Friday, December 9, 2011

J. WISMAR SARAGIH



Oleh : Freddy Purba Sidagambir

MASA KECIL
JWS lahir di Sinondang pada tahun 1888,  ayahnya bernama  Jalam Sumbayak dan ibunya  Ronggainim Purba. JWS adalah anak ketiga dari  5 (lima ) bersaudara. Semasa kecilnya ia bersama orangtuanya   tinggal diperkampungan dengan mencari nafkah dari hasil pertanian.[3]  Keluarganya masih menganut agama kepercayaan nenek moyang Simalungun , sehingga  pada masa itu ritual penyembahan kepada yang diagungkan seperti  benda-benda sakral, roh nenek moyang dan tempat-tempat  keramat   adalah sesuatu  yang sering disaksikan  JWS.   Pada masa kecilnya,  ia hanya mendapat pendidikan informal  dari keluarganya, khususnya sang ayah yang memberikan petuah-petuah kepadanya, bagaimana untuk  berlaku hidup dalam tatanan hidup orang Simalungun. Pada umur 12 tahun, ia sudah berusaha mempelajari  surat batak yaitu  surat sapuluh siah (abjad yang 19 ) melalui bantuan ayahnya.

MASA REMAJA
Masa remajanya mengalami  duka cita dengan meninggalnya ayahnya  pada  tanggal 24 Oktober 1904,  sehingga JWS menjadi seorang anak yatim pada masa  remajanya. Keadaan tersebut membuat JWS harus mandiri dengan membuat kerajinan tangan untuk keperluan keluarganya, sebab semasa hidup ayahnya ia seringkali memperhatikan dan mempelajari cara membuat sarung bedil, keranjang ayaman, sisir dan tempat periuk yang dibuatnya dari rotan dan bambu.  JWS juga sudah dapat  menyadap pohon enau, agar  menghasilkan tuak untuk minuman ibunya dan sebagian lagi di jualnya ke Pamatang Raya seharga 2 hupang  ( 2 sen), dan dibelanjakannya untuk keperluan dapur.  Pada tahun 1905  ia beserta keluarganya  pindah ke  Raya Dolog dan menanam padi disana, tetapi setahun kemudian mereka pindah lagi bersama pamannya  ke Parsimagotan, kira-kira  2 km dari Raya Dolog dan JWS mendirikan gubuk kecilnya  dibantu oleh pamanya, sebagai tempat tinggal keluarganya.[4] Ia menjadi bapak keluarga didalam keluarganya, karena abangnya  yang bernama Jaudin Saragih tidak tinggal bersama mereka, abangnya bekerja menjadi pengawai  pemerintahan bersama  tuan Hapoltakan di Raya. Sehingga masa remajanya berfokus pada tanggungjawab yang besar untuk membantu ibunya,  beserta kakak  dan kedua adiknya perempuan.

MASA DEWASA
Menyikapi keberadaannya selaku pemuda, maka ia bergumul akan masa depannya nanti, sehingga ia berniat untuk memperoleh ilmu pengetahuan, agar dapat memperbaiki keberadaan keluarganya. Sehingga ia mengirim surat  kepada abangnya si Jaudin Saragih   dengan aksara Batak, yang berisi tentang keinginannya untuk  mendapat pengajaran. Sehingga tidak berapa lama, kiriman pelajaran Latin  yang dibuat oleh abangnya  sampai kepadanya, demikianlah berlangsung terus. Sehingga perjuangannya  terbukti, yakni JWS dapat membaca surat  Latin, pada masa itu surat Latin adalah suatu pengetahuan yang luar biasa pada zamannya. Setelah menguasai huruf Latin,  JWS juga berkeinginan untuk mempelajari tulisan huruf cetak. Sehingga ia sering pergi ke Pamatang Raya, agar abangya mengajarnya. Sehingga dalam jangka yang tidak lama, ia sudah dapat menuliskan huruf cetak. [5]

Apa yang telah  dimiliki JWS  mengenai  ilmu yang sudah diperolehnya, dirasanya belum dapat menjadi modal  hidup, hal ini dipengaruhi  oleh karena dia  sering melintasi  Pamatang Raya. Dimana ia sering melihat  orang bersekolah, sekolah tersebut  didirikan  oleh zending  RMG. Sehingga JWS berniat mengecap ilmu di sekolah zending itu, atas berkat  bantuan abangnya  untuk mensosialisasikan impiannya itu  kepada ibu mereka. Maka JWS dapat  bersekolah. Pada awalnya ia selalu kembali ke rumahnya, akan tetapi untuk lebih efesien. Maka JWS tinggal bersama  gurunya yang bernama   Domitian Tambunan .  Ia rajin belajar, meskipun ada kendala  dalam hal bahasa, karena  bahasa pengantar  di sekolah adalah bahasa toba. Mereka mempelajari  berbagai bidang ilmu, akan tetapi pada umumnya sekolah zending lebih berfokus  terhadap pengajaran agama Kristen.[6] Setelah  JWS menjalani proses pengajaran di sekolah zending selama dua tahun, maka ia tamat dari sekolah zending tersebut. Moment inilah  baginya, sebagai langkah  awal mengenal kekristenan, ditambah pula karena  JWS sering dibawa oleh gurunya  ke Tarutung dan sering menyaksikan dan bahkan mengikuti ibadah minggu, walaupun ia belum Kristen. Setelah  dua tahun mengikuti proses belajar, maka ia tamat dari sekolah zending. Timbul  keinginannya kembali untuk bercita-cita ingin menjadi seorang guru, sehingga  ia berniat untuk melanjutkan ke sekolah guru.

Masa dewasanya menyadarkan JWS agar berbenah diri, dengan menempah dirinya menjadi orang yang berilmu. Sehingga mampu bertahan hidup, dimana zaman semakin berubah.

JWS DARI KAFIR MENJADI KRISTEN
Peralihan kepercayaan JWS dari kekafiran  menjadi pengikut Kristus, menurut penulis belum sepenuhnya didorong oleh tumbuhnya kesadaran imannya. Motif utama, sehingga ia mau dibaptiskan, agar JWS dapat mengikuti ujian  testing   memasuki sekolah guru di Sipoholon. Hal ini dilakukannya untuk meraih impiannya itu, sebab sebagai syarat utama  masuk sekolah guru adalah harus sudah menjadi Kristen.

Maka sebelum ujian testing dilaksanakan pada bulan Oktober 1910, ia  sudah dibaptis pada tanggal 11 September 1910.[7] Pembaptisannya juga membawa pengaruh terhadap identitas dirinya, yaitu  sebelum dibaptis nama aslinya adalah Jaulung Saragih, setelah menerima baptisan namanya ditambahkan dengan Wismar, sehingga menjadi Jaulung Wismar Saragih. Tetapi setelah ia mengikuti ujian tersebut,  JWS dinyatakan  kalah. Kemudian  pada tahun 1911, ia kembali mengikuti testing ditempat yang berbeda yaitu di zending  Kweekschool Narumonda dan ia dinyatakan menang. Sehingga mulai tahun 1911 – 1915, ia mengikuti proses belajar sampai tamat, dan  pada tanggal 18 Oktober 1915, JWS ditempatkan menjadi guru zending di daerah Pamatang Raya.[8]

Sumber:
3. Minaria Sumbayak & Jaiman Sumbayak,  In Memorium PDT. J. Wismar Saragih 7  Maret 1968-7 Maret 2007,  ttp, hlm. 4-5
[4] J. Wismar Saragih, Memorial Peringatan  Pendeta  J.Wismar Saragih ( Marsinalsal), Jakarta :BPK-GM, 1977, hlm. 41-42.
[5]  Ibid, hlm.47- 48
[6]  Minaria Sumbayak & Jaiman Sumbayak, Op,Cit, hlm. 30-31
[7]  J. Wismar Saragih, (Marsinalsal), Op,Cit, hlm. 56
[8]  Ibid, hlm. 67-68

No comments:

Post a Comment