oleh Mansen Purba SH
Judul
makalah yang diminta dari saya adalah Sejarah Simalungun dan Pesannya Bagi
Generasi Muda. Judul tersebut menimbulkan dugaan, generasi muda Simalungun
ingin mendiskusikan sejarah Simalungun. Mungkin didorong oleh keingin-tahuan
yang sedang ditumbuh-kembangkan di kalangan mahasiswa. Mungkin juga karena
ingin mendengar aneka versi sejarah Simalungun yang tampaknya memang masih ada
beberapa versi. Atau mungkin juga hanya karena latah mau ikut-ikutan martarombo,
yakni menelusuri silsilah marga dari penuturan secara lisan dari satu generasi
ke generasi berikutnya dan di abad ke-20 baru-baru ini dituliskan dan dianggap
sebagai sejarah walaupun tanpa menggunakan metode penelitian sejarah.
Sementara
itu, judul tadipun masih perlu penjelasan apa yang dimaksud dengan
‘Simalungun’. Pada hakekatnya, ‘Simalungun’ adalah sebuah nama.
Sejak
awal abad ke-20, nama ‘Simalungun’ digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda
untuk wilayah pemerintahan bawahan dari wilayah Keresidenan Sumatera Timur,
yakni yang disebut Simeloengoen en Karolanden. Yang dimaksud dengan Simeloengoen
(=Simalungun) adalah Kerajaan Siantar, Kerajaan Tanoh Jawa, Kerajaan Panei,
Kerajaan Dolog Silou, Kerajaan Raya, Kerajaan Purba dan Kerajaan Silimakuta,
yang masing-masing menandatangani semacam perjanjian (dikenal sebagai Korte
Verklaring, ‘Perjanjian Pendek’) dengan Pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1904 (dan diperbaharui tahun 1907).
Hampir
bersamaan dengan pembentukan wilayah pemerintahan Simeloengoen en Karolanden
tadi, nama ‘Simalungun’ digunakan sebagai nama suku bagi penduduk yang menghuni
7 Kerajaan-Kerajaan di Simeloengoenlanden tadi. Sebagai nama suku,
sebutan ‘Simalungun’ digunakan untuk keseluruhan penduduk 7 Kerajaan-Kerajaan
tadi, walaupun sebutan ‘Simalungun’ jarang digunakan penduduk (dan
pemerintahan) masing-masing Kerajaan, karena mereka tetap membedakan
penduduknya dengan sebutan dalam bahasa Simalungun, yakni dengan menggunakan
kata sin atau par, misalnya sin Raya, sini Panei, sini
Purba, par Siantar.
Sejak
masa itu pulalah nama Simalungun sering digunakan sebagai nama suku. 2) Tetapi
tidak hanya untuk penduduk 7 Kerajaan-Kerajaan tadi, tetapi semua penduduk
Sumatera Utara yang mempunyai budaya yang sama dengan budaya penduduk yang ada
di 7 Kerajaan-Kerajaan tadi, yang tersebar di Deli Serdang (dan Bedagai), di
Asahan, di Dairi, di Karo.
Bersamaan
dengan digunakannya sebutan ‘Simalungun’ sebagai nama suku, sebutan yang
digunakan sebelumnya, yakni ‘Batak Timur’, atau ‘Timoerlanden’, semakin
jarang digunakan.
Satu
suku bangsa dibedakan dari suku bangsa lainnya karena adanya perbedaan budaya.
Saya sering mengatakan kepada sesama Simalungun, budaya do palegankon
Simalungun humbani suku bangsa na legan. Simalungun akan tetap ada dan
eksis (walaupun populasinya tidak banyak) jika halak Simalungun mempertahankan
budaya yang membedakannya dari suku bangsa lain. Sebaliknya, jika tidak mau
lagi mempertahankan budaya yang membedakannya dengan suku lain, dan lebih suka
‘menyesuaikan’ diri dengan budaya suku lain, halak Simalungun akan menghilang
dari muka bumi ini.
Dulu,
penduduk halak Simalungun yang menundukkan diri ke budaya suku Melayu,
diberi julukan domma salih gabe malayu. Baik karena memeluk agama Islam,
atau karena pindah ke wilayah yang penduduknya halak Melayu, atau karena
manundalhon arihan (yakni yang bermakna membelot dari Kerajaan yang ada
di sukunya, untuk kemudian menundukkan diri kepada penguasa wilayah di luar
Simalungun). Ada
juga yang salih jadi Karo, biasanya karena tinggal di wilayah yang
berpenduduk Karo.
Sebaliknya,
halak Toba (dan atau par Samosir) banyak yang salih jadi
Simalungun. Konon, menurut TBA Purba Tambak (almarhum), sejak awal berdirinya
Harajaon Dolog Silou, 3) sudah ada marga Simarmata dan marga Sipayung di Dolog
Silou, dan tidak ada marga Sinaga. Mereka itu sudah salih menjadi
Simalungun. Proses salih terjadi karena seseorang meninggalkan budaya
asalnya dan menjadikan budaya setempat menjadi budayanya.
Jadi, dalam pengertian budaya do palegankon suku bangsa, Simalungun akan tetap eksis sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia (dan dunia) sepanjang masih ada yang memelihara budayanya, yakni yang disebut budaya Simalungun, sepanjang masih ada yang mau menjadi halak Simalungun (dalam arti berbudaya Simalungun).
Jadi, dalam pengertian budaya do palegankon suku bangsa, Simalungun akan tetap eksis sebagai salah satu suku bangsa di Indonesia (dan dunia) sepanjang masih ada yang memelihara budayanya, yakni yang disebut budaya Simalungun, sepanjang masih ada yang mau menjadi halak Simalungun (dalam arti berbudaya Simalungun).
Dengan
demikian mudah-mudahan semakin jelas apa yang kita maksud dengan ‘Simalungun’
dalam konteks ‘Sejarah Simalungun’. Ternyata yang kita mau diskusikan bukan
‘Sejarah Kabupaten Simalungun’, bukan asal usul (tarombo) halak
Simalungun, tetapi sejarah suku bangsa yang kini masih eksis sebagai salah satu
suku bangsa yang mempunyai budaya yang berbeda dengan suku bangsa lainnya
(walaupun ada persamaan), yang sejak awal abad ke-20 dinamakan suku Simalungun,
dan budayanya disebut budaya Simalungun.
Seperti
sudah dikemukan tadi, sejak awal abad ke-20 sebutan Simalungun semakin sering
digunakan kepada satu suku bangsa yang tinggal di 7 Kerajaan di wilayah Simeloengoenlanden
dan wilayah-wilayah sekitarnya (yang kemudian dimasukkan menjadi wilayah
pemerintahan yang bertetangga dengan 7 Kerjaan tadi (yang kini menjadi
Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Kota Tebing Tingi, Kabupaten Asahan,
Kabupaten Tobasa, Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo). Sebelumnya, lebih sering
digunakan nama kewarga-negaraan penduduk, seperti sini Panei (untuk
rakyat Kerajaan Panei), par Sordang (sebutan untuk rakyat Kesultanan
Serdang). Sementara ‘orang luar’ yang datang berkunjung atau meleliti ke
wilayah yang dihuni halak Simalungun, lebih suka menggunakan sebutan
Batak Timur, mungkin karena berdiam di wilayah sebelah Timur rumpun-suku Batak
lainnya.
Di kalangan penulis halak Simalungun, masih banyak yang berpendapat bahwa sebelum Belanda melebarkan sayap penjajahannya ke wilayah berpenduduk Simalungun (dan menemukan fakta adanya 7 Kerajaan), terdapat 4 Kerajaan di Simalungun, yang disebut Raja Maroppat, yakni Silou, Panei, Siantar dan Tanoh Jawa. Bahkan ada yang yakin bahwa sebutan Raja Maroppat adalah konsep Simalungun. Sudah pernah saya kemukakan bahwa sebutan Raja Maroppat berasal dari konsep tuha peuet-nya Kesultanan Aceh saat meluaskan pengaruhnya ke kawasan Sumatera Timur. Namun pendapat tadi tidak berubah. 4)
Di kalangan penulis halak Simalungun, masih banyak yang berpendapat bahwa sebelum Belanda melebarkan sayap penjajahannya ke wilayah berpenduduk Simalungun (dan menemukan fakta adanya 7 Kerajaan), terdapat 4 Kerajaan di Simalungun, yang disebut Raja Maroppat, yakni Silou, Panei, Siantar dan Tanoh Jawa. Bahkan ada yang yakin bahwa sebutan Raja Maroppat adalah konsep Simalungun. Sudah pernah saya kemukakan bahwa sebutan Raja Maroppat berasal dari konsep tuha peuet-nya Kesultanan Aceh saat meluaskan pengaruhnya ke kawasan Sumatera Timur. Namun pendapat tadi tidak berubah. 4)
Ada pula yang berpendapat, sebelum ada Raja Maroppat, hanya ada satu
Kerajaan, yakni Kerajaan Silou.
Tetapi
dalam satu hal. sepertinya semuanya sepakat, yakni tadinya hanya satu Kerajaan,
yakni Kerajaan Nagur.
Jika kelak dapat diterima sebagai kebenaran sejarah bahwa rakyat Nagurlah
yang mewariskan kebudayaan yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan
kebudayaan Simalungun, maka hal itu berarti kebudayaan Simalungun sudah teruji
di wilayah ini selama lebih kurang 14 abad, karena konon Nagur sudah tercantum
dalam naskah Cina dari abad ke-6, masih eksis dan dicatat oleh Marco Polo (abad
ke-13) dengan nama ‘Nagore’ atau ‘Nakur’, masih eksis pada saat Pinto mencatat
(abad ke-16) bahwa Nagur meminta bantuan Portugis yang berkedudukan di Malaka
karena mendapat serangan dari Aceh, dan bahwa Encyclopedi Ned. Indie mencatat
Nagur dapat bertahan dari invasi Johor dan Siak. Ketika pada penghujung abad
ke-19 Belanda menginjakkan kakinya ke wilayah yang dihuni penduduk pewaris
kebudayaan rakyat Nagur tadi, masih ditemuinya kebudayaan yang sama di 7
Kerajaan yang di kemudian hari disebutnya sebagai kawasan Simeloengoen,
bahkan sama dengan kebudayaan sebagian rakyat yang tersebar di sekeliling Simeloengoen.
Menjadi
jelas kiranya, dengan memberikan judul ‘Sejarah Simalungun’ sebagai awal
diskusi kita di seminar kali ini, penyelenggara seminar mencoba manarik minat
kita untuk senantiasa bertanya mau dikemanakan Simalungun ini.
Mungkin
pertanyaan itulah yang mengilhami penyelenggara seminar untuk menambahkan
kata-kata ‘dan Pesannya Bagi Generasi Muda’, sehingga judul yang dimintakan
kepada saya adalah Sejarah Simalungun dan Pesannya Bagi Generasi Muda.
Sengaja
saya menghindar dari memberikan pesan, karena pesan yang diselipkan pada
penulisan sejarah akan bias dengan objektipitas yang dibutuhkan oleh
sejarah.***
1) Makalah yang disampaikan pada Seminar Sejarah dan Eksistensi Simalungun yang diselenggarakan oleh HIMAPSI UNIMED tanggal 31 Mei 2008.
2) Banyak yang berpendapat bahwa Simalungun adalah sub suku atau sub etnik, yakni sub dari suku Batak. Namun saya makin meragukannya, karena tampaknya yang ada adalah suku Toba, suku Anggkola dan Mandailing, suku Karo, suku Simalungun, dan suku Pakpak (mudah-mudahan urutannya sesuai dengan populasi masing-masing suku). Berdasarkan adanya beberapa persamaan budayanya, peneliti mengelompokkan suku-suku tadi (termasuk Gayo?) menjadi rumpun suku yang disebut ‘Batak’. Yang berarti tidak ada suku Batak. Dengan demikian, Simalungun adalah salah satu suku dalam rumpun Batak.
3) Kerajaan Dolog Silou muncul menggantikan Kerajaan Silou yang terpecah dua. Menurut perhitungan beliau, terjadi pada pertengahan abad ke-17.
4) Prof. Dr. W.B. Sijabat mengakui “dari data-data yang telah terkumpul dapat kita ketahui bahwa system raja berempat ini ialah hasil pengaruh system pemerintahan di Aceh yang diterapkan di Sumatera Utara”. Lihat Rondahaim, sebuah kisah kepahlawanan menentang penjajahan di Simalungun, Bina Budaya Simalungun; Medan – 1993; hal. 48
No comments:
Post a Comment