oleh: M Muhar Omtatok
Jika kita mentelaah tentang objek yang keberadaan (entity), baik berupa orang, benda, tempat, peristiwa, konsep dan lainnya, ditempuh upaya mengkonstruksikan model data konseptual, memodelkan struktur data dan hubungan antar data dan mengimplementasikan data dasar secara logika maupun secara fisik.
Berdasarkan kekunoan karakter yang dimiliki dan diversitas yang begitu tinggi, sering mengajukan hipotesis yang menyatakan bahwasanya wilayah tertentu merupakan tempat muasal/homeland dari induk kelompok tertentu pula. Sehingga ada sebuah wilayah yang menjadi ‘center of origin’ dari wilayah lain.
Jika mengikuti tradisi mentelaah dengan cara demikian. Acapkali kita selalu mencari-cari muasal sesuatu dari wilayah mana sesuatu itu berasal. Sehingga terkesan tidak ada yang asli di wilayah kita, karena segala sesuatunya berasal dari tempat lain.
Gadung (Singkong) adalah makanan cemilan leluhur kita zaman berzaman. Apa lagi orang Jawa yang mempunyai beraneka menu makanan dari bahan singkong warisan leluhur mereka, ternyata dibuat penelitian bahwa Singkong berasal dari Timur Laut Brasil dan Meksiko Tenggara. Bahkan disejarahkan singkong baru masuk Indonesia tahun 1852 melalui Kebun Raya Bogor.
Orang Simalungun yang mensakralkan bunga raya, dari zaman leluhur hingga kini, juga tidak perlu berkecil hati karena bunga tersebut bukan ikon Simalungun kini, tapi sejak 1960 telah menjadi bunga nasional Malaysia.
Hampir semua tulisan tentang sejarah peradaban menempatkan Asia Tenggara sebagai kawasan ‘pinggiran’. Kawasan yang kebudayaannya dapat subur berkembang hanya karena imbas migrasi manusia atau riak-riak difusi budaya dari pusat-pusat peradaban lain, baik yang berpusat di Mesir, Cina, maupun India.
Padahal Stephen Oppenheimer berpendapat lain. Dokter ahli genetik yang belajar banyak tentang sejarah peradaban ini malah melihat kawasan Asia Tenggara sebagai tempat cikal bakal peradaban kuno berasal. Munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan China justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara.
Oppenheimer didukung oleh data yang diramu dari hasil kajian arkeologi, etnografi, linguistik, geologi, maupun genetika.
Hingga Suku Simalungun-pun akan dikatakan datang ke Tanoh Hasusuran melalui 2 gelombang, yaitu : Gelombang pertama (Proto Simalungun), diperkirakan datang dari Nagore (India Selatan) dan pegunungan Assam (India Timur) di sekitar abad ke-5, menyusuri Myanmar, ke Siam dan Malaka untuk selanjutnya menyeberang ke Sumatera Timur dan mendirikan kerajaan Nagur dari Raja dinasti Damanik. Serta Gelombang kedua (Deutero Simalungun), datang dari suku-suku di sekitar Simalungun yang berjiran dengan suku asli Simalungun.
Pada gelombang Proto Simalungun di atas, Tuan Taralamsyah Saragih menceritakan bahwa rombongan yang terdiri dari keturunan dari 4 Raja-raja besar dari Siam dan India ini bergerak dari Sumatera Timur ke daerah Aceh, Langkat, daerah Bangun Purba, hingga ke Bandar Khalifah sampai Batubara.
Kemudian mereka didesak oleh suku setempat hingga bergerak ke daerah pinggiran danau Toba dan Samosir.
Pustaha Parpandanan Na Bolag (pustaka Simalungun kuno) mengisahkan bahwa Parpandanan Na Bolag (cikal bakal daerah Simalungun sekitarnya) merupakan kerajaan tertua di Sumatera Timur yang wilayahnya bermula dari Jayu (pesisir Selat Malaka) hingga ke Toba. Sebagian sumber lain menyebutkan bahwa wilayahnya meliputi Gayo dan Alas di Aceh hingga perbatasan sungai Rokan di Riau.
Tanoh hasusuran Simalungun meliputi Kabupaten Simalungun, Kota Pematangsiantar, Kota Tebingtinggi, sebagian besar wilayah Kabupaten Serdang Bedagai, sebagian Kabupaten Deli Serdang, bahkan lebih luas lagi jika diikuti wilayah kerajaan-kerajaan Simalungun sejak zaman Nagur dinasti Damanik.
Tidak ada data yang jelas, sejak kapan awal penyebutan nama Simalungun untuk suku Timur ini. Ada yang menganalisa berasal dari “Si Sada Parmaluan Si Sada Lungun” (senasib sepenanggungan), yaitu ikrar raja-raja di Simalungun pada tahun 1367. Pemerintah Belanda yang berkuasa di Sumatera saat itu, sudah memakai kata Simalungun untuk menyebut orang dan daerah yang kini disebut Kabupaten Simalungun.
Walter Lempp (1976:52) menyebutkan watak atau tabiat orang Simalungun yakni: “Orang Simalungun lebih halus dan tingkah lakunya hormat sekali, tidak pernah keras dan meletus, meskipun sakit hati.
J. Tideman (1922:113-114) mengakui bahwa ada sifat yang kurang baik secara rohani maupun jasmani dari suku bangsa Simalungun (Timoer Bataks). Hal ini menurut Tideman disebabkan oleh tekanan yang begitu lama hingga bertahun-tahun antara lain oleh perbudakan (parjabolonan) dan peperangan. Selain itu, Tideman juga mengatakan bahwa praktek perjudian, candu merupakan penghambat kemajuan yang terbesar pada suku bangsa ini, khususnya di kalangan rakyat.
Wabah penyakit juga menghambat mereka untuk lebih bersemangat dalam bekerja.
Praktek kanibalisme yang banyak didengung-dengungkan oleh orang luar tentang suku-suku bangsa di pedalaman, menurut Tideman sudah tidak dipraktekkan lagi dan sesungguhnyalah bahwa orang Batak bukan kanibal sejati menurut anggapan sebagian orang.
Solidaritas suku bangsa Timur ini lebih rendah bila dibandingkan dengan orang Toba (Nota, 1909:538-539). Pengaruh kaum pendatang dan suku-suku bangsa tetangga juga turut membentuk karakter suku ini. Di dekat perbatasan dengan suku Batak Toba menonjol sifat-sifat Toba, demikian juga di dekat daerah orang Melayu di pesisir terasa adanya pengaruh agama Islam /Melayu (Westenberg, 1904:9).
Selain itu orang Simalungun juga kurang mau menonjolkan dirinya. Tentang kejujuran orang Simalungun berpedoman kepada falsafah hidup mereka yaitu “Habonaron do Bona, Hajungkaton do Sapata”. Orang yang tidak konsisten menjunjung tinggi falsafah ini diyakini akan mendapatkan hal-hal yang tidak baik. Falsafah ini juga berdampak pada pola pikir orang Simalungun yang sangat berhati-hati dalam mengambil suatu keputusan. Sesuatu keputusan barulah diambil setelah dipikirkan masak-masak, dan tidak akan mengingkarinya . Sebagaimana dalam ungkapan Simalungun, “Parlobei idilat bibir ase marsahap, bijak mosor pinggol asal ulang mosor hata”.
Etnis Simalungun yang Patrilineal ini, memiliki beberapa morga (marga, clan). Seperti Damanik, Saragih, Purba, Sinaga, [Purba] Girsang, Sipayung, Lingga, Sitopu, Silalahi atau marga/orang lain yang sudah memiliki ‘ahap hasimalungunan’.
Damanik, Saragih, Purba, Sinaga dan [Purba] Girsang adalah morga para Raja. Meskipun kawulanya tidak mesti semarga dengan rajanya. Pada marga-marga itu juga terdapat sub-clan yang memiliki kisah dan sejarah tersendiri.
Terkadang muncul sub-clan yang terpisah dengan sub-clan lain, padahal mempunyai induk yang sama. Sebut saja sub-clan Garingging pada Saragih. Beberapa kelompok Saragih Garingging dalam sesuatu proses berubah sebutan menjadi sub-clan lain, misalnya menjadi Saragih Dasalak, Saragih Dajawak dan Saragih Permata. Beberapa garis Tuan Raya Huluan di Tambun Marisi yang marga Saragih Garingging awalnya, kini ada yang menyebut dirinya dengan sub-clan Saragih Munthe. Masih turunan yang sama, yaitu turunan Tuan Tarma yang menuju Serdang Bedagai, malah menyebut diri sebagai Saragih Damunthei.Inilah dinamika indah ala Simalungun dalam bermarga, yang berbeda pola dengan pola tarombo marga tetangganya. Karenanya, cukup arif bagi orang-orang yang bermarga Damanik, yang jarang menyebutkan sub-clan di belakang Damanik, Lambin toguh homa hasadaon ahap Simalungun, Sisada Ahap Sisada Parmaluan, Na Sapangambei Manoktok Hitei, mamajuhon ibagas Habonaron do Bona.
No comments:
Post a Comment