Thursday, July 22, 2010

asal muasal simalungun bag.2

DINASTI NAGUR

Oleh : M Muhar Omtatok

Bangsa Timur yang selanjutnya disebut Simalungun, telah melakukan perjalanan panjang dalam tata nilai kepemerintahan dan civilisasi. Setidaknya sejak era Dinasti Nagur – Dinasti Damanik dan Silau –Tua/Batang Hiou – Dinasti Saragih (Harajaon na Dua – Kerajaan Nan Dua, Parpandanan Na Bolag, Deisa na Ualuh).
Selanjutnya Kerajaan nan Empat (Harajaon na Opat) yaitu Kerajaan Siantar (morga Damanik), Panai (morga Purba Dasuha), Silau (morga Purba Tambak) dan Tanoh Jawa (morga Sinaga).
Hingga era Kerajaan nan Tujuh (Harajaon na Pitu) yaitu kerajaan Siantar (Morga Damanik), Panai (morga Purba Dasuha), Silau (morga Purba Tambak), Tanoh Jawa (morga Sinaga), Raya (morga Saragih Garingging), Purba (morga Purba Pakpak) dan Silimakuta (morga [Purba] Girsang). Serta kerajaan-kerajaan Simalungun lain, baik yang berada di wilayah Simalungun kini, Serdang Bedagai maupun di wilayah Deli Serdang sekarang.
Perjalanan panjang historical dan tamaddun Hasimalungunan ini, menjadi bukti ketuaan sejarah dan peradaban Simalungun yang bukan sempalan Bangso Simbalog (etnis lain).
Kerajaan Nagur mendominasi wilayah Simalungun dan sepanjang pantai utara, yang terbentang luas dari pantai barat berbatas dengan lautan Hindia, sampai keselah Timur dengan Selat Malaka, dari sebelah Utara berbatas dengan wilayah yang disebut Jayu sampai berpatas dengan Danau Toba di selatan.
Menurut Hikayat dalam Pustaha Parpadanan Na Bolag, Kerajaan Nagur digambarkan sebagai satu kerajaan yang kaya dan jaya, dengan Pamatang (ibu negeri) mempunyai benteng yang kuat, berpagar besi, pintu gerbang disebut layar-layar terbuat dari tombaga holing dan gombok (kunci) terbuat dari perak.
Pustaha Parmongmong Bandar Syahkuda, menyatakan bahwa Istana Raja Nagur berada di Tolbak Pargambirian. Pustaha Parpadanan Na Bolag menyebutkan nama seorang Raja, yaitu Sianas Bondailing.
Pada Masa Kerajaan Nagur ini, marga-marga sudah ada dan struktur kekuasaan Simalungun tradisional sudah berkembang. Eksistensi kerajaan ini berlangsung sampai akhir abad XIII khususnya ketika daerah ini menjadi sasaran perluasan pengaruh politik Kerajaan Singosari dari Jawa bagian Timur dengan ekspedisi Pamalayu.
Sepanjang yang padat diketahui melalui catatan (analis) Tiongkok sewaktu Dinasti Sui ( Sui Chao) (581 – 618) adalah sebuah dinasti yang menjadi peletak dasar bagi kejayaan Dinasti Tang sesudahnya. Kerajaan Nagur sebagai Simalungun Tua, telah disebut-sebut.
Pada abad ke V sudah ada Kerajaan Nagur yang sudah mempunyai hubungan dagang dengan bangsa-bangsa lain terutama dengan Tiongkok. (Buku Sejarah Perkembangan Pemerintah Dalam Negeri Kabupaten Daerah Tingkat II Simalungun, 1999)Sumber lain ialah Buzuruq Bin Syahriar, seorang musafir Parsi pada abad X dalam memori perjalanannya telah mencatat adanya negeri yang bernama Nakus (Nagur).
Selanjutnya MD Purba dalam bukunya berjudul “Mengenal Kepribadian Asli Rakyat Simalungun”, menyatakan bahwa menurut catatan Marcopolo seorang pengembara dari Venesia (Italy) pernah mengunjungi Kerajaan Nagur (tahun 1271-1295) karena pada saat itu ia terpaksa harus terhenti di Kerajaan Pasei untuk memperbaiki kapalnya yang rusak diterpa badai di Selat Malaka. Sambil menunggu perbaikan kapal, ia sempat mengadakan penyelidikan terhadap pedalaman Pulau Perca, dalam catatannya ada tertera Kerajaan Nagur yang disebut Nagore atau Nakur.
Menurut Ibnu Batutah dalam Buku Sejarah Nasional, mencatat bahwa Pemerintah Kerajaan Nagur mulai mengalami kemunduran sejak kedatangan serangan dari Kerajaan Hindu dari India Selatan, yang dipimpin oleh Rajendra Chola (1023 – 1024) sehingga kerajaan Nagur sudah banyak kehilangan daerah taklukan. Sudah mulai timbul perbedaan cara antara pusat kerajaan dengan para Partuhanon yang melepas diri dari pusat kekuasaan Nagur.
Hasil – hasil Kerajaan Nagur yang dapat dijadikan sumber pendapatan kerajaan ialah karet belata (rambung merah), damar, rotan, buah hapesong, umbi hondali dan lain-lain dipertukarkan (barter) dengan barang – barang lain yang dibutuhkan seperti : tembikar, keramik, manik-manik dan lain-lain dari Tiongkok.
Untuk memudahkan pelaksanaan pertemuan dagang antara Nagur dengan Tiongkok, maka Raja Nagur (Morga Damanik Nagur) menyuruh membuatkan “jambur” (dangau) yang dijaga oleh orang-orang dagang (lajang) sehingga tempat itu oleh orang Tiongkok disebutnya “Sang Pang To” (San Pan To) sedang oleh Nagur disebut “perdagangan”. Dari tempat pertemuan dagang inilah asal usul kota “Perdagangan”, yang oleh orang China biasa mereka sebut “ sam Pan To” hingga sekarang.
Agama yang dianut Kerajaan Nagur ialah agama lokal (animisme) yang bisa saja mendapat pengaruh kuat atau saling mengilhami dengan Hinduisme. Menurut E.B. Tylor bahwa animisme adalah bentuk agama yang tertua. Sebagai jabatan Imam disebut Datu Bolon, mereka percaya akan adanya Sang Pencipta alam bersemayam di langit tertinggi, dan mengenal adanya 3 perwujudan Kausa Prima, yaitu :1. “Naibata na i babou/ i nagori atas” (di Benua Atas)2. “Naibata na i tongah/ i nagori Tongah” (di Benua Tengah)3. “Naibata na i toruh/ i nagori toruh” (di Benua Bawah)Selain dari “naibata – naibata” dan “roh – roh halus” lain yang berhubungan arwah nenek moyang (simagod) yang pada suatu saat dapat dipanggil bila diperlukan.
Pemanggilan arwah nenek moyang disebut “Pahutahon” yaitu melalui upacara ritual, dimana dalam acara itu roh tersebut hadir melalui “Paninggiran” (siaran, kesurupan) salah seorang keturunannya atau seseorang yang mempunyai kemampuan sebagai perantara (paniaran).
Pelaksanaan urusan kepercayaan diserahkan kepada “Datu” yang juga “Guru” (Pimpinan Spiritual). Pimpinan “datu-datu” ini ialah “GURU BOLON”. Acara kepercayaan itu dipegang penuh oleh Datu, baik di istana maupun di tengah-tengah masyarakat umum. Raja-raja dan kaum bangsawan mereka sebut juga “Tuhan” bukan saja disegani tetapi ditakuti masyarakat, tetapi akhirnya sesudah masuknya bahasa Melayu sebutan tersebut berubah menjadi Tuan, karena dalam Bahasa Melayu, Tuhan mempunyai arti yang berbeda, yaitu Allah.
Menurut penilitian G.L. Tichelman dan P. Voorhoeve seperti dimuat dalam bukunya “Steenplastiek Simaloengoen” terbitan Kohler & Co Medan tahun 1936 bahwa Simalungun (kerajaan Nagur) terdapat 156 Pangulubalang (Berhala) yaitu patung-patung batu yang ditempatkan pada tempat yang dikeramatkan (Sinumbah) dan ditempat inilah dilakukan upacara pemujaan.
Kerajaan Kerajaan Nagur mulai terusik sejak datangnya serangan dari kerajaan Hindu (India Selatan) yang dipimpin oleh Rajendra Chola pada tahun 1023 – 1024. hal ini diketahui dari catatan Ibnu Batutah tahun 1345 sehingga pada abad ke XII Kerajaan Nagur telah banyak kehilangan wilayah daerah – daerah takluknya.
Mulai timbul desentralisasi antara pusat kerajaan dengan para partuhanon di wilayah distrik (Raja Goraha). Maka berdiri kerajaan-kerajaan baru seperti Kerajaan Samidora Pasei (Samudra Pasei) dan Kerajaan Haru (Aru).
Pada permulaan abad ke XIII pecah perselisihan dengan Kerajaan Samudra Pasei, Rajanya ialah Sang Ni Alam (sesudah memeluk agama Islam namanya menjadi Malikul Saleh) isterinya bernama Sang Mainim (Putri Raja Nagur) yang tidak bersedia menetap di Samudera Pasei, lalu kembali ke Kerajaan Nagur. Peristiwa itulah yang menimbulkan perang tanding antara Raja Samidora (Sang Ni Alam) dengan Raja Nagur (Sang Ma Jadi) sebagai mana dapat diketahui dari folklore (ceritera rakyat) yang terdapat dalam pustaha Paromongmong Bandar Syahkuda, seperti dituturkan oleh Haji Alep Damanik. Sesudah peristiwa inilah Falsafah Hidup “Haboraon Do Bona” yang tergambar dalam satu ungkapan yang berbunyi “Hajungkaton do sapata, habonaron do bona”, semakin terejawantah.
Disebelah Barat Kerajaan Nagur sudah mulai berdiri Kerajaan Linggar (lingga) yang wilayah kekuasaannya terhampar luas dari Tanah Karo sekarang, sampai ke daerah Gayor Alas. Adapun Raja Kerajaan Lingga adalah saudar sepupu Raja Nagur yang lolos melarikan diri waktu adanya pertempuran dengan Kesultanan Aceh (Samudra Pasei).
Menurut catatan Marco Polo, sekembalinya ia dari perjalanannya ke Tiongkok ia singgah di Perca Utara mengunjungi Kerajaan Samudra Pasei dan sempat juga berkunjung ke Kerajaan Nagur, dimana katanya saat itu Kerajaan Nagur sedang terlibat peperangan dengan pasukan Kerajaan Singosari yang datang dari Pulau Jawa tahun 1275. peristiwa sejarah tersebut dikenal dengan Pamalayu I.
Untuk mengamankan hasil-hasil yang dicapai oleh Ekspedisi Pamalayu I itu dikirim pula pasukan Singosari dibawah pimpinan Panglima Indra Warman yang sudah berada di kerajaan Darmas Raya Jambi (daerah takluk Singosari).
Sesudah pasukan Indra Warman menaklukkan daerah Siak lalu mendirikan Kerajaan Siak Sri Indrapura. Kemudian pada tahun 1289 terus menyerang ke Andalas (Perca) Utara, berusaha menaklukkan Kerajaan Nagur, Samudra Pasei dan Haru (Aru).
Pada saat yang bersamaan di Pulau Jawa terjadi perebutan kekuasaan, dimana Jayakatwang (Raja Kediri) berhasil membunuh Kartanegara (Raja Singosari) dan disusul dengan kedatangan serangan dari Tiongkok yang mengakibatkan lenyapnya Kerajaan Singosari dan kemudian berdirilah Kerajaan Majapahit.
Sebagai reaksi dari Panglima Indra Warman, dia tidak bersedia tunduk ke kerajaan Majapahit dan tidak mau kembali ke Jawa. Pada tahun 1295 berdirilah Kerajaan Silau Tua dengan ibu negerinya Bah Silau yang bermuara ke selat Malaka (sekarang disebut Tanjung Balai). Kerajaan Nagur yang menguasai wilayah itu sebelumnya sudah memindahkan ibu negerinya ke Nagur Raja (sekarang Nagaraja di perbatasan Kab Serdang Bedagai dan Simalungun).
Dengan berdirinya Kerajaan Silau (Tua) maka diwilayah kerajaan Nagur telah berdiri 4 kerajaan, yaitu : Kerajaan Nagur, Kerajaan Samudra Pasei, Kerajaan Haru(Aru) dan Kerajaan Silau Tua.
Selanjutnya menurut buku Negara Kartagama karangan Prapanca seorang Pujangga Keraton Majapahit pada masa Raja Hayam Wuruk menyebutkan bahwa pada tahun 1336 Kerajaan Majapahit mengirimkan Ekspedisi Pamalayu ke II ke Sumatera dibawah Pimpinan Patih Gajah Mada sebagai perwujudan Sumpah Palapa. Gajah Mada bersumpah tidak akan memakan Palapa sebelum ia mempersatukan Nusantara, yaitu dengan menaklukkan kerajaan-kerajaan yang ada pada waktu itu seperti Kerajaan Gurun (Seran), Tanjung Pura, Haru (Aru), Pahang, Dompo, Sunda, Palembang (Sriwijaya) Tumasik dan kerajaan-kerajaan lainnya. Akibat serangan pasukan Gajah Mada itu banyak kerajaan-kerajaan di Sumatera porak poranda. Kerajaan Melayu Jambi yang dipimpin oleh Adytia Warman terpaksa harus evakuasi ke Pagaruyung Sumatera Barat, yang kemudian beralih menjadi kerajaan Minangkabau. Demikian juga kerajaan Siak, Mandailing, Lawas dan Haru (Aru) tidak luput dari serangan. Dalam rangkaian serangan itu termasuk juga Kerajaan Silau Tua dibubarkan dan mengundurkan diri ke pedalaman, yang kelak mendirikan Kerajaan Batangiou ( batangkiou atau Batang Nyiur).
Kerajaan Haru (Aru) yang tadinya ibu negerinya di Bah Tanggiang (Tomiyam) mengundurkan diri ke Deli Tua. Pasukan Gajah Mada menyerbu ke Samudra Pasei, tetapi dapat dipukul mundur oleh Laksamasa Hamdan Tammana (Panglima Armada Laut Kesultanan Pasei). Pada saat itu agaknya Kerajaan Nagur terhindar dari serangan karena belum sempat mereka masuk ke pedalaman wilayah Kerajaan Nagur. Pada tahun 1350 muncul armada laut Kerajaan Haru menggempur Armada Laut Gajah Mada di selat Malaka. Begitu juga Aceh, turut menyerang pasukan Majapahit.
Bekas Pasukan Majapahit itu selanjutnya bergabung dengan mantan pasukan Singosari, dan membaurkan diri menjadi warga Batangiou.

No comments:

Post a Comment