Menelaah Perintis Penginjilan di Simalungun dalam lintasan
Sejarah
(Refleksi teologis dalam rangka memaknai
Tahun Penginjilan GKPS)
Oleh : Vik.Pdt.
Freddy P.Sidagambir STh/Resort Muara Bungo:
Saptamarga
1. Pengantar
Berbicara
mengenai perintis, umumnya menjadi
perdebatan ketika menentukan siapakah
sebenarnya perintis atau pendiri gereja
itu. Tetapi dalam bidang sejarah gereja,
hal itu tidak begitu sulit, jika memang
penentuan itu disertai oleh
bukti-bukti yang jelas . Dalam
ulasan ini, kita akan mencoba menelaah
siapakah sebenarnya perintis penginjilan
di Simalungun. Penulis mengangkat topik ini
bertujuan untuk meluruskan paham sebagian orang yang
mengatakan bahwa orang JERMAN-lah yang
pertama sekali merintis
penginjilan bagi suku Simalungun itu
sendiri. Padahal fakta sejarah mengatakan bahwa SUKU BATAK itu sendirilah, yang
merintis penginjilan di tanah HABONARON
DO BONA melalui PARDONGANON BATAK MISSION (PMB). Dalam ulasan ini kita akan menelaah kenapa
PMB merintis penginjilan ke Simalungun, apa tantangan dan usaha-usaha yang dilakukan mereka dalam rangka mengkristenkan orang Simalungun
itu sendiri. yang pada akhirnya benih
yang sempat ditabur oleh PMB dilanjutkan oleh badan zending Rheinische Missions Gesellschaff (RMG).
2. Jejak PMB di Simalungun
Pardonganon Batak Mission atau
yang lebih dikenal dengan Kongsi Batak, didirikan
pada tanggal 2 November 1859 atas prakarsa Henock Lumbantobing,
yang berpusat di Paeraja. Orang-orang
yang bergabung di organisasi penginjilan ini merupakan didikan sekolah zending RMG, yang pada umumnya mereka adalah guru.
Dalam hal pendanaan penginjilan mereka
menyisihkan sebagian gaji mereka demi pekabaran Injil. Penyebab
terbentuknya organisasi ini dikarenakan sikap badan zending RMG yang kurang memberi ruang bagi mereka. PMB
mengadakan penginjilan ke beberapa wilayah, salah satunya adalah daerah
Simalungun.
Penyebab utama
kenapa PMB memilih daerah
Simalungun menjadi sasaran pelayanan,
yakni:
- 1. Di Simalungun belum pernah ada lembaga penginjilan yang bermisi dan orang Simalungun itu sendiri masih hidup dalam dunia kekafiran.
- 2. Pandangan PMB tentangn kesatuan silsilah dan asal usul orang Simalungun dan orang Toba. Dengan kata lain mereka adalah saudara kita.
- 3. Karena jaraknya yang tidak begitu jauh dari Pearaja dan dapat ditempuh dengan hanya menaiki perahu tradisional saja.
Ketiga point Itulah yang menjadi alasan utama mengapa PMB memilih Simalungun
menjadi sasaran misi.
Perlu kita ketahui juga bahwa di
daerah Sumatera pada abad ke 18-19,
hanya ada 2 lembaga penginjilan yang
ber-misi, yakni Neterlandsche Zending
Genoetschap (NZG) yang berasal dari
Belanda khusus melayani di daerah tanah Karo dan dan RMG di Daerah Tapanuli.
Perintisan
penginjilan yang dilakukan PMB ke Simalungun sudah lebih awal dibanding RMG, yakni sekitar
tahun 1890-an, Akan tetapi PMB hanya berfokus di daerah pesisir pantai danau Toba. Yakni
Parapat, Sipolha, Tigaras, Haranggaol dan wilayah Sihalpe. Para pekabar
Injil PMB belum menetap di Simalungun. Mereka hanya melaksanakan
perjalanan beberapa hari dan
selanjutnya kembali ke Pearaja. Barulah
pada tahun 1904 mereka secara resmi
membuka pos pI di Tigaras dan
menempatkan satu orang pekabar Injil
disana dengan membuka sekolah dan menginjili penduduk setempat. Karena Tigaras adalah salah satunya pintu masuk ke Simalungun melalui perahu
kecil (solu). Metode penginjilan yang
mereka lakukan adalah perkunjungan ke rumah-rumah, pengobatan dan pendidikan. Penginjilan yang dilakukan PMB menghadapi banyak tantangan, seperti:
- 1. Kentalnya kepercayaan orang Simalungun terhadap hal-hal yang supnatura, yakni meyakini bahwa benda-benda mempunyai roh, seperti gunung, sungai dan batu. Ada juga yang menyerahkan sesajen ke tempat parsinumbahan (keramat), dan paling ditakuti adalah begu ganjang dan homin. Karena kepercayaan inilah orang Simalungun kurang memberi ruang bagi Kristus.
- 2. Penguasa setempat yakni para tuan yang kurang memberi dukungan.
- 3. Komunikasi yang tidak baik, karena pada umumnya para pekabar Injil PMB tidak mengetahui bahasa Simalungun dan orang Simalungun sendiri tidak mengerti bahasa Toba, sehingga Injil itu susah dimengerti.
- 4. Jarak rumah penduduk yang berjauhan, karena dulu orang Simalungun marjuma modom disekitar perladangannya.
Meskipun PMB
telah menginjili orang Simalungun beberapa
tahun lamanya, fakta sejarah mengatakan tidak ada satu orang pun,
orang Simalungun yang dibaptis
selama PMB bermisi di Simalungun (1990-an /1903). Misi mereka tidak
berhasil mengkristenkan orang Simalungun, hal ini disebabkan karena PMB belum
mampu menyentuh konteks si pendengar, karena PMB tidak
memperhatikan budaya setempat, terlebih
dalam soal bahasa. Barulah setelah RMG menetapkan daerah Simalungun menjadi
daerah misi pada tahun 1903. Maka pada tahun 1909, Pdt H.Guillaume berhasil
mengkristenkan seorang gadis desa di
Purbasaribu.
Meskipun demikian,
PMB telah berjasa merintis penginjilan ke Simalungun, dan PMB telah berhasil
mencetak sejarah, bahwa merekalah
perintis/pelopor penginjilan ke bumi Habonaron Do Bona, yang pada
perkembangannya misi penginjilan itu dilanjutkan oleh RMG. Dengan kata lain PMB
yang mengeram telur tapi RMG yang
meneteskannya.
3. Penutup
Perjuangan PMB
telah mengukir prestasi gemilang
yang patut diperhitungkan dalam sejarah berdirinya GKPS. Kepedulian
mereka terhadap orang Simalungun dengan menyisihkan sebagian gaji mereka demi
pelayanan Injil sungguh begitu mulia. Walaupun
buah pekerjaan mereka tidak berhasil mengkristenkan, tetapi orang
Simalungun sudah pernah mendengar kabar sukacita. Meskipun meninggalkan sanak saudara beberapa hari dan menghadapi
tantangan yang berat, tapi para pekabar Injil PMB terus mengarungi daerah Simalungun dengan satu tekad, agar ada
orang yang terselamatkan di dalam Kristus.
Gerakan penginjilan yang dilakukan PMB ini, kiranya menjadi semangat penginjilan buat semua warga
GKPS, agar berpartisipasi untuk ikut
menjadi pekabar Injil. Baik itu di rumah,
di kedai, di kolam pancing dan di tempat
pekerjaan atau di ladang sewaktu memetik hasil panen kopi ateng.
Demikian juga
halnya selaku gereja patut mencontoh
PMB, dimana PMB mengobarkan sayapnya ke daerah yang belum mengenal Injil.
Gereja maunya memiliki satu badan khusus
yang memfokuskan diri untuk bermisi ke luar gereja, contohnya
membentuk Lembaga Penginjilan. Penulis
sangat takjub melihat gereja GKPI,
yang merintis penginjilan di PROPINSI JAMBI, mereka melayani para suku
kubu yang masih primitif di hutan (belum memakai baju selayaknya) dan telah berhasil mengkristenkan sebagian suku kubu dan
meningkatkan mutu SDM-nya. Melalui Tahun Penginjilan GKPS ini, kiranya
banyak jiwa-jiwa yang terselamatkan.
No comments:
Post a Comment