moyang kita.
(cut)
Jadi isu kita sekarang ialah: ke Karo. Bagaimanana ekonomi gerejawi mereka bergairah, dan sudah mengelola banyak produk-produk kesejahteraan masyarakat. Pernah di Karo, sebelum kebaktian, mereka mediskusikan komoditi sayur di Singapur! Bayangkan. Saya melakukan studi yang intens ttg teologi kontekstual di KAro (dan malah lebih sering marminggu ke GBKP akhir-akhir ini).
dan tampaknya mereka adalah orang Belanda di tanah Batak. Gereja KAro selalu mendoakan apa yang
berlangsung konkret, dan merinci apa-apa yang harus dikerjakan selanjutnya. Kalau ke Toba, percakapan menjadi politis, lebih baik ke Karo, agar Simalungun tidak jatuh miskin lebih dalam lagi.
Maaf kepada Anda yang bukan orang Batak yang mungkin tidak akrab dengan konteks perdebatan itu. Komentar ini mungkin akan membingungkan. Tetap intinya, yang saya tangkap, MARTIN LUKITO SINAGA ingin mengatakan agar jangan mau diperangkap oleh keinginan untuk memurnikan identitas diri. Sebab di masa depan identitas itu tidak cukup sebab yang dituntut oleh zaman adalah kapasitas untuk berbuat. Dan, itulah yang menurut Martin manusia pasca. Manusia pasca Simalungun. Manusia pasca Toba. Manusia pasca suku apa pun. Manusia pasca Indonesia. Apalagi, menurut dia, di belakang kita, memang tidak ada yang murni.
Bukan berarti Martin alergi pada pencarian tentang kemurnian identitas itu. Ia sendiri sangat aktif dan paham bagaimana latarbelakang sejarah Simalungun. Bahkan ia termasuk orang yang ingin, agar sebelum ada rekonsiliasi atas kemungkinan adanya 'konflik antasuku' di masa lalu, diperlukan semacam pembeberan sejarah. Yang pahit. Yang traumatik. Dan setelah itu baru ada rekonsiliasi.
Tapi yang tampaknya ingin ia katakan adalah pembeberan sejarah itu jangan dengan semangat pencarian 'kambing hitam.' Bukan dengan dengan keinginan untuk memuja masa lalu yang terang benderang dengan menunjuk sisi kelam pada bagian yang lain. Melainkan pembeberan sejarah yang menggugah, menjadikannya pelajaran sekaligus mendudukkan komplesitas masa lalu yang tidak serba hitam-putih.
Saya bertanya dalam hati, darimana kah ia mendapat pemikiran yang demikian itu? Apakah latarbelakang dirinya, yang lahir dari sebuah keluarga campuran, ayah Simalungun dan ibu peranakan Tionghoa, yang menyebabkannya demikian? Saya benar-benar tidak bisa menduga-duga. Tapi sebuah komentarnya dalam dialog dengan salah seorang peserta milis itu, bernama Alfared Damanik, Martin menulis begini:
Ibu saya -inang Debora Sinaga, seorang pembimbing umum Sek Minggu dan Wanita GKPS- sejak tahun 1968 sampai 1986 keluar masuk Simalungun -dan saya kerap kali ikut- dan memperkenalkan kesetaraan jender dan martabat anak Sekolah Minggu, dan terkadang sambil kelelahan dia mengatakan, "aku nggak ngerti orang Simalungun ini...". Menurut saya itu indikator, betapa menjadi begitu kompleksnya psikologi sosial Simalungun, mungkin campuran ketertutupan dan sedikit rasa rendah diri. Sehingga, memang mesti ada gerakan memintal tali temali Simaluungun lagi, membangun harga diri, membangun -istilah Alfared- social value. Yang saya tidak setuju ialah kita melakukan pengkambinghitaman atas orang Toba. Saya sering sekali diundang berkotbah dan berceramah di HKBP jalan Jambu-Menteng (dan HKBPlainnya), dan mereka mengatakan, ini jemaat intelek pandita, jadi jangan segan-segan berteologia. Toba bagi saya adalah simbol intelektualitas, walau kadang nekad dan tergesa-gesa, sehingga kita yang secara psikologis belum siap, merasa tergerus. Saat anak keluarga SAE Nababan manaksihon/malua, diundanglah semua kerabat, dan acara khususnya ialah mengundang prof Pantur Silaban dari ITB untuk menceritakan fisika modern! (gila... anak baru mengaku percaya, langsung diberondong teori chaos dan sistem fraktal; dan hati saya menerawang tak tentu arah mendengar cerita itu). Kalau kita melihat Toba seperti ini, tentu tidak perlu lagi mengkambinghitamkan Toba. Tentu sejarah bahwa Toba (dalam hal ini, HKBP) pernah membungkam Simalungun, itu sudah dikoreksi, tahun 1963 itu. So, tali-temali Simalungun memang kta harus rajut lagi, demi social value, mungkin dengan keliman enterpreneurship Karo, agar tampak survive di era yang serba ekonomis ini.
horasma, martin sinaga
Apakah kelelahan yang dialami sang Ibu, meresap dalam kedirian seorang MARTIN LUKITO SINAGA sehingga ia memutuskan akan menjadi manusia pasca, manusia pasca Simalungun, bahkan kelak, seperti yang akan kita lihat dalam kiprahnya dalam dialog antaragama, ia juga menjadi manusia pascanasrani?
Jawaban dari pertanyaan itu mungkin tak akan berhenti dalam satu titik. Bahkan jawabannya mungkin tidak akan pernah selesai. MARTIN LUKITO SINAGA tak jemu dan tak henti melakukan pencariannya sehingga ia tak mungkin menjadi manusia dalam satu kandang. Ia mencari terus, untuk mencapai kemungkinan-kemungkinan baru. Pencerahan baru.Bukan hanya untuk dirinya tetapi demi untuk orang lain. Mungkin jemaatnya, jika ia kita tempatkan sebagai pendeta. Tetapi mungkin juga untuk manusia dan kemanusiaan, jika ia kita tempatkan sebagai intelektual.
Saya akan terlalu sombong, dan kemudian akan kelihatan dungu bila berpretensi untuk menjelaskan MARTIN LUKITO SINAGA dengan aneka kerangka berpikir. Sehebat apakah diri saya sehingga saya bisa memenjarakan dia dalam satu gambaran yang kaku? Lebih bodoh lagi bila saya mengatakan saya sepemikiran dengan dia. Sebab seringkali saya juga menduga ia tidak sepaham dengan saya. Lebih tepatnya, saya tak bisa mengikuti dan memahami pikiran-pikirannya. Dengan pengetahuan saya yang sangat terbatas, tentang teologi, tentang sejarah Simalungun, tentang ilmu perubahan sosial, tentang ilmu agama-agama, saya tak kan mampu bahkan untuk sekadar mencerna sejumlah istilah yang ia kemukakan. Seperti seorang pengikut yang sangat tertatih-tatih. Ketinggalan kereta. Kalah cepat dan kalah kapasitas.
Yang mungkin dapat saya katakan adalah saya akan banyak belajar dari dia. Belajar bagaimana menjadi manusia pasca. Jangan lagi terpaku untuk mendesak-desakkan diri untuk menjadi orang Simalungun. Tapi jadilah orang yang pasca Simalungun. Pasca Indonesia. Bahkan menjadi Pasca Nasrani.
APA ITU MANUSIA PASCA NASRANI?
Sebelum para ahli menyelidik saya atas istilah yang rada dimaut-mautkan ini, terlebih dahulu saya akan membela diri untuk mengatakan istilah ini untuk diri saya sendiri belaka. Ini hanya akan saya gunakan untuk diri saya sendiri, dalam menggambarkan sebisa saya, MARTIN LUKITO SINAGA yang saya kenali pikiran-pikirannya dari berbagai sumber terbatas.
Seandainya saya hanya mengenal MARTIN LUKITO SINAGA sebagai seorang pendeta GKPS, seorang yang dilahirkan dalam keluarga Simalungun, Doktor teologia yang menjadi pengajar ilmu agama-agama di STT Jakarta, saya mungkin tak akan menyebutnya sebagai manusia pascaNasrani. Seandainya aktivitasnya hanya diembel-embeli lagi dengan menjadi (pernah) anggota tim Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), mengajar di STF Driyarkara, itu juga tak akan menggugah saya mencari kepascaannya.
Tapi lihatlah apa saja yang ia gumuli. Buku-buku yang ia tulis mau pun yang ia terjemahkan selalu merupakan buku yang agak kontroversial bagi kaum nasrani konservatif. Ia kelihatannya selalu tergoda untuk melihat kemungkinan-kemungkinan baru. 'Apa setelah apa.' Jika dalam hal Simalungun, ia menggelitik saya dengan pertanyaan, 'so what' bila Anda sudah Simalungun, dalam hal agama, ia juga sepertinya selalu menyodorkan pertanyaan bahwa kalau Anda sudah nasrani, so what. Apa setelah itu?
ADa banyak buku yang sudah ia tulis, sunting dan terjemahkan. Hampir semuanya merupakan 'penelaahan' hubungan antara apa yang selama ini dianggap orang 'berseberangan.' Salah satu yang bisa dijadikan contoh, adalah buku karya John D. Caputo, yang judul aslinya adalah On Religion tetapi kemudian is terjemahkan menjadi Agama Cinta, Agama Masa Depan. Saya belum sempat membacanya. Tetapi beberapa kalimat dari tinjauan buku itu yang ditulis oleh Trisno S. Sutanto, mungkin sudah bisa menggambarkan isinya serba sedikit.
“AGAMA TANPA AGAMA”
Pertama kali dengar namanya adalah dari seorang sahabat. Seorang Jawa kelahiran Malang, bekas wartawan yang kemudian mencemplungkan diri kepada dunia 'pelayanan.' Lantas ia mengambil program magister di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta.
Katanya bertanya kepada saya: "Eh, lu kan orang Simalungun. Kenal nggak Martin Sinaga, pendeta GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) yang ngajar di STT Jakarta? Dia dosen gue."
Pertanyaan ini sulit saya jawab. Ada dua hal penyebabnya.
Pertama, orang (Batak) Simalungun mungkin tak mengakui saya orang Simalungun karena marga saya Siadari. Dan benar, ayah saya memang orang (Batak) Toba dan Siadari adalah marga orang Toba. Ibu saya lah yang orang Simalungun, bermarga Damanik. Tapi betul. Saya selalu merasa sebagai orang Simalungun. Dan pada saat yang sama orang Toba juga. Saya tumbuh di Sarimatondang, wilayah Simalungun. Dan sejak kecil iman saya ditempa oleh GKPS, yang 'menyapa' jemaatnya dengan Bahasa Simalungun. Dan teman saya tahu itu. Dan karena itu ia selalu menganggap saya orang Batak. Dan orang Simalungun. Apalagi ketika suatu saat kawan saya itu meresensi buku tentang panduan wisata dan menyinggung-nyinggung tentang wisata kebun teh di Sumatera Utara, saya bersikeras kepadanya agar memasukkan nama desa saya, Sarimatondang Sidamanik yang berada di wilayah Kabupaten Simalungun dalam resensinya itu. Dan ia memasukkannya. Dan mungkin karena itu lah ia bertambah kuat menduga saya orang Simalungun.
Kedua, pertanyaan si kawan sulit saya jawab karena saya memang tak mengenal Martin Sinaga. Saya memang selalu merasa dekat dan tersentuh setiap kali orang menyinggung GKPS, tempat saya dibaptis, angkat sidi dan menikah. Dan karena itu pula saya merasa kecewa karena saya tak mengenal Martin Sinaga yang dia katakan itu.
Itu sebabnya saya menjawabnya dengan pertanyaan pula. "Emang kenapa Martin Sinaga?"
"Hebat dia Jack," kata dia, menyapa saya dengan Jack, panggilan akrab kami satu sama lain. "Teologianya hebat."
Pujian itu sungguh memancing rasa penasaran saya. Dan saya pun mencoba-coba mencari tahu, siapa sih Martin Sinaga? Apalagi dari teman itu saya tahu bahwa Martin sudah menyandang gelar doktor teologia, sesuatu yang langka di lingkungan GKPS, kendati gereja itu sudah berusia 100 tahun.
Belakangan dari seorang kerabat, saya akhirnya tahu bahwa Martin adalah salah seorang putra dari Ny. Deborah Sinaga. Nah, nama ini memang akrab di telinga saya. Sebab, dulu ketika saya Sekolah Minggu, Bu Deborah adalah pendeta pembina Sekolah Minggu GKPS. Saya hanya sekali saja ketemu beliau, ketika ada pesta Sekolah Minggu di Sibuntuon, sebuah desa sejauh satu jam perjalanan dari kampung saya. Tetapi pertemuan itu sungguh mengesankan. Karena Bu Deborah Sinaga menghadiahi saya sebuah katekhismus karena saya berhasil menjawab sebuah pertanyaan kuis. (Tulisan saya tentang beliau, saya turunkan dalam judul Deborah yang Memukau).
Akhirnya saya tahu lebih lengkap lagi. Bahwa Martin dilahirkan dari sebuah keluarga pendeta. Ayahnya pendeta. Ibunya juga pendeta. Dan Martin Sinaga itu, yang nama lengkapnya adalah Martin Lukito Sinaga (MLS), bukan hanya pendeta. Tetapi juga intelektual teologia yang mengabdikan diri di Sekolah Teologia. Kelak saya tahu, ia tak lagi bisa dikandangkan dalam status apa pun sebab pikirannya jauh melanglang buana pengkotak-kotakan. Ia melibatkan diri dalam dunia yang berjumpa dengan banyak pemahaman sehingga ia bukan lagi bisa saya bayangkan sebagai pendeta yang berkhotbah di tengah jemaatnya. Tapi justru sebagai orang yang terus ingin menguji khotbah-khotbahnya hingga jauh dari jemaat-jemaatnya sendiri.
Dan, waktu memberikan kesempatan kepada saya bertemu dengan dia. Sebuah keberuntungan atau takdir?
DIMANA KAMPUNG KITA?
Suatu waktu, karena saya melibatkan diri pada sebuah milis, dimana MARTIN LUKITO SINAGA juga turut serta sebagai anggotanya, saya berkesempatan berkenalan dengannya. Ketika itu para anggota milis itu mengadakan pertemuan. Dan kami berkenalan ala kadarnya.
Saya masih ingat sedikit rincian pertemuan itu. Saya menjemputnya di rumahnya, di kawasan kampus STT Jakarta bersama seorang kawan. Sang kawan menyapanya dengan Bahasa Simalungun yang fasih, yang selalu membuat saya minder dan malu. Lalu saya juga memperkenalkan diri dengan Bahasa Simalungun saya yang, bila dianalogikan dengan Bahasa Jawa, adalah Bahasa Simalungun ngapak.
Dan rupanya, ia mencium Bahasa Simalungun saya yang ngapak itu. Sebab kemudian ia bertanya: "Ija do hutanta?" yang artinya, dimana kampung mu.
Saya tahu arah pertanyaan ini sebab inilah biasanya cara orang Batak pada umumnya untuk mengukur kadar 'keBatakannya.' Setelah saya menjawab sejujurnya, bahwa saya dari Sarimatondang, sebuah desa yang orang Simalungun dan orang dari suku lain sudah berbaur demikian dalamnya, ia menjawab, bahwa pantas saja Bahasa Simalungun saya rada ngapak. Tidak paten. Tidak kental.
Saya tersenyum kecut. Awalnya saya menganggap pertanyaan itu sebuah pagar, untuk menunjukkan dimana posisi saya sebagai orang yang setengah Simalungun. Ternyata saya salah. Setelah makin lama kami berdiskusi dalam pertemuan itu, saya makin tahu, Martin rupanya bukan orang yang dengan mudah mengacaukan pandangannya pada identitas-identitas semacam itu. Yang ia selalu lihat adalah ide, pikiran-pikiran.
Dan dalam pertemuan itu, saya akhirnya tahu sebuah pantun Simalungun yang benar-benar memberikan harapan pada saya bahwa dalam Simalungun juga ada keterbukaan, ada kesadaran akan pentingnya keragaman. Semacam keramahan terhadap siapa pun asal niat dan pikirannya baik. Begini bunyinya:
Sin Raya Sin Purba
Sin Dolog Sin Panei
Na ija pe lang muba
Asalma marholong ni atei.
(Secara ringkas, pesan pantun itu, adalah: 'Siapa pun tak ada bedanya Sepanjang ia pengasih'). Saya pun senang. Dan catatan saya tentang pertemuan yang populer dnegan sebutan Kopdar (Kopi darat), saya buatkan sebagai berikut:
THE MASTER OF THE KOPDAR
….Diskusi itu panas. Diskusi itu berisik. Tapi beruntunglah saya, yang sudah gelisah karena waktu terus berjalan dan lapo akan tutup persis pukul 21:00, mempunyai Om yang dapat diandalkan yakni Om Martin yang bukan hanya memandu tetapi juga mengarahkan diskusi dengan baik. Ada satu pepatah
yang diucapkannya, yang begitu berkesan bagi saya, yang bunyinya begini: Buat saya itu bukan hanya menunjukkan bahwa orang Simalungun adalah orang yang terbuka. Tetapi lebih jauh, orang Simalungun adalah orang yang bisa menerima perbedaan bukan sekadar basa-basi tetapi karena esensi. Perbedaan, keanekaragaman latarbelakang adalah baik sepanjang sifatnya dan substansinya adalah baik, yakni kasih. Hebat, bukan?
Om Martin memandu diskusi dengan kepiawaian seorangEmpu sekaligus Diplomat ulung. Saya tak pernah menduga bahwa diskusi antarorang yang baru saja saling kenal dapat demikian hidup. Seorang Om saya pernah berkata begini. Orang yang paling tidak menarik sebagai lawan bicara adalah Guru, dokter dan pendeta. Mengapa? Karena mereka terbiasa berbicara one way, apakah ketika mengajar, memberi advis kepada pasien dan ketika berkhotbah.
Pendapat itu tidak berlaku pada Om Martin. Ia sama sabarnya ketika mendengar mau pun ketika melontarkan pemikirannya. Ia memberikan kesempatan yang sama kepada semua orang. Ia juga dengan cepat mendeteksi seseorang sedang benar-benar menjabarkan pemikiran atau sekadar memamerkan pengetahuan dan keahlian.
Karena itu pula diskusi sore itu dengan cepat mengerucut kepada upaya untuk merumuskan
langkah-langkah. Salah satu pertanyaan Om Martin yang benar-benar menggelitik saya di kopdar itu adalah, bila kita-kita peserta kopdar ingin berbuat sesuatu untuk GKPS dan Simalungun, dimanakah kita duduk, dan dimana alamat yang kita tuju. (Benar begitu, Om Martin?)
Saya kira pertanyaan itu tidak hanya akan bisa dibahas dalam satu kopdar. Tetapi dalam satu kopdar itu pun sebetulnya orang sudah mulai berpikir dan menemukan jawaban atas pertanyaan itu. Mungkin jawabannya tidak tunggal, Mungkin pula tidak semua orang kelak harus berada dalam satu biduk untuk mewujudkannya. Tetapi buat saya pribadi, Om Martin telah menakhodai diskusi
itu dengan baik. Terimakasih Om Martin.
Setelah itu saya beberapa kali masih saling bertukar sapa lewat SMS dengan beliau. Sebuah kado Tahun barunya yang tak pernah saya lupa, adalah sebuah pesan SMS mengucapkan Selamat Tahun Baru dengan imbuhan, agar sudilah saya membaca tulisannya di Harian Kompas. Dan saya benar-benar membacanya. Tentang Natal sebagai awal melakukan langkah-langkah sederhana, yang kecil, untuk tujuan-tujuan yang besar.
Makin pula saya ingin tahu tentang dia. Makin saya ingin mencari apa yang bisa dibanggakan orang Simalungun darinya, kalau memang ada. Dan makin pula saya ingin menemukan apa yang dapat saya pelajari dari dia. MLS, Si Manusia Pasca.
MENGAPA SAYA MENYEBUT MARTIN LUKITO SINAGA SEBAGAI MANUSIA PASCA?
Awalnya mungkin karena alasan yang sangat subjektif. Barangkali karena rasa minder saya akan latarbelakang pribadi saya, yang dalam beberapa hal, kerap dia bela. Sebagai orang yang berdarah campuran Toba dan Simalungun, dalam hati kecil saya selalu ingin diakui sebagai orang Simalungun. Pengalaman saya 'Marsimalungun,' istilah untuk menggambarkan proses 'menjadi dan sebagai orang Simalungun' karena dibesarkan oleh seorang Ibu yang Simalungun, lingkungan gereja yang Simalungun dan sedikit banyak lingkungan domisili di Sarimatondang yang masih diwarnai Simalungun, saya anggap terlalu berharga untuk saya tanggalkan begitu saja.
Tetapi rupanya itu tidak gampang. Siadari di belakang nama saya sudah jelas-jelas menunjukkan saya bukan Simalungun. Bahasa saya, adat istiadat saya, jelas-jelas bukan Simalungun dan itu beban yang berat untuk mendesak-desakkan diri saya menjadi orang Simalungun.
Pada suatu hari, dalam sebuah perdebatan tentang siapa sesungguhnya yang layak disebut orang Simalungun itu di milis tempat saya sering berdiskusi, saya merasa terdesak dan sedih karena akhirnya saya terpaksa menyadari saya mungkin hanya di lapis keempat dalam strata organisasi, bila Simalungun dianalogikan sebagai organisasi. Kadar Simalungun saya berada di tingkat simpatisan, yang selalu mengingatkan status saya ketika bergereja di sebuah gereja di Bandung tempo hari. Boleh ikut kebaktian, tapi tetap tidak terdaftar. Tidak punya hak suara.
Sampai saya pulang dari kantor dan tiba di rumah malam hari, saya tak bisa menyembunyikan rasa sedih saya. Sampai istri saya di rumah bertanya, kok saya begitu jengkelnya tak diakui sebagai Simalungun. Istri saya yang orang JAwa itu bahkan secara bersenda gurau berkata, ia beruntung jadi orang Jawa yang diperistri oleh saya dan dimargakan jadi Damanik. Karena dengan begitu ia telah otomatis menjadi orang Simalungun.
Keesokan harinya, di tengah kesedihan itu, saya mencoba mengirimkan SMS kepada MARTIN LUKITO SINAGA semacam curhat. Dan saya mengatakan saya sudah lelah berusaha menjadi orang Simalungun. Saya katakan juga saya bingung melihat begitu berlapisnya strata orang Simalungun dalam hemat sejumlah orang Simalungun. MARTIN LUKITO SINAGA membalasnya dengan SMS pula, yang dugaan saya dimaksudkan untuk menghibur. Tapi harus jujur saya akui, saya jadi merasa digugah, disemangati lagi untuk berjuang menjadi Simalungun. "Tapi Eben belum putus asa, bukan?" begitu bunyi SMSnya.
Lalu dalam hati saya kemudian bersorak-sorai, ketika suatu ketika ia mengirimkan komentar di milis itu, yang bukan saja menghibur tetapi memberikan pencerahan kepada saya.
Kepada Eben, Kepada kita: Generasi Pasca-Simalungun
Salam,
mungkin tulisan saya ini tidak langsung masuk (tapi juga tidak harus menjadi 'galir") ke isu pemekaran
Simalungun; tetapi lebih sebagai pengalaman "kita" marsimalungun, yang tampaknya tidak bisa lari dari
Toba. Namun Eben misalnya punya istri boru Jawa, saya sendiri ibu saya Cina-peranakan, dan istri saya br Purba Pakpak dengan ibunya orang Dayak NGaju.
Rupanya bukan hanya Toba persoalan kita. Pernah kami bicara dengan Salomo Simanungkalit
(wartwan senior kompas), Jansen Sinamo, Pdt Jan Aritonang, tampaknya kesimpulannya ialah: tidak bisa
lagi kita memurnikan diri menjadi "asli Simalungun atau asli Toba"; dan tidak ada gunanya kita kembali kesitu. Kita adalah generasi pasca-Simalungun, pasca-Toba.
Mengapa tidak perlu kembali murni? Karena selain tidak ada yang murni di belakang kita, juga menurut saya Simalungun per se tidak memadai untuk hidup masa kini. Dulu cukup dengan marga Sinaga, saya sudah akan hidup "terjamin". Artinya marga berarti tanah, berarti punya boru, punya Tondong, dst. Marga adalah titik jaminan ekonomis tradisional. Kini dengan mengaku Sinaga dan Simalungun, jawaban orang ialah: "so what gitu lho...".
Jadi saya harus melampaui kesimalungunan itu (pasca-Simalungun, seperti pasca-sarjana, tetap
sarjana tetapi punya daya melampauai atas-batas sarjana). Kesimalungunan juga tidak memadai untuk
bertahan hidup-- malah nenek moyang kita sadar betul itu, makanya mereka belajar dari FEODALISME Melayu (rupanya harus pula dibuang pelajaran menjadi feudal itu, namun sayang kita dipaksa membuangnya/revolusi sosial 1946an). Ompung kita juga BELAJAR dari orang Toba mengelola wet-rice (padisawah), yang rupanya lebih berproduksi massal. Mungkin kita perlu beljar sekarang dengan orang Karo (GBKP), yang mempunya BPR beromzet Rp16 miliar (duh GKPS, where are you?). Kita
perlu belajar mengembangkan hidup tekun, ekonomis dan entrepenurship orang Karo-- dan membuang jauh-jauh mimpi jadi pegawai Kabupaten yang akan dimekarkan itu. Dengan belajar kita berubah, dan melampauai warisan nenek moyang kita.
(cut)
Jadi isu kita sekarang ialah: ke Karo. Bagaimanana ekonomi gerejawi mereka bergairah, dan sudah mengelola banyak produk-produk kesejahteraan masyarakat. Pernah di Karo, sebelum kebaktian, mereka mediskusikan komoditi sayur di Singapur! Bayangkan. Saya melakukan studi yang intens ttg teologi kontekstual di KAro (dan malah lebih sering marminggu ke GBKP akhir-akhir ini).
dan tampaknya mereka adalah orang Belanda di tanah Batak. Gereja KAro selalu mendoakan apa yang
berlangsung konkret, dan merinci apa-apa yang harus dikerjakan selanjutnya. Kalau ke Toba, percakapan menjadi politis, lebih baik ke Karo, agar Simalungun tidak jatuh miskin lebih dalam lagi.
Maaf kepada Anda yang bukan orang Batak yang mungkin tidak akrab dengan konteks perdebatan itu. Komentar ini mungkin akan membingungkan. Tetap intinya, yang saya tangkap, MARTIN LUKITO SINAGA ingin mengatakan agar jangan mau diperangkap oleh keinginan untuk memurnikan identitas diri. Sebab di masa depan identitas itu tidak cukup sebab yang dituntut oleh zaman adalah kapasitas untuk berbuat. Dan, itulah yang menurut Martin manusia pasca. Manusia pasca Simalungun. Manusia pasca Toba. Manusia pasca suku apa pun. Manusia pasca Indonesia. Apalagi, menurut dia, di belakang kita, memang tidak ada yang murni.
Bukan berarti Martin alergi pada pencarian tentang kemurnian identitas itu. Ia sendiri sangat aktif dan paham bagaimana latarbelakang sejarah Simalungun. Bahkan ia termasuk orang yang ingin, agar sebelum ada rekonsiliasi atas kemungkinan adanya 'konflik antasuku' di masa lalu, diperlukan semacam pembeberan sejarah. Yang pahit. Yang traumatik. Dan setelah itu baru ada rekonsiliasi.
Tapi yang tampaknya ingin ia katakan adalah pembeberan sejarah itu jangan dengan semangat pencarian 'kambing hitam.' Bukan dengan dengan keinginan untuk memuja masa lalu yang terang benderang dengan menunjuk sisi kelam pada bagian yang lain. Melainkan pembeberan sejarah yang menggugah, menjadikannya pelajaran sekaligus mendudukkan komplesitas masa lalu yang tidak serba hitam-putih.
Saya bertanya dalam hati, darimana kah ia mendapat pemikiran yang demikian itu? Apakah latarbelakang dirinya, yang lahir dari sebuah keluarga campuran, ayah Simalungun dan ibu peranakan Tionghoa, yang menyebabkannya demikian? Saya benar-benar tidak bisa menduga-duga. Tapi sebuah komentarnya dalam dialog dengan salah seorang peserta milis itu, bernama Alfared Damanik, Martin menulis begini:
Ibu saya -inang Debora Sinaga, seorang pembimbing umum Sek Minggu dan Wanita GKPS- sejak tahun 1968 sampai 1986 keluar masuk Simalungun -dan saya kerap kali ikut- dan memperkenalkan kesetaraan jender dan martabat anak Sekolah Minggu, dan terkadang sambil kelelahan dia mengatakan, "aku nggak ngerti orang Simalungun ini...". Menurut saya itu indikator, betapa menjadi begitu kompleksnya psikologi sosial Simalungun, mungkin campuran ketertutupan dan sedikit rasa rendah diri. Sehingga, memang mesti ada gerakan memintal tali temali Simaluungun lagi, membangun harga diri, membangun -istilah Alfared- social value. Yang saya tidak setuju ialah kita melakukan pengkambinghitaman atas orang Toba. Saya sering sekali diundang berkotbah dan berceramah di HKBP jalan Jambu-Menteng (dan HKBPlainnya), dan mereka mengatakan, ini jemaat intelek pandita, jadi jangan segan-segan berteologia. Toba bagi saya adalah simbol intelektualitas, walau kadang nekad dan tergesa-gesa, sehingga kita yang secara psikologis belum siap, merasa tergerus. Saat anak keluarga SAE Nababan manaksihon/malua, diundanglah semua kerabat, dan acara khususnya ialah mengundang prof Pantur Silaban dari ITB untuk menceritakan fisika modern! (gila... anak baru mengaku percaya, langsung diberondong teori chaos dan sistem fraktal; dan hati saya menerawang tak tentu arah mendengar cerita itu). Kalau kita melihat Toba seperti ini, tentu tidak perlu lagi mengkambinghitamkan Toba. Tentu sejarah bahwa Toba (dalam hal ini, HKBP) pernah membungkam Simalungun, itu sudah dikoreksi, tahun 1963 itu. So, tali-temali Simalungun memang kta harus rajut lagi, demi social value, mungkin dengan keliman enterpreneurship Karo, agar tampak survive di era yang serba ekonomis ini.
horasma, martin sinaga
Apakah kelelahan yang dialami sang Ibu, meresap dalam kedirian seorang MARTIN LUKITO SINAGA sehingga ia memutuskan akan menjadi manusia pasca, manusia pasca Simalungun, bahkan kelak, seperti yang akan kita lihat dalam kiprahnya dalam dialog antaragama, ia juga menjadi manusia pascanasrani?
Jawaban dari pertanyaan itu mungkin tak akan berhenti dalam satu titik. Bahkan jawabannya mungkin tidak akan pernah selesai. MARTIN LUKITO SINAGA tak jemu dan tak henti melakukan pencariannya sehingga ia tak mungkin menjadi manusia dalam satu kandang. Ia mencari terus, untuk mencapai kemungkinan-kemungkinan baru. Pencerahan baru.Bukan hanya untuk dirinya tetapi demi untuk orang lain. Mungkin jemaatnya, jika ia kita tempatkan sebagai pendeta. Tetapi mungkin juga untuk manusia dan kemanusiaan, jika ia kita tempatkan sebagai intelektual.
Saya akan terlalu sombong, dan kemudian akan kelihatan dungu bila berpretensi untuk menjelaskan MARTIN LUKITO SINAGA dengan aneka kerangka berpikir. Sehebat apakah diri saya sehingga saya bisa memenjarakan dia dalam satu gambaran yang kaku? Lebih bodoh lagi bila saya mengatakan saya sepemikiran dengan dia. Sebab seringkali saya juga menduga ia tidak sepaham dengan saya. Lebih tepatnya, saya tak bisa mengikuti dan memahami pikiran-pikirannya. Dengan pengetahuan saya yang sangat terbatas, tentang teologi, tentang sejarah Simalungun, tentang ilmu perubahan sosial, tentang ilmu agama-agama, saya tak kan mampu bahkan untuk sekadar mencerna sejumlah istilah yang ia kemukakan. Seperti seorang pengikut yang sangat tertatih-tatih. Ketinggalan kereta. Kalah cepat dan kalah kapasitas.
Yang mungkin dapat saya katakan adalah saya akan banyak belajar dari dia. Belajar bagaimana menjadi manusia pasca. Jangan lagi terpaku untuk mendesak-desakkan diri untuk menjadi orang Simalungun. Tapi jadilah orang yang pasca Simalungun. Pasca Indonesia. Bahkan menjadi Pasca Nasrani.
APA ITU MANUSIA PASCA NASRANI?
Sebelum para ahli menyelidik saya atas istilah yang rada dimaut-mautkan ini, terlebih dahulu saya akan membela diri untuk mengatakan istilah ini untuk diri saya sendiri belaka. Ini hanya akan saya gunakan untuk diri saya sendiri, dalam menggambarkan sebisa saya, MARTIN LUKITO SINAGA yang saya kenali pikiran-pikirannya dari berbagai sumber terbatas.
Seandainya saya hanya mengenal MARTIN LUKITO SINAGA sebagai seorang pendeta GKPS, seorang yang dilahirkan dalam keluarga Simalungun, Doktor teologia yang menjadi pengajar ilmu agama-agama di STT Jakarta, saya mungkin tak akan menyebutnya sebagai manusia pascaNasrani. Seandainya aktivitasnya hanya diembel-embeli lagi dengan menjadi (pernah) anggota tim Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), mengajar di STF Driyarkara, itu juga tak akan menggugah saya mencari kepascaannya.
Tapi lihatlah apa saja yang ia gumuli. Buku-buku yang ia tulis mau pun yang ia terjemahkan selalu merupakan buku yang agak kontroversial bagi kaum nasrani konservatif. Ia kelihatannya selalu tergoda untuk melihat kemungkinan-kemungkinan baru. 'Apa setelah apa.' Jika dalam hal Simalungun, ia menggelitik saya dengan pertanyaan, 'so what' bila Anda sudah Simalungun, dalam hal agama, ia juga sepertinya selalu menyodorkan pertanyaan bahwa kalau Anda sudah nasrani, so what. Apa setelah itu?
ADa banyak buku yang sudah ia tulis, sunting dan terjemahkan. Hampir semuanya merupakan 'penelaahan' hubungan antara apa yang selama ini dianggap orang 'berseberangan.' Salah satu yang bisa dijadikan contoh, adalah buku karya John D. Caputo, yang judul aslinya adalah On Religion tetapi kemudian is terjemahkan menjadi Agama Cinta, Agama Masa Depan. Saya belum sempat membacanya. Tetapi beberapa kalimat dari tinjauan buku itu yang ditulis oleh Trisno S. Sutanto, mungkin sudah bisa menggambarkan isinya serba sedikit.
“AGAMA TANPA AGAMA”
Mungkinkah beragama tanpa agama? Atau lebih tepat: beriman tanpa
agama? Pertanyaan-pertanyaan itu segera mencuat bagi siapapun yang pernah
membaca buku John D. Caputo, On Religion, yang sudah dialihbahasakan dan
diterbitkan oleh Mizan dengan judul berbeda: Agama Cinta, Agama Masa Depan.(1)
Esai ini mau memberi jawaban positif pada pertanyaan di atas. Malah lebih jauh
lagi mau menandaskan, gagasan Caputo (yang diambil alih dari Jacques Derrida)
tentang “agama tanpa agama” (religion without religion), menurut saya,
seyogianya dipertimbangkan secara serius bagi siapapun yang secara serius dan
jujur mau bergumul dengan “agama” pada jaman sekarang, dan mau “berteologi”,
mau berusaha “berbicara tentang Allah” (theos-logos).
Saya selalu percaya, seorang intelektual tidak netral ketika diminta melakukan sesuatu. Intelektual, sebagaimana di tahun 1966 pernah menjadi perdebatan di kalangan akademis dalam merumuskan strategi pembangunan ekonomi pasca Soekarno, sering digolongkan menjadi intelektual sejati dan intelektual tukang. Yang disebut pertama menggambarkan seseorang yang melakukan sesuatu dengan kesadaran bahwa intelektualitasnya harus berguna dan demi kebaikan. Sementara intelektual jenis kedua, adalah intelektual yang menggunakan kemampuannya tidak lebih 'memenuhi pesanan' si pemesan. Bahwa bagaimana akibat dari tindakan-tindakannya itu, sang intelektual hanya bertanggung jawab kepada kaidah intelektualitasnya. Tidak pada akibat yang ditimbulkannya.
Dengan pola pikir begitu, saya percaya MARTIN LUKITO SINAGA ketika diminta menerjemahkan buku itu, ia tidak dalam posisi netral. Saya sangat yakin ia sedikit banyak bersimpati kepada isi buku itu. Bahkan mungkin itulah pemikiran-pemikiran yang juga ia ingin sebarkan.
Itu makin nyata bila saya membac sebuah tulisannya yang selalu dielu-elukan seorang sahabat saya. Tulisan itu juga mungkin akan kedengaran kontroversial bagi orang seperti saya, yang hanya mengandalkan pemahaman nasraninya pada kenangan semasa Sekolah Minggu. Tetapi kesimpulan yang ia torehkan sebenarnya memberi kesempatan kepada saya menyegarkan iman saya tanpa kehilangan iman yang dulu. Kesadaran sebagai manusia pasca nasrani. Nasrani yang terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru.
Tulisannya di Suara Pembaruan, dengan judul Paskah di Hadapan Kubur Kosong, yang akan kedengaran mengguncang, ia mulai dengan ceritanya tentang bagaimana kegamangan murid-murid Yesus ketika menemukan kubur kosong.
Tulisnya: BERBEDA dengan kitab-kitab Injil lainnya, Injil menurut Markus menutup tuturannya dengan mengejutkan sekali: "Lalu mereka (para murid Yesus) keluar dan lari meninggalkan kubur (Yesus) itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka.
Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut" (Mrk 16:8). Karena sedemikian mengejutkannya, sampai-sampai penyunting dan penyalin Injil Markus itu kemudian menambah ending sampai 12 setengah ayat lagi; namun para ahli Biblika bersepakat, Markus (kitab Injil tertua itu) menutup narasi hidup Yesus dengan kisah Kubur Kosong!
Menurut MLS, jika ending cerita itu adalah kubur kosong, bukan sebuah kesaksian bahwa murid-murid itu melihat Yesus bangkit, apakah nanti kisah kebangkitan itu tidak akan berkembang, sebagaimana dalam kata-kata Martin sendiri, menjadi " gosip, kabar angin, dan produk sikap subjektif?"
MARTIN LUKITO SINAGA memberi penjelasannya sendiri dengan meneropong situasi Markus. Menurut dia, Markus adalah bagian dari generasi kedua Kekristenan yang terkejut dengan deraan hidup, yang dikira semula akan usai kalau Kristus yang bangkit datang mengangkat mereka keluar dari beban sehari-hari. Sehingga, suatu iman yang mengira bisa secara penuh mengubah realitas, bagi Markus, malah akan membahayakan Kekristenan.
MARTIN LUKITO SINAGA menambahkan, bagi Markus, kebangkitan bukanlah triumfalismetotal atas kesusahan sehari-hari. Paskah bukanlah kemenangan akhir. Baginya, Paskah berarti bahwa jalan masih terbuka ("sekarang pergilah ... ke Galilea") untuk bertemu Kristus Sang Anak Manusia itu, di setiap perkara hidup.
Dan, jalan terbuka itu harus dijalani terus, apalagi semua tahu, Kristus Sang Anak Manusia baru saja berjalan dengan kepala yang berdarah. Jangan sampai mahkota duri terlupakan, sebab melalui ketekunan menghadapi kesulitan hidup sehari-harilah Yesus dinyatakan sebagai kekasih Allah.
Dalam tulisan itu MARTIN LUKITO SINAGA menuliskan pesan yang sangat klasik tapi sering terlupakan. Bahwa dengan menjadi nasrani seseorang tidaklah akan selalu dikelilingi oleh kolam surga (istilah ini saya dapatkan dari seorang rekan berinisial JRS), melainkan juga perjuangan:
Hal itu perlu dicatat, sebab sejak semula para murid Yesus saat itu hanya mau melihat Yesus selaku Mesias-Penebus, yang memberi mereka makan (melalui mukjizat penggandaan lima roti dan dua ikan).
Akan tetapi, mereka buta mengenai Yesus Sang Hamba Allah yang menderita, yang memberi nyawa-Nya bagi sesama (Mrk 10:35-45).
Makanya, makin tambah penjelasan mengapa Markus menutup kisah Injil-nya dengan mendadak dalam lakon para murid yang takut, hal itu dilakukan agar kita kini -pembaca kontemporer Injil Markus- masuk dan menggantikan para murid yang tersekap dalam gentar dan kecut itu.
Kini, kita pun berdiri di hadapan kubur kosong, dan dipesankan bahwa Yesus sudah bangkit, dan malah telah mendahului kita melanjutkan lagi perjalanan memasuki setiap kelok perkara hidup sehari-hari. Dan, jalan terus terbuka, sekalipun berita kebangkitan itu lebih sebagai produk sikap subjektif iman, bukan suatu ihwal objektif yang beku.
Kita yang berdiri di hadapan jalan yang terbuka itu -sambil menemukan inspirasi dari kisah Paskah menurut Injil Markus - perlu juga terus ikut mengambil langkah menemukan makna kisah Paskah ini bagi kita. Paskah-Kebangkitan tampaknya serentak adalah suatu tindakan Allah dan juga langkah manusia.
"Kebangkitan Yesus Anak Manusia yang mati di salib" itu kini menjadi suatu metafora rohani, suatu pesan akan keserbamungkinan untuk tetap melangkah dan tidak tersekap dalam fatigue (kelelahan buntu) hidup sehari-hari di negeri yang mencoba bertransisi ini.
Kepascanasranian MARTIN LUKITO SINAGA kemudian makin terlihat bukan saja dalam hal bagaimana ia memahami dirinya dalam hubungannya dengan imannya sendiri. Tetapi juga bagaimana dirinya sebagai orang nasrani, berhubungan dengan lingkungannya dan juga dengan sesama penganut agama lain.
Ia selalu berusaha menjadi manusia pasca dalam hal ini. Ia selalu hadir di tengah berbagai konflik, sebagai manusia pasca, manusia pengubung tetapi bukan sekadar menghubungkan melainkan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Ia dengan aktif melibatkan diri pada isu-isu kesetaraan jender. Melibatkan diri dalam pemikiran, tetapi seringkali ikut aktif dalam berbagai aksi.
Dalam sebuah seminar bertajuk Perempuan dan Fundamentalisme ia tak ragu membedah kesadaran kita bahwa dalam agama mana pun terdapat kemungkina paham dan tindakan fundamentalis. Seperti kemudian dikutip sebuah laporan dalam seminar itu MARTIN LUKITO SINAGA mengatakan, bahwa fundamentalisme dalam Kristen bisa dilihat antara lain dari tindakan meledakkan klinik-klinik aborsi di AS. "Perilaku fundamentalis salah satunya adalah pelarangan perempuan menjadi imam dalam agama Protestan," ujar MLS. Karena di negara maju demokratisasi, HAM, ketertiban sosial, sudah berjalan baik, maka problem fundamentalisme kemudian bermuara di rumah."Bentuknya adalah kekerasan dalam rumah tangga."
Tidak mengherankan bila dalam pencarian dan pengukuhannya sebagai manusia pasca, ia tidak terlihat canggung bergaul dengan beragam orang dari berbagai latarbelakang. Ia akrab dengan kalangan Muslim dari golongan mana pun. Ia kerap dipanggil dalam berbagai forum dialog antar Agama. Dan dia terlibat sangat aktif dalam Masyarakat Dialog Antar Agama).
Ia selalu muncul sebagai manusia yang mencoba mencari jalan 'mendamaikan' bila terjadi konflik bernuansa agama, lewat aneka lembaga yang peduli akan hal itu. Di dalam dan di luar negeri. Bahkan dugaan saya, ia mungkin sudah lebih 'kandung' sebagai saudara dengan orang-orang dari kalangan agama lain, dibanding dengan lingkungan darimana Martin berada. Ulil A. Abdala, salah seorang manusia pasca dari kalangan Muslim konon termasuk kawan dekatnya yang sudah dalam taraf saling bercanda tentang absurditas kaumnya masing-masing. Di kalangan NU, seperti pernah saya baca dalam sebuah rangkuman diskusi di lingkungan intern mereka, menyebut nama MARTIN LUKITO SINAGA sudah seperti menyebut nama seseorang yang sudah mereka kenali sampai kepada lipatan terkecil pikiran-pikirannya.
Dan dugaan saya, ini semua ia lakukan karena ia tahu, masih banyak yang harus dikerjakan manusia, agar tidak selalu hanya 'memperalat' agama dan juga memperalat Tuhan. Sebab, seperti ia katakan,
Dan, tampaknya memang hari-hari kita sudah lelah pasca-tumbangnya rezim Soeharto: mulai dari kerusuhan, konflik horizontal, kekerasan konspiratif aparat negara, sampai kegalauan menghadapi kebijakan kenaikan BBM yang tampak angkuh dan tak perduli dengan hidup sehari-hari rakyat kecil.
Tetapi, justru kita tidak boleh berlindung pada agama di tengah-tengah semua itu, tidak juga kita boleh mengungsi kepada Tuhan. Paskah bukan tentang jaminan bahwa semua hal akan dibereskan oleh Tuhan, bukan pula semua kesulitan akan lenyap. Paskah, bagaimanapun, bukan perayaan akhir zaman. Namun, Paskah adalah undangan bagi manusia -yang kalau mau memakai mata hati imannya - untuk terus melangkah, bekerja dengan mata yang terarah ke depan. Ia kiranya sudi bekerja dalam detail-detail keseharian, dan mencoba memantapkan kakinya, walau tahu bahwa arah hidup bersama di Indonesia ini serba tidak menentu.
Seandainya jarum jam tidak menunjukkan bahwa malam telah larut, barangkali saya masih akan menulis lebih panjang lagi tentang MLS, seorang tokoh, seorang teolog dan seseorang yang di masa depan, saya yakin, masih akan banyak berbuat untuk negeri ini. Yang membuat orang Simalungun bangga bahwa MARTIN LUKITO SINAGA pernah dilahirkan sebagai orang Simalungun.
Saya tahu, mungkin akan banyak yang bertanya buat apa menulis tentang MLS, seseorang yang tidak perlu ditulis berpanjang-panjang karena pikiran-pikirannya sendiri sudah memperkenalkan dirinya sendiri. Dan itu betul.
Tetapi untuk menghibur diri sendiri, dan karena itu mohon diterimalah tulisan ini sebagai sebuah upaya saya untuk menulis sambil mendalami dan meresapkan lagi apa yang pernah dan telah ia pikirkan. Semacam kebiasaan yang kita lakukan dulu di masa Sekolah Menengah atau di tingkat awal kuliah. Kita diharuskan mencatat kembali pelajaran Sekolah. Meringkas dua atau tiga bab dari sejumlah buku yang berbeda. Bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk diri kita sendiri. Karena ketika mencatat, kita juga meresapkan apa yang kita catat.
Dan saya ingin mengakhiri tulisan ini, tentang MARTIN LUKITO SINAGA Si Manusia Pasca, dengan mengetengahkan sebuah wawancara dengan majalah Pantau, yang dalam hemat saya mengukuhkan kepascaan dirinya. Wawancara ini telah menyebar kemana-mana sehingga setiap kali kita mengetik nama Martin Lukito Sinaga di mesin pencari Google atau Yahoo, wawancara ini akan selalu muncul. Bahkan dalam beberapa hal, sering kali secara sepotong-potong digunakan orang justru untuk mendiskreditkan dirinya dan pikirannya, untuk selanjutnya mendiskreditkan orang nasrani sendiri.
KRISTENISASI BUKAN ILUSI
Kristenisasi itu tidak ilusi. Itu sungguh-sungguh terjadi. Menurut saya, umat Kristen dan umat Islam perlu mencarikan solusinya bersama-sama. Sebagai orang Kristen, saya berkewajiban secara internal untuk memperkenalkan teologi agama-agama ini, dan mengajak mereka untuk lebih luas memahami agama.
“Banyak orang Kristen yang justru mendangkalkan Injil. Mereka memperlakukan Injil sebagai sepotong kata yang bisa dipakai sebagai ajian simsalabim,” demikian otokritik Pdt. Dr. Martin Sinaga, dosen Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta.
Tentu saja, kritiknya ini relevan untuk kaum muslimin yang acapkali melakukan generalisasi bahwa orang Kristen adalah monolitik dalam bersikap. Pdt. Martin yang juga aktivis Masyarakat Dialog Antar-agama (MADIA) ini juga mengulas sisik melik teologi agama-agama yang membuka peluang bagi umat beragama untuk saling menghampiri dalam sukacita, hikmah, kerelaan dan harapan.
Berikut ini petikan wawancara Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Pdt. Dr. Martin Sinaga yang juga aktif di International Conference for Relegion and Peace (ICRP). Penyunting buku Meretas Jalan Teologi Agama-agama ini berdialog seputar tema “Teologi Agama-agama” di Radio 68H pada hari Kamis, 16 Mei 2002.
Apa yang dimaksud teologi agama-agama?
Teologi agama-agama tergolong istilah baru dalam bahasa resminya, theologia religionum. Secara sederhana dapat diartikan —misalnya— cara saya merumuskan keimanan di hadapan saudara-saudara lain yang berbeda keimanan dengan saya.
Jadi lebih bersifat interaksi antarpersonal?
Ya. Justru karena saya melihat kebenaran lain pada lain agama, saya ingin membaca dan menghayati ulang kebenaran agama saya, walaupun berbeda dengan agama lain.
Apa yang membedakannya dengan doktrin Kristen sebelumnya?
Sebelumnya doktrin Kristen tumbuh ketika dia harus keluar dari agama Yahudi. Sehingga dalam doktrin awalnya dikatakan bahwa agama Yahudi tidak tahu kalau sebenarnya ada keselamatan dalam Kristus. Lalu doktrin Kristen berkembang dan berinteraksi dengan Filsafat Yunani. Lantas, orang Kristen mengatakan:
“Soalnya tidak semata soal jiwa, tapi juga menyangkut tubuh.” Karena itu, Kristus harus mati dalam tubuhnya.
Dalam perkembangan mutakhir, doktrin tersebut dirumuskan dalam rangka pencerahan modern, dimana orang Kristen semakin mengalami kesulitan dalam pencerahan. Muncul kemudian kritik, apakah agama itu masih meyakinkan? Orang Kristen lantas mati-matian membela dan membuktikan masih relevannya keberimanan.
Tetapi sekarang muncul tantangan baru, ketika kekristenan muncul ke seluruh bumi dan para penginjil dikirim ke semua tempat. Memang, ada momen di mana orang menjadi Kristen, tapi juga ada momen, orang-orang tetap tidak Kristen. Seorang pengabar Injil besar bernama Henry Kraemer, pendiri Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta sampai harus membuka topinya ketika dia melakukan misinya di daerah pasundan. Lalu berkata:
“Islam is the crown of Sunda.” Ternyata, mahkota orang Sunda itu Islam.
Kalau begitu, tentu harus muncul refleksi baru yang tidak hanya mengatakan agama menjadi kebenaran untukmu yang menjamin dan menyelamatkanmu. Tetapi, formulasi berubah: “Kalau memang kalian bisa hidup lebih baik, sungguh-sungguh benar tanpa menjadi Kristen, maka telah tiba saatnya, di mana kita berdialog dan bertemu tanpa pretensi untuk mengkristenkan.”
Bagaimana dampak paham ini terhadap konsep pengabaran Injil? Kenyataannya, aktivitas kristenisasi riil dilihat umat Islam. Bukankah teologi agama-agama bisa menghalangi pengabaran Injil?
Tepat sekali. Tetapi sedikit ada nuansa yang berbeda di situ. Pada tahun 1967-an, pemerintah mempertemukan M. Natsir dan TB. Simatupang untuk meneken surat agar umat yang telah beragama tidak menjadi objek pengabaran Injil. Hanya yang belum beragama sajalah yang dikabarkan Injil. Tapi, Simatupang mengatakan: “Lho, pengabaran Injil kan semangat terdalam kekristenan. Kalaupun diteken, nantinya di lapangan bisa berjalan lain.”
Tapi sekarang berbeda. Menurut saya, pengabaran Injil yang dilakukan dengan semangat teologi agama-agama, tidak lagi menemui seseorang dengan agenda menjadikannya Kristen; tidak lagi dengan agenda yang menganggap agama di luar Kristen tidak baik dan benar. Agendanya adalah: “Bolehkah saya dengan keyakinan Kristiani bersama Anda-anda —yang meyakini Islam dan mengundang saya ke sini dengan konsep dakwahnya— berbagi harapan di tengah-tengah kehidupan yang seolah tidak ada harapan dan senantiasa bersama kekerasan ini?” Bisakah dengan basis agama masing-masing kita mengabarkan kekuatan agama dan berbagi harapan di tengah kehidupan yang konkret? Jadi, di situ makna misi akhirnya.
Di kalangan umat Islam, ada kekhawatiran akan misi penginjilan dengan kekuatan finansial yang kuat, serta sampai menjamah ke daerah-daerah terpencil. Bagaimana tanggapan Anda?
Betul, kristenisasi itu tidak ilusi. Itu sungguh-sungguh terjadi. Menurut saya, umat Kristen dan umat Islam perlu mencarikan solusinya bersama-sama. Sebagai orang Kristen, saya berkewajiban secara internal untuk memperkenalkan teologi agama-agama ini, dan mengajak mereka untuk lebih luas memahami agama. Jangan sampai mereka mendangkalkan Injil, seolah-olah Injil adalah sekadar menerima Kristus; Kristus adalah juru selamat, lalu selesai. Akibatnya, yang muncul adalah kesan seolah-olah itulah sebenarnya pesan Kristen.
Padahal, lebih luas dari itu adalah bagaimana menciptakan tatanan bersama, untuk menjadikan hidup lebih baik dan benar. Jadi ini juga tugas pertama intern orang Kristen.
Saya pernah mengatakan kepada salah satu tokoh Yayasan Paramadina bahwa dalam Islam terkandung anjuran sifat sabar untuk menghadapi orang-orang yang agresif itu. Dalam Islam juga terkandung kewaskitaan untuk lebih mempercanggih diri dan menghadapi permasalahan substansial, semisal anak-anak kecil yang kurang memahami makna hidup, sehingga terkesan sloganistis saja. Saya kira, kalau kita melakukan ini bersama-sama, maka barangkali dakwah Islam dan pengabaran Injil atau misi, dapat bersama berbagi harapan di tengah-tengah kehidupan di negeri ini.
Tadi Anda bilang jangan sampai mendangkalkan Injil. Apakah memang ada orang Kristen yang mendangkalkan kitab sucinya?
Memang ada orang yang mendangkalkan Injil, terutama orang Kristen yang menganggap Injil hanyalah sepotong kata. Artinya, kalau sudah menerima Kristus, selesailah semua. Seolah-olah, kekristenan adalah ajian simsalabim, lalu masuk surga dan seterusnya. Ini yang sering dijajakan secara eceran di jalan-jalan. Padahal, Injil atau semangat Kristen selalu berproses dan menyejarah. Seperti agama lain, tidak bisa dikatakan always coca-cola. Menurut saya, ada perubahan dalam konsep teologi agama-agama mengenai sikap Kristen terhadap Islam. Dulu ada sikap ingin mengkristenkan orang Islam. Tapi sekarang ada perubahan, karena orang belajar. Karena ada kebijaksanaan dan kebesaran hati umat Islam. Jadi karena umat Islam bermurah hati menerima kekristenan, dengan begitu kekristenan mesti menganggap sebagai sahabat, sesama. Bahkan sekarang, menurut saya orang Kristen perlu menganggap umat Islam sebagai kakaknya di negeri ini.
Kembali ke persoalan kristenisasi tadi, ada penilaian bahwa aktivitas kristenisasi ini ditunjang oleh dana berlimpah. Menurut Anda bagaimana?
Saya tidak mau terlalu membela kekristenan. Saya ingin memaparkan sejarah misionari secara objektif. Betul, misionari itu dibebani oleh kolonialisme yang dulu didukung oleh Belanda. Namun dalam kenyataannya, kristenisasi tersebut tidaklah berhasil. Beban lain, terutama dari Amerika Serikat, adalah kenyataan mereka punya media dan uang untuk melancarkan misionari.
Menurut saya, orang Kristen memang harus keluar dari pendekatan lama ini. Dan, orang Kristen tetap harus mewujudkan misinya dalam artian kesediaan mewujudkan harapannya bersama harapan mereka yang beragama Islam melalui kriteria ketiga dakwah Islam (hikmah, nasihat baik atau mau’idhoh hasanah, dan berdiskusi secara sehat). Saya kira, mari kita menunggu orang Kristen berubah. Saya kira, kawan-kawan Muslim ikut membantu mereka berubah sebagaimana saya juga mengajak perubahan itu terjadi dari dalam.
Apakah ada batasan-batasan dalam pengabaran Injil itu?
Sebenarnya, konsep dasarnya tidak terkait dengan keberubahan agama. Konsep dasarnya lebih terkait dengan cinta-kasih yang dialami Kristus seraya hendak dirayakan oleh siapa pun, dan dimana pun. Seringkali kita terjebak dengan asumsi: “Kalau begitu, harus pindah agama dan bikin gereja, dong?” Menurut saya, ekses itu harus tegas dihindari. Sekarang, semua agama boleh membagi-bagi sukacita, harapan, perspektif, bahkan hikmah.
Kemudian, bagaimana sebenarnya perubahan dari Katolik ke Protestan, sehingga menimbulkan pertanyaan soal konsistensi akidah. “Kok, akidah terkesan tidak serius, sampai berubah-ubah?” Hal ini menyangkut sejarah Kristen yang ribuan tahun. Menurut saya, Martin Luther sedikit memberikan penekanan pada sikap beriman sebagai yang menentukan dalam masalah akidah. Di Katolik, dulu agak dibebani oleh Paus atau tradisi.
Sehingga, Luther melihat perlu ada penekanan yang lain.
Pak Martin, banyak yang salah memahami konsep Trinitas untuk kalangan non-Kristen. Sebenarnya konsep Tuhan dalam Kristen itu seperti apa?
Saya berdoa selalu kepada Allah. Dalam Kristen, ada kata Tuhan. Sebetulnya, dalam kamus dengan gampang dikatakan, bahwa Allah adalah nama Tuhan. Jadi Tuhan itu generiknya. Dalam Kristen memang ada tendensi menyebut Yesus/Kristus sebagai Tuhan. Dan menurut Lemisiladi, dulu orang Indonesia tidak punya kata Tuhan, tapi ada kata “tuan.” Lantas orang Kristen penerjemah Kitab berkata: bagaimana cara menghubungkan Yesus yang (katakanlah) punya kadar keilahian. Akhirnya, muncul ide untuk memakai “h” di tengah menjadi “Tu(h)an.”
Tapi yang hendak saya katakan, orang Kristen pun memuja Allah. Dan Tuhan di arahkan kepada Kristus.
Kenapa? Karena dalam Kristus, Allah juga menampakkan dirinya. Begitu kira-kira. Last but not least, saya kira, agama itu seperti bahasa. Masing-masing bahasa berdiri sebagai kesatuan organik. Tetapi, ketika mereka berjumpa, terjadi pengayaan (enrichment) timbal balik.
Misalnya, sebagai orang Kristen, saya merasa diperkaya oleh semangat Tauhid Islam.
Walaupun saya tetap menjalankan kekristenan saya, tapi Tauhid itu membantu untuk melihat makna keilahian sendiri. Jadi memang ada perjumpaan, meskipun harus perlu diakui adanya keberbedaan. (majalah Pantau)
Membaca wawancara ini saya membayangkan, bagaimana seandainya MARTIN LUKITO SINAGA menapak tilas lagi pelajaran-pelajaran yang ia terima dulu ketika masih di Sekolah Minggu? Bagaimana ia menempatkan pikiran-pikirannya sekarang dengan keyakinan-keyakinan yang dulu sempat ia peroleh? Apakah ia akan menilai dirinya sebagai seseorang yang sudah tercerabut kemudian menjelma jadi sosok yang lain?
Dugaan saya tidak. Sebab dalam hemat dia, ketika ia menjelaskan defenisinya sendiri tentang manusia Pasca Simalungun, manusia Simalungun yang pasca adalah orang Simalungun yang tetap Simalungun tetapi go beyond Simalungun. Sama halnya dengan seseorang yang lulus dari pasca sarjana, seseorang yang tetap sarjana tetapi sudah melampaui kesarjanaannya. Begitu pula lah ia sebagai manusia pasca nasrani, manusia yang tetap nasrani, yang tetap berjalan dengan bekal pelajaran Sekolah Minggu dulu, tetapi terus berjalan beyond kenasranian itu. Nasrani yang tercerahkan dan terus ingin mendapat pencerahan.
Terimakasih Bung MLS. Izinkan saya menyapa Anda Bung, untuk mengingatkan bahwa ternyata saya mungkin lebih tua dari Anda. Yang juga menandakan kesempatan Anda berkarya masih lebih panjang. Dan banyak orang, termasuk saya, akan mencatatnya diam-diam.
Saya selalu percaya, seorang intelektual tidak netral ketika diminta melakukan sesuatu. Intelektual, sebagaimana di tahun 1966 pernah menjadi perdebatan di kalangan akademis dalam merumuskan strategi pembangunan ekonomi pasca Soekarno, sering digolongkan menjadi intelektual sejati dan intelektual tukang. Yang disebut pertama menggambarkan seseorang yang melakukan sesuatu dengan kesadaran bahwa intelektualitasnya harus berguna dan demi kebaikan. Sementara intelektual jenis kedua, adalah intelektual yang menggunakan kemampuannya tidak lebih 'memenuhi pesanan' si pemesan. Bahwa bagaimana akibat dari tindakan-tindakannya itu, sang intelektual hanya bertanggung jawab kepada kaidah intelektualitasnya. Tidak pada akibat yang ditimbulkannya.
Dengan pola pikir begitu, saya percaya MARTIN LUKITO SINAGA ketika diminta menerjemahkan buku itu, ia tidak dalam posisi netral. Saya sangat yakin ia sedikit banyak bersimpati kepada isi buku itu. Bahkan mungkin itulah pemikiran-pemikiran yang juga ia ingin sebarkan.
Itu makin nyata bila saya membac sebuah tulisannya yang selalu dielu-elukan seorang sahabat saya. Tulisan itu juga mungkin akan kedengaran kontroversial bagi orang seperti saya, yang hanya mengandalkan pemahaman nasraninya pada kenangan semasa Sekolah Minggu. Tetapi kesimpulan yang ia torehkan sebenarnya memberi kesempatan kepada saya menyegarkan iman saya tanpa kehilangan iman yang dulu. Kesadaran sebagai manusia pasca nasrani. Nasrani yang terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru.
Tulisannya di Suara Pembaruan, dengan judul Paskah di Hadapan Kubur Kosong, yang akan kedengaran mengguncang, ia mulai dengan ceritanya tentang bagaimana kegamangan murid-murid Yesus ketika menemukan kubur kosong.
Tulisnya: BERBEDA dengan kitab-kitab Injil lainnya, Injil menurut Markus menutup tuturannya dengan mengejutkan sekali: "Lalu mereka (para murid Yesus) keluar dan lari meninggalkan kubur (Yesus) itu, sebab gentar dan dahsyat menimpa mereka.
Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada siapa pun juga karena takut" (Mrk 16:8). Karena sedemikian mengejutkannya, sampai-sampai penyunting dan penyalin Injil Markus itu kemudian menambah ending sampai 12 setengah ayat lagi; namun para ahli Biblika bersepakat, Markus (kitab Injil tertua itu) menutup narasi hidup Yesus dengan kisah Kubur Kosong!
Menurut MLS, jika ending cerita itu adalah kubur kosong, bukan sebuah kesaksian bahwa murid-murid itu melihat Yesus bangkit, apakah nanti kisah kebangkitan itu tidak akan berkembang, sebagaimana dalam kata-kata Martin sendiri, menjadi " gosip, kabar angin, dan produk sikap subjektif?"
MARTIN LUKITO SINAGA memberi penjelasannya sendiri dengan meneropong situasi Markus. Menurut dia, Markus adalah bagian dari generasi kedua Kekristenan yang terkejut dengan deraan hidup, yang dikira semula akan usai kalau Kristus yang bangkit datang mengangkat mereka keluar dari beban sehari-hari. Sehingga, suatu iman yang mengira bisa secara penuh mengubah realitas, bagi Markus, malah akan membahayakan Kekristenan.
MARTIN LUKITO SINAGA menambahkan, bagi Markus, kebangkitan bukanlah triumfalismetotal atas kesusahan sehari-hari. Paskah bukanlah kemenangan akhir. Baginya, Paskah berarti bahwa jalan masih terbuka ("sekarang pergilah ... ke Galilea") untuk bertemu Kristus Sang Anak Manusia itu, di setiap perkara hidup.
Dan, jalan terbuka itu harus dijalani terus, apalagi semua tahu, Kristus Sang Anak Manusia baru saja berjalan dengan kepala yang berdarah. Jangan sampai mahkota duri terlupakan, sebab melalui ketekunan menghadapi kesulitan hidup sehari-harilah Yesus dinyatakan sebagai kekasih Allah.
Dalam tulisan itu MARTIN LUKITO SINAGA menuliskan pesan yang sangat klasik tapi sering terlupakan. Bahwa dengan menjadi nasrani seseorang tidaklah akan selalu dikelilingi oleh kolam surga (istilah ini saya dapatkan dari seorang rekan berinisial JRS), melainkan juga perjuangan:
Hal itu perlu dicatat, sebab sejak semula para murid Yesus saat itu hanya mau melihat Yesus selaku Mesias-Penebus, yang memberi mereka makan (melalui mukjizat penggandaan lima roti dan dua ikan).
Akan tetapi, mereka buta mengenai Yesus Sang Hamba Allah yang menderita, yang memberi nyawa-Nya bagi sesama (Mrk 10:35-45).
Makanya, makin tambah penjelasan mengapa Markus menutup kisah Injil-nya dengan mendadak dalam lakon para murid yang takut, hal itu dilakukan agar kita kini -pembaca kontemporer Injil Markus- masuk dan menggantikan para murid yang tersekap dalam gentar dan kecut itu.
Kini, kita pun berdiri di hadapan kubur kosong, dan dipesankan bahwa Yesus sudah bangkit, dan malah telah mendahului kita melanjutkan lagi perjalanan memasuki setiap kelok perkara hidup sehari-hari. Dan, jalan terus terbuka, sekalipun berita kebangkitan itu lebih sebagai produk sikap subjektif iman, bukan suatu ihwal objektif yang beku.
Kita yang berdiri di hadapan jalan yang terbuka itu -sambil menemukan inspirasi dari kisah Paskah menurut Injil Markus - perlu juga terus ikut mengambil langkah menemukan makna kisah Paskah ini bagi kita. Paskah-Kebangkitan tampaknya serentak adalah suatu tindakan Allah dan juga langkah manusia.
"Kebangkitan Yesus Anak Manusia yang mati di salib" itu kini menjadi suatu metafora rohani, suatu pesan akan keserbamungkinan untuk tetap melangkah dan tidak tersekap dalam fatigue (kelelahan buntu) hidup sehari-hari di negeri yang mencoba bertransisi ini.
Kepascanasranian MARTIN LUKITO SINAGA kemudian makin terlihat bukan saja dalam hal bagaimana ia memahami dirinya dalam hubungannya dengan imannya sendiri. Tetapi juga bagaimana dirinya sebagai orang nasrani, berhubungan dengan lingkungannya dan juga dengan sesama penganut agama lain.
Ia selalu berusaha menjadi manusia pasca dalam hal ini. Ia selalu hadir di tengah berbagai konflik, sebagai manusia pasca, manusia pengubung tetapi bukan sekadar menghubungkan melainkan untuk mencari kemungkinan-kemungkinan baru. Ia dengan aktif melibatkan diri pada isu-isu kesetaraan jender. Melibatkan diri dalam pemikiran, tetapi seringkali ikut aktif dalam berbagai aksi.
Dalam sebuah seminar bertajuk Perempuan dan Fundamentalisme ia tak ragu membedah kesadaran kita bahwa dalam agama mana pun terdapat kemungkina paham dan tindakan fundamentalis. Seperti kemudian dikutip sebuah laporan dalam seminar itu MARTIN LUKITO SINAGA mengatakan, bahwa fundamentalisme dalam Kristen bisa dilihat antara lain dari tindakan meledakkan klinik-klinik aborsi di AS. "Perilaku fundamentalis salah satunya adalah pelarangan perempuan menjadi imam dalam agama Protestan," ujar MLS. Karena di negara maju demokratisasi, HAM, ketertiban sosial, sudah berjalan baik, maka problem fundamentalisme kemudian bermuara di rumah."Bentuknya adalah kekerasan dalam rumah tangga."
Tidak mengherankan bila dalam pencarian dan pengukuhannya sebagai manusia pasca, ia tidak terlihat canggung bergaul dengan beragam orang dari berbagai latarbelakang. Ia akrab dengan kalangan Muslim dari golongan mana pun. Ia kerap dipanggil dalam berbagai forum dialog antar Agama. Dan dia terlibat sangat aktif dalam Masyarakat Dialog Antar Agama).
Ia selalu muncul sebagai manusia yang mencoba mencari jalan 'mendamaikan' bila terjadi konflik bernuansa agama, lewat aneka lembaga yang peduli akan hal itu. Di dalam dan di luar negeri. Bahkan dugaan saya, ia mungkin sudah lebih 'kandung' sebagai saudara dengan orang-orang dari kalangan agama lain, dibanding dengan lingkungan darimana Martin berada. Ulil A. Abdala, salah seorang manusia pasca dari kalangan Muslim konon termasuk kawan dekatnya yang sudah dalam taraf saling bercanda tentang absurditas kaumnya masing-masing. Di kalangan NU, seperti pernah saya baca dalam sebuah rangkuman diskusi di lingkungan intern mereka, menyebut nama MARTIN LUKITO SINAGA sudah seperti menyebut nama seseorang yang sudah mereka kenali sampai kepada lipatan terkecil pikiran-pikirannya.
Dan dugaan saya, ini semua ia lakukan karena ia tahu, masih banyak yang harus dikerjakan manusia, agar tidak selalu hanya 'memperalat' agama dan juga memperalat Tuhan. Sebab, seperti ia katakan,
Dan, tampaknya memang hari-hari kita sudah lelah pasca-tumbangnya rezim Soeharto: mulai dari kerusuhan, konflik horizontal, kekerasan konspiratif aparat negara, sampai kegalauan menghadapi kebijakan kenaikan BBM yang tampak angkuh dan tak perduli dengan hidup sehari-hari rakyat kecil.
Tetapi, justru kita tidak boleh berlindung pada agama di tengah-tengah semua itu, tidak juga kita boleh mengungsi kepada Tuhan. Paskah bukan tentang jaminan bahwa semua hal akan dibereskan oleh Tuhan, bukan pula semua kesulitan akan lenyap. Paskah, bagaimanapun, bukan perayaan akhir zaman. Namun, Paskah adalah undangan bagi manusia -yang kalau mau memakai mata hati imannya - untuk terus melangkah, bekerja dengan mata yang terarah ke depan. Ia kiranya sudi bekerja dalam detail-detail keseharian, dan mencoba memantapkan kakinya, walau tahu bahwa arah hidup bersama di Indonesia ini serba tidak menentu.
Seandainya jarum jam tidak menunjukkan bahwa malam telah larut, barangkali saya masih akan menulis lebih panjang lagi tentang MLS, seorang tokoh, seorang teolog dan seseorang yang di masa depan, saya yakin, masih akan banyak berbuat untuk negeri ini. Yang membuat orang Simalungun bangga bahwa MARTIN LUKITO SINAGA pernah dilahirkan sebagai orang Simalungun.
Saya tahu, mungkin akan banyak yang bertanya buat apa menulis tentang MLS, seseorang yang tidak perlu ditulis berpanjang-panjang karena pikiran-pikirannya sendiri sudah memperkenalkan dirinya sendiri. Dan itu betul.
Tetapi untuk menghibur diri sendiri, dan karena itu mohon diterimalah tulisan ini sebagai sebuah upaya saya untuk menulis sambil mendalami dan meresapkan lagi apa yang pernah dan telah ia pikirkan. Semacam kebiasaan yang kita lakukan dulu di masa Sekolah Menengah atau di tingkat awal kuliah. Kita diharuskan mencatat kembali pelajaran Sekolah. Meringkas dua atau tiga bab dari sejumlah buku yang berbeda. Bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk diri kita sendiri. Karena ketika mencatat, kita juga meresapkan apa yang kita catat.
Dan saya ingin mengakhiri tulisan ini, tentang MARTIN LUKITO SINAGA Si Manusia Pasca, dengan mengetengahkan sebuah wawancara dengan majalah Pantau, yang dalam hemat saya mengukuhkan kepascaan dirinya. Wawancara ini telah menyebar kemana-mana sehingga setiap kali kita mengetik nama Martin Lukito Sinaga di mesin pencari Google atau Yahoo, wawancara ini akan selalu muncul. Bahkan dalam beberapa hal, sering kali secara sepotong-potong digunakan orang justru untuk mendiskreditkan dirinya dan pikirannya, untuk selanjutnya mendiskreditkan orang nasrani sendiri.
KRISTENISASI BUKAN ILUSI
Kristenisasi itu tidak ilusi. Itu sungguh-sungguh terjadi. Menurut saya, umat Kristen dan umat Islam perlu mencarikan solusinya bersama-sama. Sebagai orang Kristen, saya berkewajiban secara internal untuk memperkenalkan teologi agama-agama ini, dan mengajak mereka untuk lebih luas memahami agama.
“Banyak orang Kristen yang justru mendangkalkan Injil. Mereka memperlakukan Injil sebagai sepotong kata yang bisa dipakai sebagai ajian simsalabim,” demikian otokritik Pdt. Dr. Martin Sinaga, dosen Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta.
Tentu saja, kritiknya ini relevan untuk kaum muslimin yang acapkali melakukan generalisasi bahwa orang Kristen adalah monolitik dalam bersikap. Pdt. Martin yang juga aktivis Masyarakat Dialog Antar-agama (MADIA) ini juga mengulas sisik melik teologi agama-agama yang membuka peluang bagi umat beragama untuk saling menghampiri dalam sukacita, hikmah, kerelaan dan harapan.
Berikut ini petikan wawancara Nong Darol Mahmada dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Pdt. Dr. Martin Sinaga yang juga aktif di International Conference for Relegion and Peace (ICRP). Penyunting buku Meretas Jalan Teologi Agama-agama ini berdialog seputar tema “Teologi Agama-agama” di Radio 68H pada hari Kamis, 16 Mei 2002.
Apa yang dimaksud teologi agama-agama?
Teologi agama-agama tergolong istilah baru dalam bahasa resminya, theologia religionum. Secara sederhana dapat diartikan —misalnya— cara saya merumuskan keimanan di hadapan saudara-saudara lain yang berbeda keimanan dengan saya.
Jadi lebih bersifat interaksi antarpersonal?
Ya. Justru karena saya melihat kebenaran lain pada lain agama, saya ingin membaca dan menghayati ulang kebenaran agama saya, walaupun berbeda dengan agama lain.
Apa yang membedakannya dengan doktrin Kristen sebelumnya?
Sebelumnya doktrin Kristen tumbuh ketika dia harus keluar dari agama Yahudi. Sehingga dalam doktrin awalnya dikatakan bahwa agama Yahudi tidak tahu kalau sebenarnya ada keselamatan dalam Kristus. Lalu doktrin Kristen berkembang dan berinteraksi dengan Filsafat Yunani. Lantas, orang Kristen mengatakan:
“Soalnya tidak semata soal jiwa, tapi juga menyangkut tubuh.” Karena itu, Kristus harus mati dalam tubuhnya.
Dalam perkembangan mutakhir, doktrin tersebut dirumuskan dalam rangka pencerahan modern, dimana orang Kristen semakin mengalami kesulitan dalam pencerahan. Muncul kemudian kritik, apakah agama itu masih meyakinkan? Orang Kristen lantas mati-matian membela dan membuktikan masih relevannya keberimanan.
Tetapi sekarang muncul tantangan baru, ketika kekristenan muncul ke seluruh bumi dan para penginjil dikirim ke semua tempat. Memang, ada momen di mana orang menjadi Kristen, tapi juga ada momen, orang-orang tetap tidak Kristen. Seorang pengabar Injil besar bernama Henry Kraemer, pendiri Sekolah Tinggi Teologia (STT) Jakarta sampai harus membuka topinya ketika dia melakukan misinya di daerah pasundan. Lalu berkata:
“Islam is the crown of Sunda.” Ternyata, mahkota orang Sunda itu Islam.
Kalau begitu, tentu harus muncul refleksi baru yang tidak hanya mengatakan agama menjadi kebenaran untukmu yang menjamin dan menyelamatkanmu. Tetapi, formulasi berubah: “Kalau memang kalian bisa hidup lebih baik, sungguh-sungguh benar tanpa menjadi Kristen, maka telah tiba saatnya, di mana kita berdialog dan bertemu tanpa pretensi untuk mengkristenkan.”
Bagaimana dampak paham ini terhadap konsep pengabaran Injil? Kenyataannya, aktivitas kristenisasi riil dilihat umat Islam. Bukankah teologi agama-agama bisa menghalangi pengabaran Injil?
Tepat sekali. Tetapi sedikit ada nuansa yang berbeda di situ. Pada tahun 1967-an, pemerintah mempertemukan M. Natsir dan TB. Simatupang untuk meneken surat agar umat yang telah beragama tidak menjadi objek pengabaran Injil. Hanya yang belum beragama sajalah yang dikabarkan Injil. Tapi, Simatupang mengatakan: “Lho, pengabaran Injil kan semangat terdalam kekristenan. Kalaupun diteken, nantinya di lapangan bisa berjalan lain.”
Tapi sekarang berbeda. Menurut saya, pengabaran Injil yang dilakukan dengan semangat teologi agama-agama, tidak lagi menemui seseorang dengan agenda menjadikannya Kristen; tidak lagi dengan agenda yang menganggap agama di luar Kristen tidak baik dan benar. Agendanya adalah: “Bolehkah saya dengan keyakinan Kristiani bersama Anda-anda —yang meyakini Islam dan mengundang saya ke sini dengan konsep dakwahnya— berbagi harapan di tengah-tengah kehidupan yang seolah tidak ada harapan dan senantiasa bersama kekerasan ini?” Bisakah dengan basis agama masing-masing kita mengabarkan kekuatan agama dan berbagi harapan di tengah kehidupan yang konkret? Jadi, di situ makna misi akhirnya.
Di kalangan umat Islam, ada kekhawatiran akan misi penginjilan dengan kekuatan finansial yang kuat, serta sampai menjamah ke daerah-daerah terpencil. Bagaimana tanggapan Anda?
Betul, kristenisasi itu tidak ilusi. Itu sungguh-sungguh terjadi. Menurut saya, umat Kristen dan umat Islam perlu mencarikan solusinya bersama-sama. Sebagai orang Kristen, saya berkewajiban secara internal untuk memperkenalkan teologi agama-agama ini, dan mengajak mereka untuk lebih luas memahami agama. Jangan sampai mereka mendangkalkan Injil, seolah-olah Injil adalah sekadar menerima Kristus; Kristus adalah juru selamat, lalu selesai. Akibatnya, yang muncul adalah kesan seolah-olah itulah sebenarnya pesan Kristen.
Padahal, lebih luas dari itu adalah bagaimana menciptakan tatanan bersama, untuk menjadikan hidup lebih baik dan benar. Jadi ini juga tugas pertama intern orang Kristen.
Saya pernah mengatakan kepada salah satu tokoh Yayasan Paramadina bahwa dalam Islam terkandung anjuran sifat sabar untuk menghadapi orang-orang yang agresif itu. Dalam Islam juga terkandung kewaskitaan untuk lebih mempercanggih diri dan menghadapi permasalahan substansial, semisal anak-anak kecil yang kurang memahami makna hidup, sehingga terkesan sloganistis saja. Saya kira, kalau kita melakukan ini bersama-sama, maka barangkali dakwah Islam dan pengabaran Injil atau misi, dapat bersama berbagi harapan di tengah-tengah kehidupan di negeri ini.
Tadi Anda bilang jangan sampai mendangkalkan Injil. Apakah memang ada orang Kristen yang mendangkalkan kitab sucinya?
Memang ada orang yang mendangkalkan Injil, terutama orang Kristen yang menganggap Injil hanyalah sepotong kata. Artinya, kalau sudah menerima Kristus, selesailah semua. Seolah-olah, kekristenan adalah ajian simsalabim, lalu masuk surga dan seterusnya. Ini yang sering dijajakan secara eceran di jalan-jalan. Padahal, Injil atau semangat Kristen selalu berproses dan menyejarah. Seperti agama lain, tidak bisa dikatakan always coca-cola. Menurut saya, ada perubahan dalam konsep teologi agama-agama mengenai sikap Kristen terhadap Islam. Dulu ada sikap ingin mengkristenkan orang Islam. Tapi sekarang ada perubahan, karena orang belajar. Karena ada kebijaksanaan dan kebesaran hati umat Islam. Jadi karena umat Islam bermurah hati menerima kekristenan, dengan begitu kekristenan mesti menganggap sebagai sahabat, sesama. Bahkan sekarang, menurut saya orang Kristen perlu menganggap umat Islam sebagai kakaknya di negeri ini.
Kembali ke persoalan kristenisasi tadi, ada penilaian bahwa aktivitas kristenisasi ini ditunjang oleh dana berlimpah. Menurut Anda bagaimana?
Saya tidak mau terlalu membela kekristenan. Saya ingin memaparkan sejarah misionari secara objektif. Betul, misionari itu dibebani oleh kolonialisme yang dulu didukung oleh Belanda. Namun dalam kenyataannya, kristenisasi tersebut tidaklah berhasil. Beban lain, terutama dari Amerika Serikat, adalah kenyataan mereka punya media dan uang untuk melancarkan misionari.
Menurut saya, orang Kristen memang harus keluar dari pendekatan lama ini. Dan, orang Kristen tetap harus mewujudkan misinya dalam artian kesediaan mewujudkan harapannya bersama harapan mereka yang beragama Islam melalui kriteria ketiga dakwah Islam (hikmah, nasihat baik atau mau’idhoh hasanah, dan berdiskusi secara sehat). Saya kira, mari kita menunggu orang Kristen berubah. Saya kira, kawan-kawan Muslim ikut membantu mereka berubah sebagaimana saya juga mengajak perubahan itu terjadi dari dalam.
Apakah ada batasan-batasan dalam pengabaran Injil itu?
Sebenarnya, konsep dasarnya tidak terkait dengan keberubahan agama. Konsep dasarnya lebih terkait dengan cinta-kasih yang dialami Kristus seraya hendak dirayakan oleh siapa pun, dan dimana pun. Seringkali kita terjebak dengan asumsi: “Kalau begitu, harus pindah agama dan bikin gereja, dong?” Menurut saya, ekses itu harus tegas dihindari. Sekarang, semua agama boleh membagi-bagi sukacita, harapan, perspektif, bahkan hikmah.
Kemudian, bagaimana sebenarnya perubahan dari Katolik ke Protestan, sehingga menimbulkan pertanyaan soal konsistensi akidah. “Kok, akidah terkesan tidak serius, sampai berubah-ubah?” Hal ini menyangkut sejarah Kristen yang ribuan tahun. Menurut saya, Martin Luther sedikit memberikan penekanan pada sikap beriman sebagai yang menentukan dalam masalah akidah. Di Katolik, dulu agak dibebani oleh Paus atau tradisi.
Sehingga, Luther melihat perlu ada penekanan yang lain.
Pak Martin, banyak yang salah memahami konsep Trinitas untuk kalangan non-Kristen. Sebenarnya konsep Tuhan dalam Kristen itu seperti apa?
Saya berdoa selalu kepada Allah. Dalam Kristen, ada kata Tuhan. Sebetulnya, dalam kamus dengan gampang dikatakan, bahwa Allah adalah nama Tuhan. Jadi Tuhan itu generiknya. Dalam Kristen memang ada tendensi menyebut Yesus/Kristus sebagai Tuhan. Dan menurut Lemisiladi, dulu orang Indonesia tidak punya kata Tuhan, tapi ada kata “tuan.” Lantas orang Kristen penerjemah Kitab berkata: bagaimana cara menghubungkan Yesus yang (katakanlah) punya kadar keilahian. Akhirnya, muncul ide untuk memakai “h” di tengah menjadi “Tu(h)an.”
Tapi yang hendak saya katakan, orang Kristen pun memuja Allah. Dan Tuhan di arahkan kepada Kristus.
Kenapa? Karena dalam Kristus, Allah juga menampakkan dirinya. Begitu kira-kira. Last but not least, saya kira, agama itu seperti bahasa. Masing-masing bahasa berdiri sebagai kesatuan organik. Tetapi, ketika mereka berjumpa, terjadi pengayaan (enrichment) timbal balik.
Misalnya, sebagai orang Kristen, saya merasa diperkaya oleh semangat Tauhid Islam.
Walaupun saya tetap menjalankan kekristenan saya, tapi Tauhid itu membantu untuk melihat makna keilahian sendiri. Jadi memang ada perjumpaan, meskipun harus perlu diakui adanya keberbedaan. (majalah Pantau)
Membaca wawancara ini saya membayangkan, bagaimana seandainya MARTIN LUKITO SINAGA menapak tilas lagi pelajaran-pelajaran yang ia terima dulu ketika masih di Sekolah Minggu? Bagaimana ia menempatkan pikiran-pikirannya sekarang dengan keyakinan-keyakinan yang dulu sempat ia peroleh? Apakah ia akan menilai dirinya sebagai seseorang yang sudah tercerabut kemudian menjelma jadi sosok yang lain?
Dugaan saya tidak. Sebab dalam hemat dia, ketika ia menjelaskan defenisinya sendiri tentang manusia Pasca Simalungun, manusia Simalungun yang pasca adalah orang Simalungun yang tetap Simalungun tetapi go beyond Simalungun. Sama halnya dengan seseorang yang lulus dari pasca sarjana, seseorang yang tetap sarjana tetapi sudah melampaui kesarjanaannya. Begitu pula lah ia sebagai manusia pasca nasrani, manusia yang tetap nasrani, yang tetap berjalan dengan bekal pelajaran Sekolah Minggu dulu, tetapi terus berjalan beyond kenasranian itu. Nasrani yang tercerahkan dan terus ingin mendapat pencerahan.
Terimakasih Bung MLS. Izinkan saya menyapa Anda Bung, untuk mengingatkan bahwa ternyata saya mungkin lebih tua dari Anda. Yang juga menandakan kesempatan Anda berkarya masih lebih panjang. Dan banyak orang, termasuk saya, akan mencatatnya diam-diam.
Martin Lukito
Sinaga Pendeta Gereja Kristen Protestan Simalungun dan Kini Bekerja
pada Lembaga Oikoumene di Geneva, Swiss