"Identitas Simalungun: Dari Persaudaraan Marga ke Ikatan Rasa?"
Oleh MARTIN LUKITO SINAGA
Sin Raya sin Purba, sin Dolog sin Panei,
Naija pe lang mahua, asal ma marholong atei
(Dari Raya dari Purba, dari Dolog dari Panei,
Siapa saja tak berbeda, asal mau mengasihi)
Jansen Pardede dalam disertasinya di Universitas Mainz, Jerman, Die Batakchristen auf Nordsumatra und ihr Verhaeltnis zu den Muslimen,1975, mencatat bahwa marga adalah inti (religiositas) Batak. Menurut beliau, marga menunjukkan asal muasal teritorial seseorang, juga genealogi ataupun ikatan darah dan silsisah keluarganya. Dalam ikatan marga tadi terbentuk suatu ritual, semisal dalam upacara pendirian tugu marga-marga. Bahkan, dalam ikatan marga, orang Batak juga bersumpah setia atau bersumpah serapah. Dalam jalur marga-marga pulalah penurunalihan cerita dan hukum adat terjadi. Bahkan, kedudukan sosial (dahulu) dan adat (sekarang) seseorang tergantung kepada marga yang ia emban.
Dulu dengan bermarga Sinaga saja, seseorang sudah akan bisa bertahan hidupnya sebab ia bisa minta dukungan ekonomi dari dongan sabutuhanya sesama Sinaga dan bisa minta pelayanan ini-itu dari borunya yang beristrikan marga Sinaga. Kini dalam pesta adat, seorang Batak langsung menemukan tempat duduknya seturut dengan posisi marganya dalam skema Tungku nan Tiga (Dalihan na Tolu, di Simalungun skema itu bahkan disebut Tolu Sahundulan ‘Tiga Sekedudukan’), suatu kerangka kerja yang biasa dipakai di setiap pesta Batak.
Di Simalungun sendiri pernah disinggung (semisal dalam catatan J. Tideman, Simaloengoen: Het Land der Timoer-Bataks in zijn vroegere en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied can de Oostkust van Sumatra, Leiden, 1922) bahwa ikatan marga yang menyatukannya ialah Sisadapur: Sinaga, Saragih, Damanik, Purba, dan Girsang. Lalu dalam perkembangannya, marga-marga semisal Silalahi, Sipayung, Sitopu, Lingga, Haloho pun diikutsertakan. Yang menarik, dalam perkembangan mutakhir, identitas Simalungun semakin diletakkan pada ahap Simalungun. Dalam Seminar Kebudayaan Simalungun tahun 1964 disimpulkan bahwa halak Simalungun aima na marahap Simalungun ‘orang Simalungun ialah siapa saja yang punya ahap Simalungun’.
Ahap Simalungun
Apa artinya kalau ahap (rasa) menjadi pengikat Simalungun? Tampaknya catatan antropolog Clifford Geertz, dalam bukunya yang tersohor, The Interpreation of Culture, 1973, bisa sedikit membantu. Geertz mencatat bahwa bagi orang Jawa, tatanan simbolik amat penting. Pementasan wayang, misalnya, adalah penyajian cerita yang penuh dengan makna tersirat dan penonton selama berjam-jam harus menangkap makna seturut dengan pencerapan dirinya sendiri. Keramaian perang para kesatria dan kekonyolan para punakawan adalah simbol yang menunjuk ke dalam dunia batin manusia, dan masing-masing orang Jawa harus menemukan siapa dirinya setelah menonton wayang itu. Yang di luar (yang kasar dan konyol) sesungguhnya perlu ditangkap dan dipahami dari yang batiniah (yang halus dan yang di dalam) agar pesan dapat ditangkap. Di sini tentu saja perlu rasa.
Rasa, demikian lanjut Geertz, berdimensi dua: perasaan (feeling) dan makna (meaning). Sebagai perasaan, rasa adalah salah satu dari pancaindra orang Jawa, yaitu melihat, mendengar, berbicara, membaui, dan merasakan. Namun, orang Jawa menjadikan “rasa” sebagai porosnya: citarasa sebuah pisang adalah rasa-nya, suatu firasat adalah suatu rasa, kesakitan adalah suatu rasa, dan hasrat adalah juga sebentuk rasa. Sebagai makna, rasa diterapkan pada kata-kata dalam suatu surat, bahkan juga dalam suatu percakapan; makanya orang Jawa bisa bicara lama tanpa perlu mengeksplisitkan maksudnya sebab yang perlu ialah merasakan pesannya. Gerak tubuh pun dapat dirasakan pesannya, tak perlu terang-terangan melotot atau mengepal tangan kalau sedang marah.
Ahap Simalungun tentu tak perlu persis seperti rasa dalam diri orang Jawa walau ada singgungannya. Ahap Simalungun pertama-tama adalah sinyal-sinyal emosi yang tertangkap di setiap percakapan ataupun perjumpaan. Seorang Simalungun akan mudah merasakan apakah lawan bicara punya rasa Simalungun dari cara bertuturnya dan dari gerak-geriknya. Selalu ada yang tidak langsung di setiap kata yang terucap, dan setengah mati rasanya bagi orang Simalungun untuk menaruh tanda seru di akhir kalimatnya. Setengah mati pula orang Simalungun dalam mengungkapkan diri dalam gesture tubuhnya. Percakapan Simalungun ialah percakapan yang memohon dengan halus, bukan menyuruh dengan tegas. Ada kehalusan yang kompleks dalam bertuturnya, ada pula pengendapan yang bertakik-takik dalam batinnya. Ekspresi tubuh orang Simalungun adalah ekspresi yang selalu mau menutup apa yang sempat terungkap. Hampir-hampir ia tidak beringsut dari duduknya. Dalam peribahasa Simalungun dikatakan bahwa setiap orang Simalungun punya tujuh lapis pakaian, sekalipun ia tampak bertelanjang dada.
Ahap juga adalah sebentuk penghayatan (mangkagoluhkan ‘menghidupi’) serat-serat kultur Simalungun, yang prinsipnya ialah Habonaron do Bona, Sapangambei menoktok hitei. Artinya kurang lebih: Pangkal hidup ialah bersikap benar dan adil, sambil bersama-sama membangun jembatan. Setiap orang akan menjadi Simalungun kalau ia punya prinsip tadi, namun diterapkan tidak dalam semangat eksklusif, tetapi inklusif sebab yang terpenting ialah selalu ada penghubung yang terbangun antara satu orang dengan yang lain.
Partuha Maujana Simalungun
Suasana ahap ini mewarnai pertemuan bersama komunitas pemangku adat dan para tua-tua nan bijak Simalungun (Partuha Maujana Simalungun). Pada 12 Agustus 2007 lalu, berkumpullah puluhan warga Simalungun dan merancang sekaligus meneguhkan Program Kerja Partuha Maujana Simalungun 2005-2010 (yang diusulkan oleh Ketua Darwan Madja Purba dan Sekjen Syamsudin Manan Sinaga). Dan rupanya, yang dikerjakan terkait dengan jatidiri Simalungun.
Pada pertemuan itu ditegaskan bahwa jatidiri Simalungun berarti “kita” yang ber-ahap Simalungun, bukan lagi “kami” yang bermarga Sisadapur. Maka, kalau kini Partuha Maujana Simalungun hendak menyusun program kerja, maka ia pun bersuasana terbuka dan tidak parokial.
Tampaklah identitas baru: karena kesimalungunan tidak terutama terletak pada marga-marga, namun dalam ahap, maka selanjutnya–ini yang rupanya menjadi langkah lanjutan yang penting—karsa (program kerja) haruslah pula menjadi bagian jatidirinya.
Barangkali makna etnisitas (juga makna Kebatakan) tergambar di sini, bukan tentang yang surut di belakang, bukan tentang yang beku dan primordial, tetapi tentang kebersamaan yang terbuka dan, akhirnya, tentang strategi kerja di hadapan keseharian hidup kita semua.
(selesai)
Sin Raya sin Purba, sin Dolog sin Panei,
Naija pe lang mahua, asal ma marholong atei
(Dari Raya dari Purba, dari Dolog dari Panei,
Siapa saja tak berbeda, asal mau mengasihi)
Jansen Pardede dalam disertasinya di Universitas Mainz, Jerman, Die Batakchristen auf Nordsumatra und ihr Verhaeltnis zu den Muslimen,1975, mencatat bahwa marga adalah inti (religiositas) Batak. Menurut beliau, marga menunjukkan asal muasal teritorial seseorang, juga genealogi ataupun ikatan darah dan silsisah keluarganya. Dalam ikatan marga tadi terbentuk suatu ritual, semisal dalam upacara pendirian tugu marga-marga. Bahkan, dalam ikatan marga, orang Batak juga bersumpah setia atau bersumpah serapah. Dalam jalur marga-marga pulalah penurunalihan cerita dan hukum adat terjadi. Bahkan, kedudukan sosial (dahulu) dan adat (sekarang) seseorang tergantung kepada marga yang ia emban.
Dulu dengan bermarga Sinaga saja, seseorang sudah akan bisa bertahan hidupnya sebab ia bisa minta dukungan ekonomi dari dongan sabutuhanya sesama Sinaga dan bisa minta pelayanan ini-itu dari borunya yang beristrikan marga Sinaga. Kini dalam pesta adat, seorang Batak langsung menemukan tempat duduknya seturut dengan posisi marganya dalam skema Tungku nan Tiga (Dalihan na Tolu, di Simalungun skema itu bahkan disebut Tolu Sahundulan ‘Tiga Sekedudukan’), suatu kerangka kerja yang biasa dipakai di setiap pesta Batak.
Di Simalungun sendiri pernah disinggung (semisal dalam catatan J. Tideman, Simaloengoen: Het Land der Timoer-Bataks in zijn vroegere en zijn ontwikkeling tot een deel van het cultuurgebied can de Oostkust van Sumatra, Leiden, 1922) bahwa ikatan marga yang menyatukannya ialah Sisadapur: Sinaga, Saragih, Damanik, Purba, dan Girsang. Lalu dalam perkembangannya, marga-marga semisal Silalahi, Sipayung, Sitopu, Lingga, Haloho pun diikutsertakan. Yang menarik, dalam perkembangan mutakhir, identitas Simalungun semakin diletakkan pada ahap Simalungun. Dalam Seminar Kebudayaan Simalungun tahun 1964 disimpulkan bahwa halak Simalungun aima na marahap Simalungun ‘orang Simalungun ialah siapa saja yang punya ahap Simalungun’.
Ahap Simalungun
Apa artinya kalau ahap (rasa) menjadi pengikat Simalungun? Tampaknya catatan antropolog Clifford Geertz, dalam bukunya yang tersohor, The Interpreation of Culture, 1973, bisa sedikit membantu. Geertz mencatat bahwa bagi orang Jawa, tatanan simbolik amat penting. Pementasan wayang, misalnya, adalah penyajian cerita yang penuh dengan makna tersirat dan penonton selama berjam-jam harus menangkap makna seturut dengan pencerapan dirinya sendiri. Keramaian perang para kesatria dan kekonyolan para punakawan adalah simbol yang menunjuk ke dalam dunia batin manusia, dan masing-masing orang Jawa harus menemukan siapa dirinya setelah menonton wayang itu. Yang di luar (yang kasar dan konyol) sesungguhnya perlu ditangkap dan dipahami dari yang batiniah (yang halus dan yang di dalam) agar pesan dapat ditangkap. Di sini tentu saja perlu rasa.
Rasa, demikian lanjut Geertz, berdimensi dua: perasaan (feeling) dan makna (meaning). Sebagai perasaan, rasa adalah salah satu dari pancaindra orang Jawa, yaitu melihat, mendengar, berbicara, membaui, dan merasakan. Namun, orang Jawa menjadikan “rasa” sebagai porosnya: citarasa sebuah pisang adalah rasa-nya, suatu firasat adalah suatu rasa, kesakitan adalah suatu rasa, dan hasrat adalah juga sebentuk rasa. Sebagai makna, rasa diterapkan pada kata-kata dalam suatu surat, bahkan juga dalam suatu percakapan; makanya orang Jawa bisa bicara lama tanpa perlu mengeksplisitkan maksudnya sebab yang perlu ialah merasakan pesannya. Gerak tubuh pun dapat dirasakan pesannya, tak perlu terang-terangan melotot atau mengepal tangan kalau sedang marah.
Ahap Simalungun tentu tak perlu persis seperti rasa dalam diri orang Jawa walau ada singgungannya. Ahap Simalungun pertama-tama adalah sinyal-sinyal emosi yang tertangkap di setiap percakapan ataupun perjumpaan. Seorang Simalungun akan mudah merasakan apakah lawan bicara punya rasa Simalungun dari cara bertuturnya dan dari gerak-geriknya. Selalu ada yang tidak langsung di setiap kata yang terucap, dan setengah mati rasanya bagi orang Simalungun untuk menaruh tanda seru di akhir kalimatnya. Setengah mati pula orang Simalungun dalam mengungkapkan diri dalam gesture tubuhnya. Percakapan Simalungun ialah percakapan yang memohon dengan halus, bukan menyuruh dengan tegas. Ada kehalusan yang kompleks dalam bertuturnya, ada pula pengendapan yang bertakik-takik dalam batinnya. Ekspresi tubuh orang Simalungun adalah ekspresi yang selalu mau menutup apa yang sempat terungkap. Hampir-hampir ia tidak beringsut dari duduknya. Dalam peribahasa Simalungun dikatakan bahwa setiap orang Simalungun punya tujuh lapis pakaian, sekalipun ia tampak bertelanjang dada.
Ahap juga adalah sebentuk penghayatan (mangkagoluhkan ‘menghidupi’) serat-serat kultur Simalungun, yang prinsipnya ialah Habonaron do Bona, Sapangambei menoktok hitei. Artinya kurang lebih: Pangkal hidup ialah bersikap benar dan adil, sambil bersama-sama membangun jembatan. Setiap orang akan menjadi Simalungun kalau ia punya prinsip tadi, namun diterapkan tidak dalam semangat eksklusif, tetapi inklusif sebab yang terpenting ialah selalu ada penghubung yang terbangun antara satu orang dengan yang lain.
Partuha Maujana Simalungun
Suasana ahap ini mewarnai pertemuan bersama komunitas pemangku adat dan para tua-tua nan bijak Simalungun (Partuha Maujana Simalungun). Pada 12 Agustus 2007 lalu, berkumpullah puluhan warga Simalungun dan merancang sekaligus meneguhkan Program Kerja Partuha Maujana Simalungun 2005-2010 (yang diusulkan oleh Ketua Darwan Madja Purba dan Sekjen Syamsudin Manan Sinaga). Dan rupanya, yang dikerjakan terkait dengan jatidiri Simalungun.
Pada pertemuan itu ditegaskan bahwa jatidiri Simalungun berarti “kita” yang ber-ahap Simalungun, bukan lagi “kami” yang bermarga Sisadapur. Maka, kalau kini Partuha Maujana Simalungun hendak menyusun program kerja, maka ia pun bersuasana terbuka dan tidak parokial.
Tampaklah identitas baru: karena kesimalungunan tidak terutama terletak pada marga-marga, namun dalam ahap, maka selanjutnya–ini yang rupanya menjadi langkah lanjutan yang penting—karsa (program kerja) haruslah pula menjadi bagian jatidirinya.
Barangkali makna etnisitas (juga makna Kebatakan) tergambar di sini, bukan tentang yang surut di belakang, bukan tentang yang beku dan primordial, tetapi tentang kebersamaan yang terbuka dan, akhirnya, tentang strategi kerja di hadapan keseharian hidup kita semua.
(selesai)
- Juan Daniel Saragih memang marga "Sinaga" -konon- jadi penasehat Raja Raya bermarga "Saragih" tempo hari, jadi ya dekatlah dengan Raja Raya :-) naido ge pandita?
- Fero P. Sihotang Jadi kuat do hape hubunganni Simalungun dengan marga Sinaga ya Pak?? saya baru dengar ini...
tapi semoga saja tulisan ini bisa di baca dan di treapkan oleh kaum batak juga bukan hanya Simalungun ya Pak... - Juan Daniel Saragih@Fe Sihotang, botou, di Simalungun marga asli =si-sa-da-pur= "Sinaga, Saragih, Damanik, Purba"; marga Sinaga yg di Simalungun itu tdk mengenal Sinaga uruk, Sinaga Bonar (seperti di Toba)
ya, beberapa kawan dari rekan Toba & Mandailing [yg.kutau, krn kami sempat mendiskusikannya di milis hkbp] senang dgn kalimat ini (ku-kutip dari atas) Pada pertemuan itu ditegaskan bahwa jatidiri Simalungun berarti "kita" yang ber-ahap Simalungun, bukan lagi "kami" yang bermarga Sisadapur. Maka, kalau kini Partuha Maujana Simalungun hendak menyusun program kerja, maka ia pun bersuasana terbuka dan tidak parokial. - Fero P. Sihotang oh... jadi ada marga sinaga pada Simalungun..... saya baru tahu Pak... untunglah Bapak buat tulisan ini...
Saya tidak tahu banyak marga-marga halak Simalungun...
bagi saya yg penting berteman... krn jahat baikna seseorang pasti kita akan dapat makna dari setiap persahabatan dan dalam perbincangan... Salam Damai Pak... - Martin L Sinaga Terimakasih JRS untuk kolom ini- semoga betul terjadi: dari kami, menjadi KITA. horas ma
- Juan Daniel Saragih @ MLS; ah, mestinya kami (bukan kita) yg ber-tks atas totalitasmu & existensimu 'mar-simalungun'; anggo lang mar KKR mando i Raya kan :-)
@FS: untunglah ada FaceBook & pdt.martin sinaga, saya hanya semacam juru bagi foto-copy di Sinode-Bolon :-) - Sarmedi Purba
- Par- Sarimatondang Karena cara mengutip/mengcopy pastenya kurang lengkap, perlu diberitahukan bawa tulisan ini diambil dari MAjalah TATAP, dan bisa diakses di sini: http://www.facebook.com/
notes/ majalah-tatap-bacaan-kaum-t erdidik-batak/ identitas-simalungun-dari-p ersaudaraan-marga-ke-ikata n-rasa/397485850024. Terimakasih - Meta Lince Saragih sisadapur..itu girsang termasuk ya??
kenapa kebanyakan Saragih dan Purba itu sering jadi suami istri? apa ada perjanjian dulu-dulunya dari nenek moyang?
=) - Martin L Sinaga Kalau boleh sedikit humor, mengapa Purba dan Saragih yang paling banyak kawin di Simalungun, ya karena marga itulah yang tersedia...haa..ha....wala
u mungkin karena di Simalungun sedikit yang bermarga lain., saya ingat di GKPS depok, tak ada satu pun lajang bermarga sinaga dalam 10 tahun terakhir, bayangkan... - Juan Daniel Saragih@SP: cara bertutur MLS memang -berkelas- kita maklumi selain dia maestro terkait pdt.J.Wismar Sumbayak jg -ahap- yg luar biasa. andai dia jadi Ephorus bgmn kira2 ya. sayang terhambat masa kerja (25thn) utk jadi calon (bukan begitu?) yg muda dibredel.
@Eben; saya copy paste/ pulung dari postingan SAL di milis HKBP; tks URL Tatapnya. betul tulisan bermutu dari marga Sinaga, kenapa ya? hem... krn marga sinaga -konon- jadi penasehat/ jurtul kerajaan marga Saragih tempo hari hehehe...
@MLS, entahlah ya, (humor jg) kayaknya yg lahir kebanyakan boru sinaga jadilah sedikit marga sinaga :-) - Sal Hutahaean Pak Pdt. Sinaga dan Eben: Betul kata jrs, saya copas tulisan ini dari fb TATAP ke milis hkbp (tanpa permisi, maaf, kebiasaan saya, kalau lihat barang bagus selalu ingin beritahu kawan hehe). Terima kasih, sudah ditanggapi dengan baik disana.
- Martin L Sinaga thanks pak Hutahaean, dan bolehlah reaksi teman teman di MilisHKBP juga Bapak kirim ke kita ya...horas
- Parlindungan Damanik Terima kasih Lawei, dalam menggali dan melestarikan Phylosofi Simalungun yaitu "Habonaron Do Bona" di semua sisi kehidupan.
- Rospelita Sinaga Tapi bagaimana ya caranya menumbuhkan ahap hasimalungunan nasasitong ni ai tene Habonaron do bona na boi pabangkithon simalungun kedepan. Halani untuk kedepan ini ase boi bersaing dasar habonaran do bona ai adalah
salah satu modal
Utama/ besar menjadi pemimpin yg berintegritas dan berkwalitas. - Sal Hutahaean Pak Pdt Sinaga, tanggapan teman2 cukup panjang, maklumlah namanya diskusi di milis. Saya coba pasang sebagian dalam beberapa 'comment' terpisah-pisah.
Oya, pak pendeta diundang bergabung, http://groups.yahoo.com/group/hkbp/
- Sal Hutahaean Oops ... ternyata ruang comment ini juga terbatas muatannya. Saya juga coba kirim sebagai pesan ke inbox pak pdt ... sama juga, "too long," katanya.
Barangkali ini jalan Tuhan, hehe, supaya kita bisa berjumpa di milis hkbp. Disana ada pdt joas, pdt john calvin, alof, dll. Monggo pak, ditunggu. - Juan Daniel Saragih@lawei SAL, berikut saya kutipkan pandangan oppung Mula jadi nabolon i :)
--quote-- Saya pikir itu jugalah seharusnya yang menjadi cara pandang dan pikiran kita tentang membangun jati diri “kebatakan” ada masa sekarang ini.
Oleh karena itu saya mencoba mengedit aliena terakhir dari tulisan di majalah Tatap itu dengan mengganti kata “Simalungun” menjadi “Batak” sebagai berikut:
Pada pertemuan itu ditegaskan bahwa jatidiri Batak berarti “kita” yang ber-ahap Batak, bukan lagi “kami” orang Toba, Angkola, Mandailing, Simalungun, Pakpak, dan Karo. Maka, kalau kini Partuha Maujana Batak hendak menyusun program kerja, maka ia pun bersuasana terbuka dan tidak parokial.
Tampaklah identitas baru: karena kebatakan tidak terutama terletak pada puak-puak, namun dalam ahap, maka selanjutnya–ini yang rupanya menjadi langkah lanjutan yang penting—karsa (program kerja) haruslah pula menjadi bagian jatidirinya.
Barangkali makna etnisitas (juga makna Kebatakan) tergambar di sini, bukan tentang yang surut di belakang, bukan tentang yang beku dan primordial, tetapi tentang kebersamaan yang terbuka dan, akhirnya, tentang strategi kerja di hadapan keseharian hidup kita semua. --end quote-- - Kurpan SinagaSaya kira keliru kalau kita terpola mengidentifikasi Simalungun bertitik tolak pada catatan Tideman tahun 1922. Saya kira Tideman juga tidak menyatakan Sisadapur cikal-bakal Simalungun. BUkankah Simalungun itu sesungguhnya adalah bahasa politik: konfederasi 4 kerajaan/ raja marompat, sisada ahap, sisada parmaluan, bersatu beraliansi untuk kuat dan pasti aman dari banyaknya ancaman dari luar. Jadi kalau Seminar Tahun 1964 menegaskan Simalungun itu berpatokan pada "ahap" itu bukanlah hal baru tetapi kembali ke khittoh. Bukankah begitu?
- Juan Daniel Saragih ya, kembali ke citarasa awal 'budaya simalungun' asli adanya hanya di merekraya :-) hush. ntar tul.Sarmedi akan turun gunung.
No comments:
Post a Comment