Lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran
Oleh Neo Simalungun Jaya (dep)
Pendahuluan
Lang sukkup saribu ari marbuali pasal Hasimalungunonta. Lahir sebagai keturunan Simalungun atau lahir di Tanoh Simalungun yang subur adalah berkah, kenyataan hidup, keniscayaan yang harus disyukuri, dilakoni. Sebab itulah Ijinkan saya bercakap-cakap tentang Hasimalungunon sebagai ‘buah’ refleksi diri. Aha ma gatni na sihol patongahkonon ai – sajikan? Ya, sekali lagi tentang lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran - Tohunlidoran.
Kemarin, dalam tulisan sebelumnya yang berjudul, Hita Do Sijolom Suhul Ni Pisou – Sipukkah Huta, Peran halak Simalungun Sebagai Pewarih Budaya Tempatan, ternyata mendapat respon yang sangat berarti. Dari sambutan Sanina dan Botu, saya berkesimpulan, sekali lagi saya merasa perlu mere-intrepretasi makna dan fungsi lembaga Tohunlidoran ini. Semoga bermanfaat…
Bagi saya lembaga Tohunlidoran ini adalah inti sel yang bermakna Otogetar. Apa pula makna otogetar ini? Kenapa saya menggunakan istilah ini? Karena ‘kata’ tersebut kurang lebih mewakili pemahaman saya yang berarti; inti, sumber yang selalu mengetarkan, menggerakkan, sebagai tenaga pencipta, pemelihara dan pendaur ulang dalam mengarungi zaman sebagai pewaris kearifan lokal suku Simalungun. Semestinya lembaga ini bebas dari tekanan politik, partai politik dan penguasa yang korup, tamak serta lembaga agama mana pun. Ia berada di dalam, di pusat kebudayaan, budaya itu sendiri. Yang keberadaannya bila berhenti, maka matilah suatu kebudayaan dan peradaban suatu suku bangsa. Mati pulalah budaya suatu suku bangsa itu.
Kok bisa begitu? Ini hanya asumsi saya, dan keyakinan saya. Ibarat suatu sel, ia memiliki ‘inti’, yang berisi blueprint, memori, pengetahuan yang hendak diwujudkan – sebagai warisan pengalaman panjang leluhur Halak Simalungun. Nah jika ditanya, di manakah keberadaan Otogerak itu? Jika merujuk pada manusia, maka ‘ia’ adalah seseorang yang memiliki kualitas mumpuni, yang patut diteladani, mampu menginspirasi dan memimpin. Seperti yang saya gambarkan pada tulisan sebelumnya, ciri-ciri mereka adalah: “HIDUP MEREKA TELAH DIDEDIKASIKAN UNTUK MELAYANI MANUSIA YANG HIDUP DI PERTIBI SIMALUNGUN (TANPA MEMANDANG ASAL USUL DAN LATAR BELAKANG) DAN ALAM/LINGKUNGAN DAERAH SIMALUNGUN. Merekalah yang pantas disebut pemangku Adat Simalungun itu, karena mereka hidup untuk semua orang, meskipun jati diri mereka sebagai Halak Simalungun.”
Merekalah bibitnya, merekalah yang pantas disebut seorang Budayawan, seorang yang berbudi. Meski jumlah mereka tidak akan selalu banyak, bahkan akan terasa sangat sulit menemukannya. Setidaknya kita mengetahui ciri-ciri orang yang bisa menginspirasi itu.
Selanjutnya saya hendak menunjuk di manakah keberadaan wujud ‘nya’ sebagai lembaga? Nah, ini yang menjadi persoalan besar kita. Sudah adakah lembaga semacam itu? Sudah terbentukkah? Atau perlu dibentuk lagi? Atau ada pemikiran lain?
Hmm… karena ini merupakan opini saya dan sifatnya subjektif, maka saya akan mengambil kesimpulan sementara, lembaga seperti itu belum ada, setidaknya belum ada yang memerankannya berdasarkan fungsi sesuai dengan filosofinya, sejatinya – setidaknya.
Lembaga Tohunlidoran itu harus kita bidani. Inilah lembaga Otogetar itu. Darinyalah nanti sumber getar yang dapat bertahan sepanjang masa karena ia berasal dari Budhi – mind yang sudah terfurifikasi (bebas dari hawa nafsu rendahan), sifatnya shreya (memuliakan), selaras dengan alam dan semesta. Tohunlidoran yang bersifat otogetar dan filter, inilah yang memungkinkan budaya dan kebudayaan Simalungun mampu bertahan sepanjang masa untuk mempertahankan keberadaannya menembus polemik tentang kebudayaan dan kemajuan zaman berikut dampak negatifnya. Lembaga Tohunlidoran yang otogerak ini pulalah yang akan menjadi pelindung kekhasan Halak Simalungun, budaya dan kebudayaannya.
Jadi sampai di sini, saya ingin terang dahulu untuk melihat siapa dan di mana keberadaannya. Jika ada yang bertanya, siapa mereka, maka jawabannya telah saya gambarkan di atas. Lalu jika pertanyaannya di mana lembaga itu kini, maka jawaban sementara saya ‘harus’ kita bidani dulu, meski fungsi lembaga Tolu Sahundulan Lima Saodoran itu toh masih tetap bertahan di setiap horja – kegiatan adat isitiadat dalam lingkup kecil yang sporadis tidak terintegrasi. Mereka memang masih eksis menjalankan fungsinya sesuai dengan namanya (dalam skala keluarga batih – sebuah keluarga utuh).
Namun sebagai lembaga resmi yang terintegrasi atas nama masyarakat Adat Simalungun (budaya Simalungun) dengan pemahaman baru dan sebagai payung bersama Halak Simalungun, penduduk Kabupaten Simalungun, Kotamadya Pematang Siantar dan daerah yang dulu dipukkah Halak Simalungun namun masuk ke wilayah administratif daerah lain, maka, lembaga itu mesti kita AKTIFASI lagi. Kita membutuhkannya!
Fungsi dan Kedudukan Tohunlidoran
Lembaga inilah yang menjadi ‘Dapur’ juru masak kebudayaan Simalungun setiap waktu, setiap situasi. Dari merekalah akan tersaji kreasi baru, kebudayaan baru yang selalu mengusung, sifat Hasimalungunan – bersifat dinamis. Tanpa mereka, kebudayaan dan budaya Simalungun akan mati suri, terkesan hidup namun tanpa roh, ada namun hanya bersifat seremoni belaka. Sampai di sini, pertanyaan siapa mereka dan dimana keberadaannya buat sementara sudah terjawab. Intinya adalah aktifasi Tohunlidoran!
Karena Tohunlidoran pada hakekatnya merupakan Rumah Bersama – bagi setiap organisasi Hasimalungunon; Payung Bersama – yang mengayomi semua organisasi Hasimalungunon; Benang Merah – yang merangkai, mempersatukan semua butir-butir organisasi Hasimalungunon dengan alam dan sesama manusia secara harmonis.
Pada lingkup kecil berdasarkan hubungan kekerabatan/horja adat sebuah keluarga batih, ke-3 kedudukan utama pada lembaga Tohunlidoran itu yakni: Tondong, Sanina, Anak Boru wajib terdapat baik dalam huta berbenteng dahulu dan sekarang – sayangnya bentuk huta lama itu tidak ada lagi. Ditambah dengan kenyataan bahwa bentuk desa sekarang sudah berdasarkan Rukun Tangga dan Rukun Warga (RT/RW), jadi semakin rumit saja. (Bicara budaya dan kebudayaan bukanlah seolah-olah berbicara tentang fosil, benda tak bernyawa, beku dan berlapuk. Bukan!)
Kemudian tentang warisan kita akan keberadaan ‘partuanon’ dan ‘keturunan raja-raja’ pada pasca kemerdekaan RI, mereka pun tampaknya masih tengah berusaha menemukan perannya. Walaupun sesungguhnya peran mereka dahulu sangat signifikan, merupakan bagian dari Segitiga Tolu Sahundulan dalam sistem kerajaan Simalungun. Terutama perannya dalam membantu para kaum brahmana-parhabonaron/para datu.
Mari kita perhatikan bahwa ke-3 kedudukan dasar itu kemudian dikembangkan menjadi 5 kedudukan/posisi (khas Simalungun) namun tetap berada dalam 3 fungsi utama itu juga:
Kedudukan sebagai Tondong (Pihak ‘pemberi perempuan’, keluarga asal sang istri) berfungsi sebagai penasehat, tempat bertanya, pemimpin acara kerohanian dahulunya.
- Sanina (Saudara dari Suhut), berfungsi sebagai tuan rumah acara/ horja adat sebagai wakil dari Suhut yang mengendalikan horja adat.
- Suhut (Tuan Rumah) – yang menjadi titik sentral suatu horja adat, ia tidak berperan aktif, telah diwakili ‘sanina’nya.
- Anak Boru Jabu (Ipar kandung, menantu dan panogolan, kemanakan), berfungsi sebagai pelaksana teknis horja adat
- Anak Boru Mintori ( Ipar-nya Ipar) berfungsi membantu peran Anak Boru Jabu.
Nah, tentunya kelima kedudukan ini akan selalu terdapat dalam horja-horja adat (kegiatan adat Simalungun) dengan titik sentral sebuah keluaga batih (Suhut) yang hendak melakukan sebuah horja adat. Artinya setiap keluarga batih – misal yang berasal dari 4 marga utama Simalungun: Purba, Damanik, Sinaga dan Saragih – kelima unsur itu akan selalu terdapat sehingga sah dan sempurnalah sebuah horja adat.
Dari Lima Saodoran Kembali Menjadi Tolu Sahundulan:
Leluhur kita telah membentuk sistem, tatanan dan struktur masyarakatnya berdasarkan ketiga fungsi utama itu. Jika dikontekstualkan, maka dalam masyarakat Simalungun, penjabaran lembaga Tohunlidoran itu akan terlihat jelas. Dari Lima Saodoran kembali menjadi Tolu Sahundulan:
- Suhut (Tuan Rumah – titik sentral suatu horja) ditambah dengan Sanina (saudara dari Suhut – semarga); memiliki fungsi ‘pemelihara’ dalam suatu ikatan kekeluargaan (keluarga batih) sama seperti Wisnu yang berkaitan dengan aspek Cinta-kasih, kepedulian dan kesejahteraan. Dalam masyarakat kita, Suhut akan menjadi titik sentral pemelihara hubungan antara Tondong, Sanina dan Anak Boru Jabu dalam horja dan hubungan kekerabatan. Segitiga hubungan ini bertolak pada kedudukan sebuah keluarga batih (misal seorang marga Purba). Ia akan dibantu Borunya dalam melakukan horja di rumahnya dan Tondongnya akan berperan sebagai Penasehat – Pendaur Ulang dalam horja tersebut.
- Anak Boru Jabu ditambah dengan Anak Boru Mintori; memiliki fungsi sebagai ‘pelaksana, pencipta’. Fungsi Anak Boru dan Anak Boru Mintori bisa disamakan dengan Brahma yang mewakili aspek pengetahuan, kreatifitas dan kebijaksanaan dalam pelaksanaan suatu horja di rumah Suhut (misal, dari marga Purba tadi). Pengetahuan yang dimiliki Si Raja Parsahap (juru bicara) dari Anak Boru Jabu tadi sangat menentukan dalam pelaksanaan suatu horja, tanpa mereka suatu horja akan kacau, bila yang memerankan Si Raja Parsahap itu tidak mengusai tugas, fungsi dan perannya.
- Tondong memiliki fungsi sebagai ‘penasehat’, tempat bertanya – sisungkunan, partongah, partuha dalam suatu horja yang dilakukan sebuah keluarga batih (misal dari marga Purba tadi). Memperhatikan fungsinya, Tondong similar dengan fungsi dan peran Siva sebagai energi yang berhubungan dengan aspek mendaur ulang, berkaitan dengan pemurnian, pembersihan, kesucian dan sebagainya – memainkan peran brahmana/Parhabonaron di dalam keluarga batih dahulunya.
- Adanya fungsi untuk ‘Mencipta’ – Brahmana sebagai Eksekutif
- Adanya fungsi untuk ‘Memelihara’ – Wishnu sebagai Legislatif
- Adanya fungsi untuk ‘Mendaur ulang’ – Siva sebagai Yudikatif
Mari kita kutip lagi sebuah buku yang membahas makna ketiga fungsi atau sering juga orang-orang menyebutnya 3 peran tersebut, “Aspek mencipta, kemudian dikaitkan dengan pengetahuan, kreatifitas, kebijaksanaan dan sebagainya. Aspek memelihara berkaitan dengan kasih, kesejahteraan, kepedulian dan sebagainya. Aspek mendaur ulang berkaitan dengan pemurnian, pembersihan, kesucian dan sebagainya,” dikutip dari Rahasia Alam Alam Rahasia, Seni Hidup Harmonis Alami, oleh Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2003, hal. 224.
Merekalah yang disebut Trimurti itu. Bahwa alam semesta ini diadakan dari yang tidak ada menjadi ada oleh ketiga fungsi tersebut. Sesungguhnya, nama ketiga Dewa Utama (Naibata Na Bolon) tersebut jika ditelusuri dalam Mitologi Simalungun akan ditemukan. Intinya ketiga fungsi utama tersebut merupakan Formula untuk menata perikehidupan manusia Simalungun agar harmoni dengan alam, sesama manusia dan dengan Ia Hyang Tunggal (Habonaron). Jika salah satu fungsi itu stagnan, berhenti, maka ketidakseimbangan akan terjadi.
Peran Tohunlidoran
Marilah kita definisikan lagi apakah ‘peran’ eksternal lembaga Tohunlidoran itu: sebagai rumah bersama; payung bersama; benang merah; partongah; partuha; budayawan; pembentuk; perancang; pemomong/ parorot; pelindung; pemimpin; nurani budaya dan kebudayaan Simalungun yang berkenan dengan halak Simalungun atau na Mar-Ahap Simalungun.
Darimanakah berasal pemahaman ini, sehingga saya menyimpulkkannya demikian? Menurut pemahaman saya, apa yang disebut Suku Simalungun itu, dahulunya juga disebut PEWARIH, BAGIAN dari kebudayaan Sindhu, Hindu, Sunda (peradaban Sindhu dimulai dari Kandahar (Afganistan kini) hingga ke Nusantara). Apakah sesederhana itu? Ya!
Warisan Pengetahuan Leluhur Simalungun
Bukan itu saja. Sebab ‘Ajaran Batara Guru’ juga dimiliki, dihayati oleh Leluhur Halak Simalungun (bahkan ada Gual untuk Batara Guru). Meski tulisan tentang ajaran Batara Guru di Simalungun yang tertulis di Laklak belum kita temukan secara lengkap dan detil. Selanjutnya bukti lainnya adalah nama-nama bulan/satuan waktu juga mirip dan hampir persis sama dengan nama-nama yang terdapat dalam bahasa Sansekerta – hal ini boleh kita ketahui di berbagai buku-buku sejarah Simalungun. Bentuk yantra yang terdapat di Simalungun juga mirip dan persis sama seperti yang terdapat dalam kitab-kitab apa yang disebut ‘agama’ Hindu sekarang. Dan masih banyak bukti-bukti kemiripan lainnya. Beberapa kata kuno Simalungun juga berasal dari Sansekerta. Jelasnya, dahulu kala, bahasa Sansekerta telah menjadi bahasa ‘internasional’ di kawasan Peradaban Sindhu, Hindu, Sunda – terutama dalam ajaran spiritual. Degradasi cara penggunaannya pun telah terjadi.
Anehnya, apa yang dinamakan warisan peradaban Sindhu, Hindu, Sunda itu kini telah berubah menjadi ‘agama’ Hindu sekarang – meski masih banyak daerah, kabuyutan yang tetap bertahan dengan kekhasannya, menjadi ‘Agama Asal’. Perlu kita pahami makna ‘agama’ Hindu sekarang sangat berbeda secara substansial dengan ‘makna’ peradaban Sindhu, Hindu, Sunda yang dahulu (masalah ini lain kali kita bahas).
Jadi saya berangkat dari titik tolak, bahwa leluhur kita dahulu juga merupakan bagian dari PERADABAN Sindhu, Hindu, Sunda dalam artian luas – jadi legenda arus migrasi, tukar informasi, saling kunjung mengunjungi itu adalah soal biasa! Jadi polemik apakah leluhur Simalungun adalah Hindu, saya lompati dahulu dengan keyakinan dan kesimpulan pribadi saya – Ya.
Peran Itu Tidak Serta Merta Diwarisi – Magang, Berguru Dulu
Sebelum melongok lebih dalam lagi, marilah kita sekilas mengingat sebuah istilah ‘magang’, ‘marguru’. Dahulu kala, ‘Huta Berbenteng’ tidaklah begitu mudah dibuka untuk sebuah keluarga baru. Tidak mudah!
Ada prasyarat yang harus dipenuhi, mulai dari letak geografis; posisi terdekat dengan sebuah sungai dan bukit (sesuai dengan arah tertentu); dari segi persyaratan standar pendirian bangunan, harus memiliki ketiga fungsi tersebut (Suhut, Boru, Tondong), dan yang terpenting adalah ketiga kedudukan/posisi ‘pemula’ ini harus sudah ‘magang’ dahulu kepada mereka yang sudah dituakan di Huta Induk - sehingga ada istilah Silima Huta, Sipitu Huta.
Si ‘Suhut’ magang terhadap saninanya yang sudah dituakan. Si Anak Boru Jabu atau Anak Boru Mintori magang terhadap sanina mereka yang sudah matang, dituakan. Lalu si calon Tondong yang akan ikut dalam sebuah huta berbenteng juga harus magang terhadap saninanya yang sudah dituakan juga – berilmu dan berpengetahuan. Demikianlah dahulu, ketiga fungsi itu harus benar-benar belajar dan paham akan fungsi, peran dan kedudukannya, baru diizinkan membuka Huta baru – sambil jalan akan senantiasa diboboti. Jadi kedudukan itu tidak langsung diterima saja tanpa berpengetahuan. Jadi sejak dahulu proses belajar itu sudah diterapkan dimulai di dalam sebuah huta berbenteng, dalam keseharian hidup, begitulah cara mereka menjalani hidup berdasarkan ketiga fungsi utama itu – Kita namakan hubungan itu SEGITIGA PENOPANG KEHIDUPAN atau TOLU SAHUNDULAN.
Lain dahulu, lain sekarang
Sekarang sistem dan struktur kemasyarakatan sebuah desa sudah berdasarkan sistem RT dan RW yang heterogen. Setiap keluarga batih Halak Simalungun dalam melakukan horja-horja adatnya akan senantiasa memiliki sanak keluarga dari kampung atau desa terdekat karena sistem tempat tinggal sekarang telah bercampur – bentuk huta adat sudah tidak dipakai lagi. Pastilah berdasarkan pertalian darah akan menemukan Tondong dan Anak Boru Jabunya di sekitarnya.
Sejak perubahan susunan kemasyarakatan, pasca kemerdekaan RI dan hubungan dengan keturunan Partuanon dan Raja telah berubah, maka yang menjadi Ujung Tombak pemelihara pengetahuan horja-horja adat sampai sekarang adalah mereka para Si Raja Parsahap dari setiap Keluarga Batih halak Simalungun.
Soal lain, di Simalungun hubungan segitiga antara Suhut – Anak Boru Jabu – Tondong ini terikat oleh Hukum Keseimbangan. Artinya, seorang Suhut, Anak Boru Jabu, Tondong (berdasarkan hubungan sebuah keluarga batih) masing-masing dari MEREKA, suatu ketika akan memerankan ketiga fungsi itu juga. Tidak ada kedudukan/posisi yang tetap, konstanta! Mangidah parhundulni do.
Di sinilah keunikan sistem kekerabatan Tohunlidoran suku Simalungun. Keseimbangan fungsi itu mengajarkan setiap halak Simalungun untuk belajar memainkan ketiga fungsi tersebut secara bersamaan. Belajar merasakan fungsi lainnya, belajar berempati, belajar menghormati satu sama lain. Inilah hukum kebersamaan, kesetaraan, kesejajaran – tidak ada istilah satu marga, satu keluarga yang tertinggi di semua horja-horja di Simalungun. Hmmm… menarik sekali.
Pertanyaannya, bagaimana dengan proses ‘magang’ itu? Proses pendidikan itu? Sehingga setiap peran Suhut, Boru, Tondong masa kini memahami fungsi dan kedudukannya secara budaya, dan adat? Apakah semua tanggung jawab ini diserahkan pada ‘kerelaan’, ‘kepedulian’, ‘kesadaran’ dari para Si Raja Parsahap dari masing-masing keluarga batih yang terserak, terpencar tanpa koordinasi itu?
Sementara apa yang dinamakan payung para ‘Si Raja Parsahap’ itu di mana? Siapa? Sampai berapa lama kita mengandalkan ‘kerelaaan’ mereka menjalankan fungsi dan kedudukan mereka, tanpa ada lembaga ‘atas nama Masyarakat adat Simalungun’ – kolektif, yang memantau semua ini? Melindungi semua ini? Memperhatikan semua ini? Ini tugas bersama kita!
Lalu jika dahulu atas nama Halak Simalungun (kolektif) ada Lembaga Musyawarah tertinggi yang mengatur, memelihara, menyelesaikan konflik antarsesama. Seperti yang terdapat, tergambar pada lembaga musyawarah ‘Dewan Harajaan’ dahulu yang dapat kita kutip dari penjelasan buku; Sejarah Simalungun, oleh D. Kenan Purba, SH. & Drs. J. D. Purba, Penerbit Bina Budaya Simalungun, Parsadaan Ni Purba Pakpak, Boru pakon Panogolan se-Jabotabek, Jakarta, 1995, hal 10-12. “Dewan Harajaan terdiri dari: Guru Bolon, Raja, Tungkat (Urang Kaya), Gamot-gamot (Datuk Pamogang), dan Pangulu Dusun (Partuanon).”
Dan bandingkan juga dengan peran lembaga musyawarah kerajaan Simalungun dahulu; ‘Harungguan Bolon dan Karapatan Nabolon’, pun unsur-unsur itu masih terdapat di dalamnya. Bahkan secara bertingkat hingga ke wilayah terkecil pun akan kita temukan kelima fungsi itu, (baca buku; Jalannya Hukum Adat Simalungun, Jahutar Damanik,Bekerjasama dengan PD. Aslan, 1974, hal 75-80).
Maka bagaimana keadaannya sekarang?
Ada kekosongan kedudukan dan peran!
Bukankah peran Dewan Harajaan dan Harungguan Bolon itu tidak ada lagi? Lalu bagaimana dengan Lembaga brahmana – Parhabonaron/datu, dan keturunan raja-raja dan partuanon itu sekarang? Padahal peran mereka terdapat dalam segitiga kedudukan dan fungsi utama dalam sistem Tohunlidoran itu? Bukankah ini menunjukkan adanya kekosongan fungsi dan kedudukan atas nama Masyarakat Adat Simalungun dan Budaya Simalungun itu sendiri? Ini berbahaya. Dan tidak bisa dibiarkan berlangsung lama. Sebaiknya ada tindakan dari para sepuh.
Meski seperti penjelasan di atas, pada lingkup yang sporadis, terpencar, tidak terkoordinasi, para Si Raja Parsahap dari setiap keluarga batih masih bertahan di garda terdepan sebagai ujung tombak pelestarian budaya dan adat isitiadat Simalungun. Lewat Si Raja Parsahap yang tersebar tanpa koordianasi itu, pengetahuan kebudayaan masih tetap diwariskan secara turun temurun, namun tingkat pemahaman dan penerimaannya kini berangsur sepi dan garing. Semakin melemah tingkat apresiasi masyarakat Simalungun terhadap budayanya akibat derasnya pengaruh eksternal. Sampai berapa lama lagi para Si Raja Parsahap – para Anak Boru, Anak Boru, Anak Boru Mintori itu dibiarkan tanpa Ibu, tanpa Pemimpin?
Meski sekarang ada namanya lembaga Pemerintahan Daerah (Pemda) yang memiliki azas legalitas dari Negara Republik Indonesia dan Pemerintahan Republik Indonesia di setiap wilayah yang di dalamnya ada wilayah adat para Sipukkah Huta di masing-masing wilayah Masyarakat adat. Namun apakah cukup? Akan tetapi, peran Pemda Tk. II Kabupaten Simalungun dan Kotamadya P. Siantar khususnya tetap tidak mampu menjadi pengganti pemimpin sistem adat Simalungun. Tetap saja ada yang hilang…
Lalu apa bedanya?
Memang Pemda Tk. II Kabupaten Simalungun dan Kotamadya P. Siantar memiliki kekuasaan dan wewenang yang berlapis di semua lini kehidupan; budaya,politik, sosial, kesehatan, ekonomi dll. Semenjak sistem kerajaan Simalungun dahulu telah terintegrasi kedalam NKRI, maka peran Pemda TK. II (kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar) dalam wilayah budaya dan kebudayaan tetaplah tidaklah dapat memasuki ke intinya, yakni memasuki wilayah sistem Tohunlidoran. Karena, wilayah itu merupakan kawasan sakral, wilayah batin, wilayah mandiri – tempat ‘puncak-puncak’ ke-budaya-an Nasional itu berasal, berproses – yang dimotori para Sipukkah Huta, Masyarakat Adat yang memiliki nilai-nilai sendiri, kearifan sendiri, pengetahuan sendiri tentang hubungan mereka dengan alam, sesama, dan Ia Hyang Tunggal, dalam bentuk tradisi, adat istiadat, hukum adat dll., yang keberadaannya diakui UUD 45.
Apa yang dilakukan inti masyarakat Adat Simalungun itu (Lembaga Tohunlidoran) sejatinya untuk memperkuatkan kebudayaan dan Budaya Nasional – dalam ranah nilai-nilai Universal, Budhi, yang tercermin dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika. Bahwa Budaya Daerah (termasuk Simalungun) adalah pembentuk budaya dan kebudayaan Nasional, yang sejatinya juga menghayati nilai universal demi persatuan dan kesatuan Bangsa. Juga untuk menyokong kemandirian Budaya Nasional dan Ekonomi (lihat pasal 32 dan 33 UUD 45).
Pemda Tk. II Kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar tidak dapat menggantikan peran lembaga Tohunlidoran, karena tidak dapat memasuki wilayah ‘batin’ Halak Simalungun yang memiliki sejarah panjang dengan tanah dan airnya serta ajaran spiritualnya (ada hubungan emosional dan spiritual antara Halak Simalungun dengan daerah adatnya). Memang hubungan Pemda Tk. II Kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar dengan lembaga Tohunlidoran adalah mitra dalam banyak sendi kehidupan, namun dalam ranah substansi penciptaan tradisi, kebudayaan baru, dan sistem kebudayaan Tohunlidoran, Pemda Tk. II tidak bisa ikut campur. Sebab hubungan Pemda dengan orang-orang Simalungun yang ada di wilayah Pemda Tk. II Kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar adalah hubungan antara warga bangsa dengan pemerintahan Indonesia, namun hubungan antara pemda dengan masyarakat adat beda lagi – seperti yang saya jelaskan di atas.
Keberadaan Tohunlidoran sebagai Pertahanan Nilai di Daerah
Seperti masyarakat adat lainnya, Budaya Simalungun juga memiliki sejarahnya sendiri, wilayahnya sendiri, nenek moyangnya sendiri, kearifannya sendiri. Pengetahuan itu, tradisi itu, falsafah itu, adat isitiadat itu, kebudayaan itu, budaya itu menjadi kekayaan Negara, dalam PERTAHANAN NILAI. Karena sesungguhnya masyarakat adat itu tidak terlibat dalam urusan ‘politik praktis’ dan ‘kekuasaan’, atau pengaruh partai politik, akan tetapi keberadaan mereka sangat berperan dalam menjaga moral, tata krama, kelestarian alam dan lingkungan – ekosistem, persatuan dan kesatuan nasional.
Intinya keberadaan suatu masyarakat adat terkait dengan tempat, wilayah tertentu yang memiliki nilai-nilai khas yang universal demi terciptanya kedamaian, cinta dan harmoni dalam konteks NKRI. Keberadaan masyarakat adat itu sendiri tidak bertentangan dengan Falsafah Negara dan UUD 45, malah memperkuatnya.
Dari penjelasan di atas, dapatlah diketahui bahwa keberadaan masyarakat adat Simalungun menjadi partner Pemda Tk. II Simalungun dan Kotamadya P. Siantar dalam mengisi pembangunan Nasional, harmoni dalam strategi pembangunan nasional. Keberadaan masyarakat Adat Simalungun dalam hal ini Lembaga Tohunlidoran akan menjadi NURANI, PERTAHANAN NILAI dalam mengurus, mengelola pembangunan nasional berkenan hubungan manusia dengan alam, sesama,’agama’ – yang heterogen, juga dalam menghadapi, menyaring dampak negatif kemajuan teknologi, produksi massal barang ekonomi, radikalisme, rasisme, dan konsumsi barang berlebihan dll.. Bersama lembaga agama, lembaga Tohunlidoran akan menjadi ‘benteng nilai’ yang bisa diandalkan. Menegasikan keberadaan lembaga Tohunlidoran, akan menyebabkan ketakseimbangan hubungan batin antara alam, wilayah masyarakat adat Simalungun dengan manusia yang hidup di atasnya.
Maka, keberadaan lembaga Tohunlidoran akan menjadi pengawas terhadap pengelolaan SDA di wilayah adatnya bersama Pemda Tk II, misalnya mengantisifasi dampak negatif eksploitasi alam yang tak bertanggungjawab, korupsi, degradasi moral, politik kotor, dan konflik horizontal, dll..
Penguatan dan aktifasi lembaga Tohunlidoran adalah suatu kebutuhan masyarakat adat Simalungun dan perannya sangat dibutuhkan Pemda Tk. II Kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar sebagai mitra dan ‘pertahanan nilai’.
Hubungan Pemda dengan Lembaga Tohunlidoran dan Halak Simalungun di Daerahnya
Gambaran hubungan antara Pemda Tk. II Kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar dengan lembaga Tohunlidoran sebagai wakil masyarakat adat dalam ‘hubungan budaya dan kebudayaan simalungun’, berdasarkan 3 fungsi utama itu adalah sebagai berikut:
- Pemda Tk. II Kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar akan memerankan peran sebagai ‘Pemelihara’, ‘Wishnu’, ‘ Legislatif’, memayungi dan melindungi keberadaan dan kegiatan masyarakat adat dengan perangkat hukum dan UU sesuai dengan amanat UUD 45 .
- Lembaga Tohunlidoran sebagai Pendaur Ulang, Siva, Yudikatif – tempat bertanya sebagai sepuh berkenan budaya dan kebudayaan Simalungun. Juga sebagai penyeimbang dan peredam kegiatan politik dan ekonomi yang tamak dan eksploitatif, juga menjaga keharmonisan hubungan sosial yang heterogen – sebagai Sipukkah Huta. (Jadi tidak seperti di daerah lain, generasi muda Sipukkah Huta dijadikan ‘tokoh politik’ sebagai kendaraan politik semata atau tukang palak bagi Pemda dan Swasta – ini merendahkan martabat masyarakat adat).
- Masyarakat adat sebagai ‘pencipta’, ‘Brahma’, ‘pelaksana’, ‘Boru’ dalam kegiatan budaya dan kebudayaan Simalungun. Kaitannya sebagai masyarakat agraris dalam kegiatan lingkungan, ekonomi, sosial dan budaya – spiritual.
Kalau dalam hubungan pemerintahan RI dengan Warga Bangsa, maka Pemda Pemda Tk. II Kab. Simalungun dan Kotamadya P. Siantar akan memerankan semua ketiga fungsi tersebut:
- Sebagai energi pencipta, pelaksana (Brahmana) – Eksekutif: Bupati dan Walikota beserta jajaran strukturalnya
- Sebagai energi pemelihara (Wishnu) – Legislatif: DPRD
- Sebagai energi pendaur ulang (Siva) – Yudikatif: Kejaksaan dan lembaga Peradilan
Meski dalam perkembangannya, lembaga ketatanegaraan kita penjabarannya sekarang lebih kompleks lagi dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY).
Penutup
Keberadaan Lembaga Tohunlidoran sangat strategis untuk pembentukan kemandiran ‘jati diri bangsa’ Indonesia dalam Budaya dan Kebudayaan Nasional, dan juga sebagai pertahanan nilai terhadap arus globalisasi.
Oleh karena itu, menurut saya, Lembaga Tohunlidoran ini sangat perlu kita aktifasi karena ini menyangkut masa depan budaya dan Kebudayaan Simalungun yang memiliki sejarah panjang, dan khas. Keunikan dan kekhasan inilah yang menjadi jati dirinya berkenan dengan aura tanah dan air wilayah adat Simalungun. Filosofi Tolu Sahundulan Lima Saodoran adalah formula yang abadi dapat digunakan dalam semua sendi kehidupan, dalam hubungan social dan cara pengungkapan keyakinan kita yang heterogen.
Sementara kalau kita indentifikasi, lingkup peran lembaga Tohunlidoran akan mengurusi banyak hal seperti: soal pelestarian dan penghormatan alam/lingkungan; hubungan dengan masyarakat adat suku lainnya; jumlah agama yang heterogen; serta hubungan antaragama; keberadaan keyakinan asal – Parhabonaron; pesta panen – tradisi masyarakat agraris; moralitas (pertahanan nilai); cara penghormatan terhadap alam/lingkungan; kesejahteraan; keadilan, keamanan; perlindungan situs-situs kebudayaan Simalungun; bahasa dan sastra; tari; astrologi dll..
Oleh karena itu, maka saya mencoba merumuskan unsur-unsur lembaga Tohunlidoran sebagai wakil masyarakat adat Simalungun secara kolektif yang selaras dengan kearifan lokal halak Simalungun yang memiliki sejarah panjang berdasarkan spiritualitas:
- Lembaga para Budayawan, Partuha Simalungun (ciri-ciri mereka sudah kita bahas). Berkedudukan sebagai Tondong dan berfungsi sebagai energi pemurnian, furifikasi, penasehat, pendaur ulang – Siva.
- Lembaga Sibotoh Adat, termasuk para Datu yang menguasai pengetahuan masyarakat agraris – Datu dalam artian Budaya, dan para sepuh Si Raja Parsahap pilihan yang dituakan. Berkedudukan sebagai Boru dan berfungsi sebagai pelaksana, Si Raja Parsahap tikki horja-horja adat, karena mereka memiliki pengetahuan itu – Brahma.
- Lembaga Siopat Marga (Sisadapur) ditambah dengan Lembaga Partuanon dan Keturunan raja-raja dahulu – sebagai manifestasi Sipukkah Huta dan pewarih sejarah panjang leluhur halak Simalungun. Berkedudukan sebagai Suhut dan berfungsi sebagai pemelihara alam Pertibi Simalungun dan kesejahteraan keturunan Sipukkah Huta terlebih – Wishnu.
Segitiga lembaga Partuha, Sibotoh Adat dan Lembaga Siopat Marga – sesungguhnya ketiga kedudukan ini masih dapat kita rumuskan menjadi 5 kedudukan lagi – telah mewakili 3 fungsi universal: pencipta, pemelihara, pendaur ulang. Kebutuhan lembaga Tohunlidoran ini tidak dapat ditunda lagi demi melindungi masa depan masyarakat adat Simalungun. Di dalamnya terdapat prinsip kegotongroyongan yang bila dikupas lagi, di dalamnya terdapat prinsip-prinsip: kesetaraan, keseimbangan, musyawarah mufakat, kebersamaan, satu untuk semua semua untuk satu, tidak ada dominasi mayoritas, kemanusiaan, keadilan dan ketuhanan (religiositas)…
Sebentar mari kita tengok dahulu, apa yang terjadi di wilayah masyarakat adat lainnya, ‘peran’ agama begitu mendominasi lalu ceroboh mengatasnamakan suatu suku dengan atribut suatu agama. Saya terpaksa mengungkapkan hal ini, dan banyak contoh lainnya. Dan sering terjadi klaim ‘peng-‘agama’-an tunggal atas suatu suku dan pelecehan simbol-simbol keyakinan yang berbeda. Sebagai contoh, kalimat berikut sering saya temui dalam pembicaraan di dalam masyarakat Indonesia akhir-akhir ini, ”Ia bukanlah seorang suku…. jika ia tidak beragama….” Ada lagi kejadian terkini dengan penghancuran patung-patung yang bukan milik mereka – sungguh tidak pantas dilakukan. Hmmm…. menyedihkan sekali. Ini tidak mencerminkan spirit Pancasila.
Dan masih banyak lagi, dampak negatif yang akan memengaruhi masyarakat adat Simalungun jika keberadaan lembaga Tohunlidoran tidak kita aktifkan – hita pajongjong. Khusus di Simalungun kerusakan hutan, gunung juga sudah parah… Soal lain yang masih perlu diatasi adalah polemik asal usul nenek moyang kita, dan marga di Simalungun pun dapat segera dituntaskan secara arif dan bijaksana.
Intinya, visi dan misi lembaga Tohunlidoran ini adalah menciptakan masyarakat adat Simalungun yang berdasarkan gotongroyong (berdasarkan 3 fungsi utama itu) selaras dengan kearifan lokal di atas Pertibi Habonaron demi kehidupan yang peace, love and harmony – mengutip pendapat Budayawan, Tokoh Lintas Agama, Nasionalis Anand Krishna.
Aktifasi lembaga Tohunlidoran ini merupakan Strategi Kebudayaan Simalungun yang ‘sadar’, tidak mabuk masa lalu, atau masa depan, mabuk barat atau timur, namun orientasinya adalah SAUHUR SIMALUNGUN, SAUHUR INDONESIA, SAUHUR SAPDUNIA ON – berdasarkan spirit gotongroyong dan spiritualitas.
Diatetupa ma. Mohon maaf jika ada salah kata.
Posted By @Dori Alam Girsang