Oleh : Freddy Purba Sidagambir
MASA KECIL
JWS lahir di Sinondang pada tahun 1888, ayahnya bernama Jalam Sumbayak dan ibunya Ronggainim Purba. JWS adalah anak ketiga dari 5 (lima ) bersaudara. Semasa kecilnya ia bersama orangtuanya tinggal diperkampungan dengan mencari nafkah dari hasil pertanian.[3] Keluarganya masih menganut agama kepercayaan nenek moyang Simalungun , sehingga pada masa itu ritual penyembahan kepada yang diagungkan seperti benda-benda sakral, roh nenek moyang dan tempat-tempat keramat adalah sesuatu yang sering disaksikan JWS. Pada masa kecilnya, ia hanya mendapat pendidikan informal dari keluarganya, khususnya sang ayah yang memberikan petuah-petuah kepadanya, bagaimana untuk berlaku hidup dalam tatanan hidup orang Simalungun. Pada umur 12 tahun, ia sudah berusaha mempelajari surat batak yaitu surat sapuluh siah (abjad yang 19 ) melalui bantuan ayahnya.
MASA REMAJA
Masa remajanya mengalami duka cita dengan meninggalnya ayahnya pada tanggal 24 Oktober 1904, sehingga JWS menjadi seorang anak yatim pada masa remajanya. Keadaan tersebut membuat JWS harus mandiri dengan membuat kerajinan tangan untuk keperluan keluarganya, sebab semasa hidup ayahnya ia seringkali memperhatikan dan mempelajari cara membuat sarung bedil, keranjang ayaman, sisir dan tempat periuk yang dibuatnya dari rotan dan bambu. JWS juga sudah dapat menyadap pohon enau, agar menghasilkan tuak untuk minuman ibunya dan sebagian lagi di jualnya ke Pamatang Raya seharga 2 hupang ( 2 sen), dan dibelanjakannya untuk keperluan dapur. Pada tahun 1905 ia beserta keluarganya pindah ke Raya Dolog dan menanam padi disana, tetapi setahun kemudian mereka pindah lagi bersama pamannya ke Parsimagotan, kira-kira 2 km dari Raya Dolog dan JWS mendirikan gubuk kecilnya dibantu oleh pamanya, sebagai tempat tinggal keluarganya.[4] Ia menjadi bapak keluarga didalam keluarganya, karena abangnya yang bernama Jaudin Saragih tidak tinggal bersama mereka, abangnya bekerja menjadi pengawai pemerintahan bersama tuan Hapoltakan di Raya. Sehingga masa remajanya berfokus pada tanggungjawab yang besar untuk membantu ibunya, beserta kakak dan kedua adiknya perempuan.
MASA DEWASA
Menyikapi keberadaannya selaku pemuda, maka ia bergumul akan masa depannya nanti, sehingga ia berniat untuk memperoleh ilmu pengetahuan, agar dapat memperbaiki keberadaan keluarganya. Sehingga ia mengirim surat kepada abangnya si Jaudin Saragih dengan aksara Batak, yang berisi tentang keinginannya untuk mendapat pengajaran. Sehingga tidak berapa lama, kiriman pelajaran Latin yang dibuat oleh abangnya sampai kepadanya, demikianlah berlangsung terus. Sehingga perjuangannya terbukti, yakni JWS dapat membaca surat Latin, pada masa itu surat Latin adalah suatu pengetahuan yang luar biasa pada zamannya. Setelah menguasai huruf Latin, JWS juga berkeinginan untuk mempelajari tulisan huruf cetak. Sehingga ia sering pergi ke Pamatang Raya, agar abangya mengajarnya. Sehingga dalam jangka yang tidak lama, ia sudah dapat menuliskan huruf cetak. [5]
Apa yang telah dimiliki JWS mengenai ilmu yang sudah diperolehnya, dirasanya belum dapat menjadi modal hidup, hal ini dipengaruhi oleh karena dia sering melintasi Pamatang Raya. Dimana ia sering melihat orang bersekolah, sekolah tersebut didirikan oleh zending RMG. Sehingga JWS berniat mengecap ilmu di sekolah zending itu, atas berkat bantuan abangnya untuk mensosialisasikan impiannya itu kepada ibu mereka. Maka JWS dapat bersekolah. Pada awalnya ia selalu kembali ke rumahnya, akan tetapi untuk lebih efesien. Maka JWS tinggal bersama gurunya yang bernama Domitian Tambunan . Ia rajin belajar, meskipun ada kendala dalam hal bahasa, karena bahasa pengantar di sekolah adalah bahasa toba. Mereka mempelajari berbagai bidang ilmu, akan tetapi pada umumnya sekolah zending lebih berfokus terhadap pengajaran agama Kristen.[6] Setelah JWS menjalani proses pengajaran di sekolah zending selama dua tahun, maka ia tamat dari sekolah zending tersebut. Moment inilah baginya, sebagai langkah awal mengenal kekristenan, ditambah pula karena JWS sering dibawa oleh gurunya ke Tarutung dan sering menyaksikan dan bahkan mengikuti ibadah minggu, walaupun ia belum Kristen. Setelah dua tahun mengikuti proses belajar, maka ia tamat dari sekolah zending. Timbul keinginannya kembali untuk bercita-cita ingin menjadi seorang guru, sehingga ia berniat untuk melanjutkan ke sekolah guru.
Masa dewasanya menyadarkan JWS agar berbenah diri, dengan menempah dirinya menjadi orang yang berilmu. Sehingga mampu bertahan hidup, dimana zaman semakin berubah.
JWS DARI KAFIR MENJADI KRISTEN
Peralihan kepercayaan JWS dari kekafiran menjadi pengikut Kristus, menurut penulis belum sepenuhnya didorong oleh tumbuhnya kesadaran imannya. Motif utama, sehingga ia mau dibaptiskan, agar JWS dapat mengikuti ujian testing memasuki sekolah guru di Sipoholon. Hal ini dilakukannya untuk meraih impiannya itu, sebab sebagai syarat utama masuk sekolah guru adalah harus sudah menjadi Kristen.
Maka sebelum ujian testing dilaksanakan pada bulan Oktober 1910, ia sudah dibaptis pada tanggal 11 September 1910.[7] Pembaptisannya juga membawa pengaruh terhadap identitas dirinya, yaitu sebelum dibaptis nama aslinya adalah Jaulung Saragih, setelah menerima baptisan namanya ditambahkan dengan Wismar, sehingga menjadi Jaulung Wismar Saragih. Tetapi setelah ia mengikuti ujian tersebut, JWS dinyatakan kalah. Kemudian pada tahun 1911, ia kembali mengikuti testing ditempat yang berbeda yaitu di zending Kweekschool Narumonda dan ia dinyatakan menang. Sehingga mulai tahun 1911 – 1915, ia mengikuti proses belajar sampai tamat, dan pada tanggal 18 Oktober 1915, JWS ditempatkan menjadi guru zending di daerah Pamatang Raya.[8]
Sumber:
3. Minaria Sumbayak & Jaiman Sumbayak, In Memorium PDT. J. Wismar Saragih 7 Maret 1968-7 Maret 2007, ttp, hlm. 4-5
[4] J. Wismar Saragih, Memorial Peringatan Pendeta J.Wismar Saragih ( Marsinalsal), Jakarta :BPK-GM, 1977, hlm. 41-42.
[5] Ibid, hlm.47- 48
[6] Minaria Sumbayak & Jaiman Sumbayak, Op,Cit, hlm. 30-31
[7] J. Wismar Saragih, (Marsinalsal), Op,Cit, hlm. 56
[8] Ibid, hlm. 67-68
No comments:
Post a Comment