(Sebuah opini dari Neo Simalungun Jaya)
Saya menerjemahkan ‘motto’ atau pesa kearifan ini sebagai berikut: “Bergotong-royong mewujudkan tujuan mulia.”
Menurut saya dalam kata gotong-royong ini telah mencerminkan spirit ‘kesadaran diri’ sebuah komunitas masyarakat. Pedoman prilaku mereka, adat – sistem kemasyarakatannya, tradisi, dan semua hasil karsa, karya mereka telah mencerminkan ‘kesadaran’ diri.
‘Masyarakat tercerahkan’ memiliki sifat, ciri; bergotong-royong. Dalam masyarakat yang tercerahkan, mereka bergotong-royong karena ‘Penataan Diri”, “Pemberdayaan Diri” mereka telah berhasil. Keberhasilan akan pengenalan jati diri akan terlihat dari tutur kata, dan perbuatan.
Tata Diri ini merupakan ‘jalan’ untuk mengenli segenap potensi diri beserta segala teknologi yang mempermudah untuk mencapainya. Para leluhur kita mengerti betul akan kenyataan ini. Maka mereka merancang banyak berbagai tradisi untuk membantu masyarakatnya untuk mengenali jati dirinya terlebih dahulu – terutama atau yang UTAMA – baru setelah itu dengan sendirinya masyarakat itu akan sadar dengan sendirinya. Tak perlu peraturan yang demikian banyak dan detil untuk mengatur mereka. ini bedanya! Semakin sadar suatu masyarakat, peraturan mereka tidakdetil dan njilimet.
Jadi, Tata Diri adalah upaya awal dan utama, baru setelah itu sistem kemasyarakatan dibenahi. Hal ini akan lebih mudah tentunya.
Seperti kita tahu, leluhur kita sudah mengetahui hubungan manusia dengan alam sekitarnya – termasuk dunia hewan, dengan Ia Hyang Tunggal tidak bisa dipisah-pisahkan. Semua satu dan menyatukan. Semua hal yang terlihat berbeda itu sesungguhnya disatukan oleh Ia Hyang Tunggal itu.
Lalu, tujuan mulia. Apa maksudnya?
Tujuan mulia, berarti tujuan itu mencerminkan kemulian diri – umat manusia. Kemuliaan tentu berbeda dengan kesenangan semu. Kemulian berarti selaras dengan alam dan hukum alam serta sesuai dengan nilai-nilai universal kemanusiaan. (baca tulisan sebelumnya Siparutang Do Ahu Bani Simalungun, yang menjelaskan 5 hutang yang dimiliki manusia sejal lahir).
Jadi ketika kata Gotong-royong ketika dipadukan dengan kemuliaan – tujuan yang mulia, pastilah bermakna keselarasan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal – kesetaraan, keadilan, kebahagiaan, cinta, dan kasih. Setiap tujuan yang hendak dicapai itu pastilah demi kemuliaan sekelompok manusia yang jelas-jelas tidak merugikan sekelompok manusia lainnya. Jadi kemuliaan itu berlaku universal.
Lalu bergotong-royong untuk memanipulasi orang lain tepatkah? Korupsi kolektif dapat disebut bentuk gotong royong kah? Dapatkah kita bergototong royong hanya demi kesenangan kelompok kita saja? Marga kita saja? Tidak. Tujuan seperti itu tidak memulian diri.
Silahkan meninggikan derajat diri sendiri tanpa perlu merendahkan pihak orang lain. Tetap hormati orang lain. Ini perlu kita renungkan. Artinya kebenaran itu universal.
Mari membangun nagari kita tanpa perlu merendahkan manusia lainnya. Atau manusia mana pun itu nilai kemuliaan ini perlu dikedepankan. Jangan pula berencana meninggikan kelompok sendiri, kepentingan kelompok sendiri dengan mengangkangi hak dan kewajiban ‘mereka’ yang kita sebut pewarih hukum adat suatu wilayah.
Tujuan dari opini saya ini adalah, betapa dalam motto, falsafah; Sapangambei Manoktok Hitei – Bergotong-royong Mewujudkan Tujuan Mulia, sangat sarat akan ajaran spiritual, dalam dan mencerahkan. Artinya alam upaya mewujudkan tujuan ‘mulia kita’, orang-orang di sekitar kita pun merasakan manfaatnya, alam di sekitar kita pun terlindungi, lestari. Jadi tak ada unsur manipulasi, eksploitasi, kemunafikan, keserakahan. Kemuliaan itu tak bisa dimanipulasi. Memuliakan diri berarti memuliakan orang lain – inilah hakekat Budaya sejati.
Jadi, marilah kita bergotong-royong mewujudkan tujuan mulia demi kebahagiaan semua umat manusia. Inilah falsafah halak Simalungun. Lahir secara kontekstual, murni, khas Simalungun namun bersifat mendunia pula. Hmm… Sapangambei manoktok hitei.
(NSJ/dep)
No comments:
Post a Comment