Oleh: Masrul Purba Dasuha
SEJARAH TARIGANVersi I
Salah seorang pengetua adat di Simpang Bage bermarga Girsang
menceritakan bahwa marga Tarigan ini dahulu berawal dari seorang pemuda
bermarga Purba yang diminta oleh raja Nagur marga damanik untuk
menyelesaikan perselisihan wilayah Dolog Silou yang melibatkan Naga Saribu. Oleh raja disuruh tarik hotang (rotan) yang panjang untuk mengukur daerah itu.
Kebetulan pada saat itu kekurangan orang untuk menarik rotan tersebut
dan ketika itu ada seorang pemuda yang datang dari daerah
Tingkos/Cingkes bermarga Purba yang hendak ke Saribudolok melewati
daerah pertikaian tersebut.
Maka dimintalah ia untuk menarik rotan tersebut ke seberang, lalu dibagilah
kampung tersebut menjadi perbatasan kedua daerah, itulah kampung
Paribuan Jahean dan Paribuan Juluan sekarang. Sejak saat itu dia lebih
dikenal orang dengan Purba Tarikan, lama-lama penamaan itu berubah jadi
Tarigan. Sebagian orang yang tidak mengetahui marganya lalu memanggilnya Tarikan saja, demikianlah di kemudian hari orang lebih mengenalnya dengan panggilan tersebut, marga Purbanya pun menjadi samar-samar dan menghilang. Kampung awalnya setelah menjadi Tarigan adalah Cingkes, dari situlah keturunannya menyebar ke daerah lain di tanah Karo.
Ia pun menikah dengan seorang wanita beru Karo dan menjadi Anak Beru,
sejak saat itu dia beserta keluarganya menjadi bagian dari suku Karo. Ia
lalu mengundang saudara semarganya yang lain dari Tambak Bawang marga
Purba Tambak untuk datang ke tempatnya. Di kemudian hari marga
Tarigan menjadi wadah perhimpunan marga Purba Simalungun. Marga Purba
yang berada di sekitar perbatasan Simalungun dan Karo mulai dari Bangun
Purba, Gunung Mariah, Sinombah, hingga ke Cingkes umumnya banyak yang
beralih menjadi marga Tarigan dengan membawa cabangnya masing-masing
seperti saat masih berada di Simalungun. Keturunan mereka pun
berkembang, Purba Tambak menjadi Tarigan Tambak yang kemudian terbagi
lagi menjadi Tarigan Tambak Pekan dan Cingkes, Purba Silangit menjadi
Tarigan Silangit, Purba Sigumondrong menjadi Tarigan Gerneng yang
kemudian pecah menjadi Tarigan Tegur, Purba Tua menjadi Tarigan
Tua, Purba Tambun Saribu menjadi Tarigan Tambun, dan Purba Sihala dari
Hinalang menjadi Tarigan Purba atau sering juga disebut Tarigan Purba
Cikala.
Adapun Girsang adalah seorang pengembara ulung, ia bertualang mulai dari kampung halamannmya di Girsang dekat Parapat karena diundang oleh keluarga marga Sinaga untuk mengobati salah seorang anggota keluarganya. Di tempat itu, ia mendirikan sebuah kampung bernama Girsang. Dari situ ia lalu diundang lagi oleh salah seorang keluarga marga Sihombing di Siborongborong. Di tempat itu ia mendirikan kampung Naga Saribu dan Sitampurung.
Setelah berdiam ditempat itu beberapa lama ia pun menikah dengan salah seorang puteri Toba dan melahirkan sejumlah keturunan bermarga Girsang. Ia kemudian berkelana lagi menemui saudaranya yang ada di Bakkara
daerah Humbang demkat Dolok Sanggul. Di tempat itu sudah ada marga
Purba keturunan seorang dukun yg juga datang dari Simalungun yg diundang
untuk mengobati salah seorang keluarga pengetua kampung di tempat itu.
Marga Purba tersebut telah diangkat menjadi anak angkat oleh marga
Simamora.
Setelah beberapa lama di tempat itu, Girsang tersebut merantau lagi ke Pegagan tanah Pakpak, ia pun diterima oleh Raja Mandida Manik dan dinikahkan dengan puterinya. Ia lalu diberi tanah untuk tempat tinggal di Bukit Lehu. Keturunannya kemudian ada yg merantau ke Singkil dan salah seorang di antaranya berkelana ke Naga Saribu, Silimakuta dan diterima oleh marga Sinaga, penduduk awal yang mendiami Silimakuta. Ia pun menikahi puteri kepala kampung bermarga Sinaga. Dan setelah itu penguasaan kampung diserahkan kepadanya karena ia telah berjasa membantu mertuanya melawan musuh yang datang dari Kerajaan Siantar. Di tanah Karo, Tarigan Gersang melahirkan cabang baru yaitu Sahing yang kemudian mendirikan kampung Sinaman. Saudara Girsang yaitu Siboro yang bermukim di Tungtung Baru tanah Pakpak, sebagian keturunannya kemudian ada yang pindah ke Juhar tanah Karo dan diterima oleh Tarigan Tua merekalah yang menjadi Tarigan Sibero. Dan yang merantau ke tanah Gayo yang dikenal dengan marga Ceberou.
Pembagian marga Tarigan:
1. Tambak, menurut naskah kuno Partingkian Bandar Hanopan yang pernah
diterjemahkan oleh taalambtenaar (ahli bahasa) Belanda Dr. Petrus
Voorhoeve, leluhur marga ini bernama Jigou yang datang dari Pagaruyung
kemudian merantau ke Simalungun dan menjadi Pangulu Tambak Bawang.
Keturunannya bernama Tuan Sindar Lela kemudian mendapat tempat di
Kerajaan Silou dan menjabat sebagai Raja Goraha Silou atas bantuan
Puteri Hijau. Ia memiliki 2 orang putera yaitu Tuan Toriti yang pindah
ke Silou Buntu dan mendirikan partuanon di sana, keturunannya disebut
dengan Purba Tambak Tualang. Sementara adiknya Tuan Timbangan Raja
mendirikan Partuanon Silou Dunia. Di kemudian hari 2 orang putera Tuan
Timbangan Raja bersengketa, yaitu Raja Rubun pindah ke Dolog Masihol, di
mana pasca runtuhnya Kerajaan Silou akibat perang saudara,
keturunannya kemudian mendirikan Kerajaan Dolog Silou yang menggunakan
marga Purba Tambak Lombang. Sedang adiknya Tuan Suha Bolak pindah ke
sekitar Tiga Runggu dan mendirikan Huta Suha Bolak yang kemudian menjadi
cikal bakal Kerajaan Panei dan memakai marga Purba Sidasuha. Keturunan
Purba Tambak yang menyebar ke tanah Karo menjadi Tarigan Tambak yang
kemudian terbagi lagi menjadi Tarigan Tambak Pekan dan Cingkes. Di tanah
Karo, marga ini mendiami daerah daerah Kebayaken dan Sukanalu.
2. Tua, berasal dari Purba Tua di Silimakuta, Simalungun. Marga ini
merupakan saudara dari Purba Tanjung di Sipinggan, simpang Haranggaol.
Sebagian keturunannya meyakini leluhur marga ini adalah Purba Tambak.
Sebagian keturunannya pindah ke tanah Karo menjadi Tarigan Tua.
3. Silangit, berasal dari Purba Silangit pendiri kampung Sinembah dan
Gunung Mariah. Menurut cerita lisan di Simalungun, leluhur marga ini
awalnya berdiam di sekitar Dolog Tinggi Raja. Akibat bencana alam daerah
mereka porak poranda yang mengakibatkan keturunannya menyebar ke
sejumlah daerah seperti Gunung Mariah, Sinombah, Dolog Silou, Silou
Kahean, Raya, dan tanah Karo. Di tanah Karo mereka menjadi Tarigan
Silangit.
4. Tendang, berasal dari Purba Tondang di Huta Tanoh, Simalungun dan saudara dari Purba Tambun Saribu. Sebagian keturunannya meyakini leluhurnya berasal dari Purba Parhorbo di Humbang (Toba).
5. Tambun, berasal dari Purba Tambun Saribu di Harangan Silombu dan
Binangara, Simalungun. Marga ini bersaudara dengan Purba Tondang yang
menurut sebagian keturunannya meyakini leluhur mereka berasal dari Purba
Parhorbo di Humbang (Toba).
6. Gerneng, berasal dari Purba Sigumondrong di Lokkung yang kemudian menyebar ke Cingkes, Marubun, Togur, dan Raya, Simalungun. Marga ini merupakan keturunan dari Purba Tambak yang lahir dari boru Simarmata.
7. Purba Cekala atau Tarigan Purba, berasal dari Purba Sihala di Purba Hinalang, Simalungun pecahan dari Purba Pakpak. Marga ini mendiami Cingkes dan Tanjung Purba.
8. Sibero, marga ini datang dari Purba Sigulang Batu di Humbang (Toba)
lalu pindah ke Tungtung Batu, sebagian keturunannya merantau ke Juhar
menjadi Tarigan Sibero dan di Simalungun menjadi Purba Siboro dan di
tanah Gayo menjadi Ceberou. Di Juhar, marga ini membagi diri menjadi
Tarigan Sibayak dan Tarigan Jambor Lateng. Tarigan Sebayak mempunyai
nama rurun Batu (laki-laki) dan Pagit (perempuan). Sementara nama rurun
Tarigan Jambor Lateng adalah Lumbung (laki-laki) dan Tarik (perempuan).
Kemudian datang pulalah Tarigan Rumah Jahe dengan nama rurun Kawas
(laki-laki) dan Dombat (wanita). Marga ini menyebar mendiami daerah
Juhar, Kuta Raja, Keriahen, Munte, Tanjung Beringen, Selakar, dan
Lingga.
10. Gersang, marga ini bersaudara dengan Siboro yang sama-sama datang dari
Purba Sigulang Batu lalu merantau ke Bukit Lehu dan menikah dengan beru
Manik puteri dari Raja Mandida Manik di Suak Pegagan. Salah seorang
keturunannya ada yang memiliki keahlian meramu obat sehingga dikenal
juga dengan sebutan Datu Parulas dan menyumpit burung yang juga digelari
dengan Pangultop. Dalam perburuannya ia sampai ke Naga Mariah tanah
ulayat marga Sinaga, di mana pada masa itu Tuan Naga Mariah tengah
mendapat ancaman dari musuh yang datang dari Kerajaan Siantar, berkat
bantuan si Girsang musuh dari Siantar dapat diatas. Atas jasanya, Tuan Naga Mariah kemudian menikahkannya dengan puterinya dan menyerahkan kekuasaan padanya. Adapun penduduk asli tempat itu yaitu marga Sinaga banyak yang mengungsi ke Batu Karang dan menjadi marga Peranginangin Bangun. Di tempat itu, Si Girsang kemudian mendirikan kampung Naga Saribu sebagai ibukota Kerajaan Silima Huta dengan menggabungkan lima kampung yaitu Rakutbesi, Dolog Panribuan, Saribu Jandi, Mardingding, dan Nagamariah. Marga ini terbagi lagi menjadi Girsang Jabu Bolon, Girsang Na Godang, Girsang Parhara, Girsang Rumah Parik, dan Girsang Rumah Bolon. Sebagian keturunannya pindah ke tanah Karo menjadi Tarigan Gersang. Adapun keturunan Purba Silangit ada juga yang menggabungkan diri dengan marga ini yang disebut dengan Girsang Silangit.
11. Tegur, pecahan Purba Sigumondrong yang berasal dari Huta Togur di Dolog Silou. Marga ini mendiami daerah Suka.
12. Cingkes, pecahan Tarigan Tambak di Cingkes (Tingkos) di Dolog Silou.
13. Sahing, pecahan Tarigan Girsang dari Huta Saing di Dolog Silou. Di tanah Karo marga ini mendirikan kampung Sinaman.
14. Pekan, pecahan Tarigan Tambak. Di tanah Karo, marga ini mendiami daerah Sukanalu dan Namo Enggang.
15. Ganagana, di Batu Karang.
16. Bondong, di Lingga.
17. Jampang. di Pergendangen.
18. Kerendam, di Kuala, Pulo Berayan dan sebagian pindah ke Siak dan menjadi Sultan disana.
Versi II
Ada cerita lisan (Darwin Prinst, SH. Legenda Merga Tarigan dalam
bulletin KAMKA No. 010/Maret 1978 ) yang menyebutkan merga Tarigan ini
tadinya berdiam di sebuah Gunung, yang berubah mejadi Danau Toba
sekarang. Mereka disebut sebagai bangsa Umang. Pada suatu hari, isteri
manusia umang Tarigan ini melahirkan sangat banyak mengeluarkan darah.
Darah ini, tiba-tiba menjadi kabut dan kemudian jadilah sebuah danau.
Cerita ini menggambarkan terjadinya Danau Toba dan migrasi orang Tarigan
dari daerah tersebut ke Purba Tua, Cingkes, dan Tongtong Batu. Tiga
orang keturunan merga Tarigan kemudian sampai ke Tongging yang waktu itu
diserang oleh burung Sigurda-Gurda berkepala tujuh. Untuk itu Tarigan memasang seorang anak gadis menjadi umpan guna membunuh manok Sigurda-gurda tersebut.
Sementara di bawah gadis itu digali lobang tempat sebagai benteng merga Tarigan.
Ketika burung Sigurda-gurda datang dan hendak menerkam anak gadis itu,
maka Tarigan ini lalu memanjat pohon dan menyumpit (eltep) kepala burung
garuda itu. Enam kepala kena sumpit, akan tetapi satu kepala tesembunyi
di balik dahan kayu. Salah seorang merga Tarigan ini lalu memanjat
pohon dan menusuk kepala itu dengan pisau. Maksud cerita ini mungkin
sekali, bahwa pada waktu itu sedang terjadi peperangan, atau penculikan
anak-anak gadis di Tongging. Pengulu Tongging merga Ginting Manik lalu
minta bantuan kepada merga Tarigan untuk mengalahkan musuhnya tersebut
Beberapa generasi setelah kejadian ini, tiga orang keturunan merga Tarigan ini
diberi nama menurut keahliannya masing-masing, yakni ; Tarigan
Pertendong (ahli telepati), Pengeltep (ahli menyumpit) dan
Pernangkih-nangkih (ahli panjat). Tarigan pengeltep kawin dengan beru
Ginting Manik. Diadakanlah pembagian wilayah antara penghulu Tongging
dengan Tarigan Pengeltep. Tarigan menyumpitkan eltepnya sampai ke
Tongtong Batu. Tarigan lalu pergi kesana, dan itulah sebabnya pendiri
kampung (Simantek Kuta) di Sidikalang dan sekitarnya adalah Tarigan
(Gersang). Tarigan Pertendong dan Tarigan Pernangkih-nangkih tinggal di
Tongging dan keturunannya kemudian mejadi Tarigan Purba, Sibero, dan
Cingkes, baik yang di Toba maupun yang di Simalungun. Beberapa generasi
kemudian berangkatlah dua orang Merga Tarigan dari Tongtong Batu ke
Juhar, yang kemudian di Juhar dikenal sebagai Tarigan Sibayak dan
Tarigan Jambor Lateng. Tarigan Sebayak mempunyai nama rurun Batu
(laki-laki) dan Pagit (perempuan). Sementara nama rurun Tarigan Jambor
Lateng adalah Lumbung (laki-laki) dan Tarik (perempuan). Kemudian datang
pulalah Tarigan Rumah Jahe dengan nama rurun Kawas (laki-laki) dan
Dombat (wanita).
SEJARAH KAROKARO PURBA
Versi I
Pada masa berikutnya, di Kerajaan Purba dengan rajanya bermarga
Purba Pakpak terjadi suatu tragedi di mana salah seorang permaisurinya melahirkan seorang putera, namun ternyata kelahirannya membawa kemalangan bagi keluarga kerajaan yang dalam istilah Simalungun disebut dengan Anak Panunda. Oleh raja lalu putera yang baru lahir itu
diperintahkan bunuh!
Tetapi Datu Bolon menolak perintah raja, diam-diam dia berpura-pura memenuhi perintah raja pergi ke Raja Berneh di kampung marga Karo-karo Kaban dekat Raya Berastagi. Di ladang
marga Karo-karo Kaban ini diletakkan Anak Panunda di dalam keranjang
dengan tulisan dalam bambu kecil menyebut bahwa anak ini adalah anak
Raja Purba di Simalungun! Oleh marga Kaban anak itu diangkat menjadi
anaknya kebetulan dia tidak punya anak laki-laki.
Ayah angkatnya Karokaro Kaban lalu memberikannya tanah sebagai tempat tinggal di arah hilir yang kemudian ia namakan Kaban Jahe. Di tempat tersebut
ia pun mengembangkan keturunan serta menggabungkan diri ke dalam marga
Karokaro dan jadilah marga Karokaro Purba seperti sekarang. Salah
seorang keturunannya adalah Sibayak Pa Pelita dari Rumah Berastagi dan
Sibayak Pa Mbelgah dari Rumah Kabanjahe. Semasa hidupnya, Pa Pelita
sering berkunjung ke Pamatang Purba, hingga ia pun akhirnya menikah
dengan boru Purba Pakpak saudarinya sendiri.
Pada saat ini kita bisa melihat sebuah patung dari salah seorang keturunan
Karokaro Purba yaitu Kapiten Purba yang berdiri kokoh di Kabanjahe yang
menunjuk ke arah Simalungun untuk menunjukkan asal leluhurnya. Demikianlah riwayat singkat munculnya marga Tarigan dan Karokaro Purba di tanah Karo.
Versi II
Alkisah, konon kabarnya pada masa dahulu, Sang Raja Purba di Simalungun terus – menerus didera oleh sakit berkepanjangan. Ada dugaan yang mengatakan bahwa masa kebahagiaan sedang dilanda kesuraman akibat lahirnya putra bungsunya, dianggap membawa kesialan bagi kehidupan Raja dan kerajaan secara luas.
Oleh karena itu, dipanggillah dukun sakti untuk meramalkan dan mencari obat kabut kesedihan itu; dukun sakti Guru Pakpak Pitu Sedalanen. Ditenung dan diramallah masa depan keluarga si Raja Purba. Guru Pakpak Pitu Sedalanen mengatakan bahwa kelahiran putra bungsu Raja Purba memang membawa sial dan malapetaka buat keluarga Raja Purba. Oleh sebab itu, putra bungsu harus disingkirkan atau dibuang jauh dari keluarga Raja Purba. Bahkan mereka menyarankan agar jangan diakui lagi sebagai anak keturunan Raja Purba.
Oleh karena itu Raja Purba menyerahkan kepada dukun sakti, Guru Pakpak Pitu Sedalanen bagaimana baiknya. Akhirnya, diambillah keputusan: putra bungsu akan dibuang dan diasingkan jauh dari keluarga raja Purba. Guru Pakpak Pitu
Sedalanen yang akan menemaninya selama perjalanan. Saat ia disingkirkan,
putra bungsu itu baru berumur 13 tahun. Dia dibawa jauh dari daerah
Simalungun dengan melewati Gunung Barus ke arah matahari terbenam.
Betapa terbenamnya hati putra bungsu ke dalam duka sedih yang sangat
menyayat hati, melebihi rasa sakit yang diderita saat dicucuk onak dan
duri sewaktu berjalan melalui rimba raya yang lebat itu.
Setelah beberapa hari dalam perjalanan, tibalah mereka pada suatu tempat yang datar yang dirasa cocok sebagai tempat pembuangan dan pengasingan si
putra bungsu. Dibuatlah gubuk untuk tempat si putra bungsu. Setelah
gubuk itu selesai, pulanglah dukun sakti Guru Pakpak Pitu Sedalanen.
Maka menangislah putra bungsu meratap kepada sang dukun sakti, agar ia
jangan ditinggalkan, dipeluknya kaki dukun itu, dan disembahnya berkali –
kali disertai deraian air mata. “Oh kakek… jangan tinggalkan aku…
jangan… kasihanilah aku…, oh… sampai hatikah kakek meninggalkan aku
sendirian di sini…? di tengah hutan tua rimba raya ini, penuh binatang
buas. Oh… daerah tak bertuan…, siapa kawan yang akan menjagaku di sini
Kakek…? Apakah sebenarnya salah dan dosaku sehingga aku harus dibuang
dan dijauhkan dari sanak saudaraku?... oh…. Kakek….?
Setelah mendengar ratapan itu, dukun sakti Guru Pakpak Pitu Sendalanen itu pun tak dapat membendung air matanya, dia jadi kasihan kepada anak malang
itu. Diusap – usapnya rambut dan kepalanya sang putra bungsu itu seraya
perlahan – lahan memberi penjelasan. “Yah…, sungguh kasihan kau Nak…,
nasibmu sungguh malang, tetapi apa boleh buat, nasib dan takdirmu sudah
disuratkan demikian…, kau harus dibuang dari sanak saudara dan
keluargamu… Sejak saat ini kau tidak boleh lagi mengakui mereka itu
sanak saudaramu atau keluargamu…, kau harus hidup menyendiri… Pandai –
pandailah hidup… Kau harus tinggal di sini sendirian. Kau tak usah
takut… Kami telah menyediakan perbekalanmu untuk tujuh tahun. Setelah
itu, kau harus cari sendiri. Ini pedang, pisau dan panah untuk menjaga
dirimu, dan kau tidak usah takut akan binatang buas, di sekeliling
tempat ini akan kami tanam bambu sebagai pagar.”
Setelah Guru Pakpak Pitu Sedalanen selesai berbicara, dia menancapkan tongkatnya ke tanah sehingga memunculkan tujuh buah mata air disitu, kemudian mengurung tempat tersebut dengan tanaman bambu kuning berduri, lebat dan rapat dengan maksud agar sang putra bungsu tak dapat lari atau kembali ke Simalungun dan terhindar dari serangan binatang buas.
(Tempat itu sekarang masih ada. Kini dinamakan Buluh Duri dan dihiasi tujuh mata air bening di Lau Gendek Berastagi. Tempat tersebut masih dianggap
keramat oleh masyarakat sekitar).
Setelah semua tugasnya selesai maka Guru Pakpak Pitu Sedalanen beranjak pulang dan meninggalkan putra bungsu Purba mergana sendirian terkurung oleh pagar bambu berduri.
Mereka melanjutkan perjalanan pergi berkelana ke Tanah Karo.
Bertahun– tahun Purba mergana itu hidup menyendiri di balik pagar bambu
berduri. Pada waktu senggangnya, ia belajar memanah dan memakai senjata –
senjata lainnya sebagai bekal untuk berburu kelak apabila perbekalan
yang hanya tujun tahun itu habis. “Kelak… sampai kapan pun aku tak akan
pulang kembali kepada mereka, sanak saudara dan keluargaku itu, begitu
sampai hati mereka membuang aku merana begini,” pikirnya. Bulan berganti
bulan, tahun berganti tahun…, akhirnya sampailah sudah tujuh tahun dia
menyendiri di situ dan perbekalan yang tersedia pun sudah habis. Oleh
sebab itu, dia harus dapat keluar dari pagar bambu berduri tersebut agar
dapat berburu ke hutan. Secara terpaksa mulailah ia merintis pohon –
pohon bambu berduri itu agar dapat lewat keluar mencari binatang buruan.
Kini, dia telah cukup dewasa, gagah dan kekar. Ia tak perlu takut akan
binatang buas. Dan setelah mendapat binatang buruan, ia pun segera
kembali ke gubuknya.
Demikianlah hal tersebut berlangsung sampai beberapa tahun hingga pada suatu hari, sewaktu hendak berburu seekor burung yang cantik berbulu warna – warni, ia telah sampai ke Gunung Singkut tanpa diduga – duganya. Hal ini terjadi karena burung yang diincarnya telah membuatnya penasaran sebab sang burung selalu berhasil mengelakkan panah si pemburu dengan cara melompat dari satu pohon ke pohon lain sampai ke arah Gunung Singkut. Dalam perburuan burung itu, tanpa disadarinya tiba – tiba matanya melihat sesosok tubuh wanita cantik yang sedang duduk dan mengeringkan tubuh dan rambutnya dekat sebuah mata air yang jernih dan bening. “Apa maksud Tuan datang kemari?” tanya wanita cantik itu seraya tersenyum manis kepadanya. Purba mergana hanya melongo tak dapat menjawab karena terlampau kaget menemukan wanita di tengah hutan lebat itu dan malah tiba – tiba telah dihujani pertanyaan oleh wanita secantik bidadari dari kayangan itu.
“Mengapa diam saja, Tuan?” tanya wanita itu lagi, karena merasa pertanyaannya tidak dijawab oleh Purba mergana, sang pemburu tampan dan gagah itu.
“Oh… oh… tidak,” kata Purba mergana tergagap – gapap. “Aku terkejut
melihat ada wanita sendirian di tengah hutan lebat begini,” sambungnya
lagi seraya memberanikan diri menghampiri wanita cantik itu. Wanita
cantik ini adalah manusia pertama yang ditemuinya sejak tujuh tahun
lebih di pembuangan Tanah Karo. Kemudian mereka pun bercakap – cakap
dengan akrabnya. Purba mergana kemudian menceritakan bagaimana dia bisa
sampai ke gunung itu dan juga menceritakan tentang dirinya sebagai anak
buangan dari Raja Purba di Simalungun. Sang Puteri mendengarkan dengan
penuh perhatian dan juga merasa tergugah hatinya mendengar kisah sedih
Purba mergana tersebut. Karena terlalu asyik bercerita, mereka pun tak
menyadari bahwa hari telah siang, matahari telah lewat tengah hari,
perut pun sudah terasa lapar dan minta diisi.
“Ayolah mampir dulu ke rumah kami untuk makan,” ajak sang puteri kepada Purba mergana, pemburu gagah dan tampan itu. Dia juga tak akan keberatan walaupun untuk selama – lamanya berada bersama puteri cantik bak bidadari dari kahyangan tersebut. Baru beberapa langkah, tibalah mereka di sebuah gua
yang cukup bersih, gua itu tak jauh dari tempat pertemuan mereka tadi.
Mereka masuk ke dalam gua dan Purba mergana tiba – tiba terkejut bukan
kepalang; hampir melompat apabila tidak dipegangi oleh sang bidadari
karena di dalam gua yang samar – samar tersebut terdapat seekor ulang
besar tetapi pendek yang sedang melingkar seakan – akan sedang menanti
kedatangan mereka berdua. Di dekatnya di atas batu, bertenggerlah burung
yang tadi diuber – uber oleh Purba mergana. Burung kakak tua – yang
dalam bahasa Karo disebut Kak, berbicara “Silakan masuk, duduklah.” Ini
membuat si Purba mergana terheran – heran sedangkan sang bidadari hanya
tersenyum – senyum saja sambil menghamparkan tikar untuk tempat mereka
duduk.
Setelah mereka duduk, mereka pun makan bersama dengan menu
beberapa buah – buahan seperti jambu, pisang dan lainnya. Sembari
makan, sang bidadari bercerita bahwa ular itu adalah ibunya dan burung
itu adalah ayahnya yang sengaja memancing Purba mergana datang ke Gunung
Singkut guna merencanakan perjodohan antara Purba mergana dengan sang
bidadari yang cantik jelita. Setelah tercapai kata sepakat, maka Purba
mergana dijodohkan dengan sang bidadari sebagai suami – istri yang kelak
menjadi SEJARAH NENEK MOYANG PURBA MERGANA DI TANAH KARO. Orang tua sang bidadari menyarankan agar mereka hidup bersama manusia lainnya dan menempuh cara – cara hidup manusia, yaitu tidak terpencil dan tidak
mengasingkan diri di Gunung Singkut maupun di Buluh Duri tempat Purba
mergana.
Sesudah merasa cukup memberikan petuah – petuah dan wejangan, Purba mergana dan sang bidadari yang telah menjadi suami –istri disuruh berangkat ke perkampungan manusia terdekat oleh mertuanya itu. Sayup – sayup mata memandang, tampaklah bumbungan asap dari Gunung
Singkut, yakni di sebelah barat daya kampung Kaban, yang dihuni oleh
Merga Kaban dan Ketaren. Keesokan harinya berangkatlah Purba mergana
bersama istrinya ke kampung Kaban dan setelah sampai di sana mereka pun
menemui penghulu kampung untuk meminta izin mendirikan rumah di kampung
tersebut. “Kalau Anda mau menjadi warga kampung ini, kami terima dengan
baik dan bangunlah barung kalian ke arah Kenjahe. (Maksudnya dirikanlah
rumah ke arah hilir dari kampung tersebut). Sejak saat itu, berdirilah
gubuk mereka di kampung Kaban arah Jahe (kini dikenal dengan nama
Kabanjahe, Ibukota Kabupaten Karo), dekat sebuah pohon besar yang
memiliki mata air sendiri. Konon, apabila Mami Purba mergana datang, dia
berada di lubang pohon kayu besar tersebut dan Purba mergana beserta
istrinya akan membalas kunjungan mertuanya ke Gunung Singkut.
Selama menetap di Kabanjahe mereka dianugerahi enam orang anak laki – laki dan seorang anak wanita sehingga Purba Mergana di Tanah Karo diberi julukan
“Purba Si Enem” dan kepada keturunannya diperingatkan pantang membunuh
ular, sehingga sampai sekarang Merga Purba di Tanah Karo sangat
dipantangkan untuk memukul atau membunuh ular. Juga diperingatkan agar
mereka juga jangan pernah mengaku berasal dari merga Purba Simalungun
dan jangan memberi malu kepada Raja Purba Simalungun, sebab mereka sudah
dibuang dari dinasti merga Purba Simalungun tersebut. Para wanita yang
beru Purba juga terlahir cantik – cantik karena mereka keturunan dari
bidadari.
Lama – lama barung tersebut berubah menjadi perkampungan sendiri milik keturunan Purba mergana dan diberi nama Kabanjahe. Rupanya para keturunan Purba mergana mengembangkan kampung tersebut dengan mendirikan barung – barung lainnya di sekitar barung utama, sesuai dengan nama mereka masing – masing, yaitu Katepul, Samura, Ketaren, Berhala, Sumbul, Kaban, Raya, Berastagi, Lau Gumba, Peceren, Daulu dan Ujung Aji, serta menyebar ke seluruh penjuru Tanah Karo. Demikianlah asal usul mengenai Purba mergana di
Tanah Karo dengan perkampungan mereka yang pertama di Kaban arah Jahe,
yang termasuk salah satu marga termuda di daerah Karo pada umumnya dan
di daerah Urung Sepuluh Dua Kuta pada khususnya.
Daftar silsilah Raja Purba Pakpak di Pamatang Purba, Simalungun
1. Tuan Pangultop Ultop (1624-1648)
2. Tuan Ranjiman (1648-1669)
3. Tuan Nanggaraja (1670-1692)
4. Tuan Batiran (1692-1717)
5. Tuan Bakkaraja (1718-1738)
6. Tuan Baringin (1738-1769)
7. Tuan Bona Batu (1769-1780)
8. Tuan Raja Ulan (1781-1769)
9. Tuan Atian (1800-1825) dan adiknya Tuan Horma Bulan (1826-1856)
10. Tuan Raondop (1856-1886)
11. Tuan Rahalim (1886-1921)
12. Tuan Karel Tanjung (1921-1931) dan adiknya Tuan Mogang (1933-1947)
13. Tuan Maja, mantan Bupati Simalungun, Tapanuli Utara, Walikota Pem. Siantar, dan Gubernur Muda Sumut.
14. Tuan dr. Darwan Maja, mantan Ketua DPP PMS
Hingga hari ini jumlah generasi Purba Pakpak di Simalungun sudah mencapai 16-17 generasi.